STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN
SEBUAH EPILOG
ADA sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena... yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah karena aku takut.
Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan? Apakah kau akan menerima pengakuanku?
Apakah kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku seperti ini? Tersenyum padaku seperti ini?
Atau apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?
Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.
Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.
Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan? Apakah kau akan menerima pengakuanku?
Apakah kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku seperti ini? Tersenyum padaku seperti ini?
Atau apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?
Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.
Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.
SPRING IN LONDON
Coretan Pertama
Seoul, Korea Selatan
“AKHIRNYA kaujawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba menghubungimu
berkali-kali selama tiga hari terakhir.”
Kata-kata itu menerjang gendang telinga Danny Jo bahkan sebelum ia sempat berkata “Halo”. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Danny tertawa dan berkata, “Jung Tae-Woo, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan sedikit suaramu. Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita pacaran atau semacamnya. Kau mungkin sudah terbiasa dengan gosip gay1, tapi aku tidak.”
Jung Tae-Woo tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.
Danny berdiri menghadap kaca jendela besar di kantor itu, menatap jalanan Apgujeong-dong di bawah sana. Jalanan cukup ramai, orang-orang dalam balutan jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang trotoar dan mobil-mobil berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan sehari- hari yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun Danny menyukainya. Ia suka mengamati keadaan di sekitarnya, setiap pejalan kaki dan setiap mobil yang lewat.
“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” kata danny ringan, “dan aku minta maaf karena tidak sempat membalas teleponmu. Kau sendiri penyanyi terkenal, jadi kau tentu tahu bagaimana rasanya saat jadwal kerjamu begitu padat sampai kau bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Aku harus berangkat ke London minggu depan, jadi semua pekerjaanku di sini harus selesai sebelum itu.”
“Aku tahu kau mau pergi ke London,” sela Tae-Woo. “Karena itulah aku
meneleponmu. Aku butuh bantuan.”
“Tentu,” sahut Danny tanpa ragu, “katakan saja.” “Aku ingin kau tampil dalam video musikku.” “Video musikmu?”
1 Baca Summer In Seoul
“Syutingnya akan dilakukan di London. Kau tahu siapa yang sudah setuju menjadi sutradaranya?” Tanpa menunggu jawaban, Tae-Woo melanjutkan, “Bobby Shin. Dan karena aku tahu kau akan pergi ke London untuk bekerja dengannya, kupikir kami tidak perlu mencari model pria lagi. Kau model pria yang sempurna. Bagaimana menurutmu?”
Danny mendesah, pura-pura pasrah. “Apakah aku punya pilihan lain?”
“Tidak,” kata Tae-Woo sambil tertawa. “Oke. Berarti kita sudah sepakat. Oh ya, Danny, asal kau tahu, wajahmu tidak akan terlihat sepanjang video musik itu. Hanya model wanitanya yang akan disorot.”
Alis Danny terangkat. “Apa? Kenapa?”
“Secara pribadi, menurutku kau terlalu tampan untuk video musikku,” gurau Jung Tae-Woo. “Tapi tenanglah, walaupun hanya punggungmu atau bagian belakang kepalamu yang terlihat, seluruh Korea akan tahu bahwa Danny Jo yang membintangi video musik Jung Tae-Woo. Kalau kau keberatan, silakan bicarakan dengan Sutradara Shin. Dia yan gmembuat konsep video musiknya.”
Danny kembali mendesah berlebihan, namun mulutnya tersenyum. “Jung Tae- Woo, aku ini orang sibuk, baik di sini maupun di London nanti. Jadi katakan padaku, kenapa aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk tampil dalam video musikmu kalau wajahku tidak akan terlihat?”
Mengabaikan pertanyaan Danny, Jung Tae-Woo malah balas bertanya, “Sibuk? Maksudmu sibuk pacaran?” Lalu ia terkekeh. “Kapan kau akan mengenalkan pacarmu kepadaku?”
Alis Danny terangkat heran. “Apa maksudmu? Pacar apa?”
“Gadis yang kulihat keluar dari restoran di Gangnam bersamamu kemarin malam. Apakah gaids itu yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini?”
Mata Danny menyipit begitu teringat kejadian kemarin malam. Dan beberapa
kejadian sebelum kejadian kemarin malam. “Dia bukan pacarku.” “Oh, yang benar saja.”
“Dia... bukan... pacarku,” ulang Danny, menekankan seitap kata. “Lagi pula
apa-apaan ini? Kau sudah beralih profesi menjadi wartawan atau apa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Hei, aku hanya bertanya.”
Saat itu pintu kantor terbuka dan Danny berbalik. Matanya terarah pada wanita bertubuh langsing dan berambut pendek yang berdiri di ambang pintu dan yang menatap Danny dengan alis terangkat. Danny yakin kakak perempuannya heran ia muncul di sini tanpa pemberitahuan. Ia mengangkat sebelah tangan, tanpa suara menyapa kakaknya, dan tersenyum singkat, senyum yang sudah membuat banyak gadis penggemarnya luluh lantak.
“Aku harus pergi sekarang. Nanti kita bicara lagi,” kata Danny di ponsel. Tanpa
menunggu jawaban Tae-Woo ia menutup ponsel, menjejalkan benda itu ke saku
celana jinsnya, lalu berpaling ke arah kakaknya. “Nuna2 harus bicara dengan Ibu,”
katanya langsung tanpa basa-basi.
Anna Jo, yang sedang melepaskan topi, menghentikan gerakannya dan menatap adiknya dengan heran, lalu tersenyum. “Selamat pagi juga, adikku sayang,” katanya sambil menyisir rambutnya yang berpotongan modis dengan jari. “Dan apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?”
Anna tiga tahun lebih tua daripada Danny. Wajah kedua kakak beradik itu tidak mirip, tetapi mereka sama-sama memiliki wajah menarik yang disukai para fotografer, sama-sama memiliki bentuk tubuh jangkung dan ramping yang disukai para perancang busana, sama-sama memiliki kepandaian berbicara yang membuat mereka disenangi orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Semua itulah yang menjadikan mereka model terkenal.
Dulu Anna Jo adalah model fashion yang menghabiskan waktunya berjalan di atas catwalk di seluruh penjuru dunia. Namun sejak lima tahun lalu ia mulai dikenal sebagai perancang busana dan butik-butiknya kini tersebar di Seoul dan Tokyo.
Danny mengerang dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di depan meja kerja kakaknya. “Nuna, aku benar-benar harus bicara dengan Ibu,” katanya lagi, kali ini dengan suara yang terdengar tertekan. “Ibu tidak bisa terus berusaha menjodohkan aku dengan anak perempuan sahabatnya, atau saudara perempuan kenalannya, atau—seperti yang terjadi kemarin malam—keponakan perempuan orang yang baru dikenalnya di salon! Ini sudah kelewatan. Kenapa tiba-tiba saja Ibu begitu bersemangat ingin menjodohkan aku? Dan asal Nuna tahu, akhir-akhir aku sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk main-main.”
Kalau kakaknya lebih dikenal sebagai model catwalk, maka Danny lebih dikenal
sebagai model iklan. Wajahnya sering terpampang di majalah-majalah dan iklan televisi. Menurut survei salah satu majalah remaja populer, Danny Jo adalah salah satu bintang iklan paling diminati di Korea Selatan, walaupun akhir-akhir ini ia mulai memfokuskan diri pada impiannya yang lain, yaitu menjadi sutradara video musik.
Anna tersenyum lebar dan memeriksa surat-surat yang diletakkan sekretarisnya dengan rapi di atas meja kerja. “Kurasa kencan buta yang diatur Ibu untukmu kemarin malam tidak berjalan mulus? Kau tidak suka gadis itu?”
Danny mencondongkan badan ke depan, wajahnya serius. “Apakah Nuna
percaya kalau kubilang gadis itu baru lulus SMA?”
Mata Anna melebar menatap adiknya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Astaga,
Ibu benar-benar sudah kelewatan kali ini.”
Danny mendesah berat dan bersandar ke kursinya kembali. “Apa yang Ibu rencanakan? Kenapa Ibu ingin aku segera menikah? Aku tidak mengerti. Nuna harus membantuku menyadarkan Ibu. Kalau tidak, aku bisa gila.”
“Kenapa bukan kau sendiri yang bicara dengan Ibu?”
“Aku sudah mencobanya, tapi Ibu tidak mau mendengarkanku,” sahut Danny. “Ibu beralasan bahwa dia hanya ingin membantu, karena aku terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat bersosialisasi. Katanya siapa tahu di antara gadis-gadis yang dikenalkannya kepadaku itu ada yang cocok untukku. Katanya dia hanya bermaksud baik dan aku seharusnya menghargai usahanya.” Danny terdiam, lalu menatap kakaknya dengan mata disipitkan. “Jangan-jangan Nuna dulu menikah juga karena dijodohkan Ibu?”
“Jo In-Ho, jangan sampai kakak iparmu mendengar itu,” Anna Jo
memperingatkan sambil tertawa. “Dia sangat gencar mengejarku dulu.” Danny tersenyum masam. “Aku tahu.”
Anna Jo memandang adiknya yang sedang tertekan itu dengan perasaan geli
bercampur kasihan. “Setelah tiga kali mencoba dan gagal, kurasa Ibu akan menyerah.”
Danny menggeleng cepat. “Oh, kurasa tidak. Kemarin Ibu bertanya padaku
wanita seperti apa yang kusuka. Untuk memudahkannya mencari wanita yang tepat
untukku, begitu katanya. Aku yakin dia masih belum menyerah.” “Lalu apa yang kaukatakan padanya?”
Kali ini Danny tersenyum kecil. “Kukatakan padanya kami akan melanjutkan
pembicaraan itu setelah aku kembali dari London.”
Anna mengangkat alis. “Oh, kau jadi pergi ke London?”
Danny memang pernah bercerita pada kakaknya bahwa ia akan pergi ke London untuk bekerja dengan Bobby Shin, salah seorang sutradara video musik terkenal di Korea. Walaupun Sutradara Shin sudah menetap di London bersama keluarganya, kadang-kadang ia masih aktif bekerja di Korea. Danny sudah beberapa kali bekerja sama dengan Sutradara Shin dalam pembuatan video musik dan ia snagat mengagumi pria yang lebih tua itu. Sekarang Danny kembali ditawari oleh Sutradara Shin sendiri untuk bekerja sama dengannya di London. Bukan sebagai model, tetapi sebagai asisten sutradara. Danny tidak mungkin melepaskan kesempatan sebesar itu.
“Aku akan berangkat minggu depan,” kata Danny.
“Ibu pasti uring-uringan,” kata Anna smabil tersenyum kecil dan menyandar- kan tubuh ke sandaran kursi. “Dia tidak pernah merasa tenang kalau kau pergi ke luar negeri. Apalagi kali ini kau akan bekerja dengan Sutradara Shin. Kau pasti akan cukup lama tinggal di sana. Kau sudah memberitahu Ibu tentang ini?”
Danny tersenyum lebar. “Oh, ya. Ibu mengeluh panjang-lebar dan terdengar sangat kecewa. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku bisa melarikan diri darinya untuk sementara.”
* * *
London, Inggris
Satu minggu kemudian
Naomi Ishida membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu ia memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseret- seret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala dan memandang ke luar jendela.
Tidak biasanya langit kota London terlihat cerah. Sepertinya musim semi yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Naomi membuka jendela dan menarik napas dalam- dalam, mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin, Naomi cepat-cepat menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba matanya terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, dear,” erangnya.
Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu sentakan cepat, mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk mengobrol di dapur, tepat di luar kamar tidurnya.
“Apa? Apa yang terjadi?” Gadis bertubuh jangkung, berkacamata, dan berambut merah panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi dengan kedua tangan, menatap Naomi dengan alis terangkat heran.
Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti rehabilitasi—
piama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan wajah mengantuk—Julie Humphrey yang lebih muda daripada Naomi sebenarnya adalah putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar mimpinya menjadi aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa tahun ini ia memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di West End, meskipun hanya mendapat peran-peran kecil.
“Aku terlambat...,” kata Naomi panik sambil berlari ke kamar mandi di samping dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku terlambat.”
Julie mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu berlebihan,
Naomi. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya terlambat bangun sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam kemarin. Kau berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan mendesah muram. “Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap harus bekerja di hari Sabtu yang indah ini.”
Naomi menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar mandi karena ia sedang sibuk menggosok gigi.
“Hei, Sayang, kau mau wafel ala Chris dengan selai apel buatan sendiri?” tanya laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang duduk di hadapan Julie. “Kau tahu benar selai apel buatanku bisa membuatmu merasa seperti di melayang di angkasa.”
Christopher Scott, yang aslinya berasal dari Edinburg, Skotlandia, berprofesi sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Soho, walaupun ketika pertama kali bertemu dengannya, Naomi merasa Chris lebih mirip preman karena tato naga dan ular yang ada di sepanjang lengan kanannya. Meskipun begitu Naomi harus mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki mata seperti Chris. Mata biru yang benar-benar biru, mata yang bisa membuat wanita mana pun yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi sayangnya, Chris tidak tertarik pada wanita.
Naomi kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas artinya.
Chris menoleh ke arah Julie. “Apa katanya?”
Julie mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di angkasa?”
Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras dan Naomi melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu lemari dibuka dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.
“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Chris tempat duduknya di dapur. “Kau
bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau membabi-buta seperti itu.”
Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Naomi yang berseru,
“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”
Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.
Beberapa menit kemudian Naomi muncul kembali dari balik pintu kamar tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan topinya.
“Ngomong-ngomong,” kata Julie, “kau akan tampil di video musik siapa?” Naomi mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,” katanya
sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku tertarik adalah konsep video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.”
Julie menoleh menatap Naomi, mata hijaunya bersinar cerah. “Apakah ceritanya romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita romantis.”
Naomi mendesah tidak sabar. “Kurasa ceritanya tentang seorang pria yang diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya dari jauh. Diam- diam selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa dirinya. Kira- kira seperti itu,” sahutnya.
“Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Julie dan menatap Chris. Yang
ditatap mengangguk setuju.
“Kurasa agak menakutkan,” gerutu Naomi. “Coba pikir, diam-diam mengawasi si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan wajah. Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?”
“Astaga,” gumam Chris sambil menggeleng-geleng. “Kuharap sutradara video musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau menjadi bintang film horor.”
Naomi tersenyum dan mendorong bahu Chris dengan main-main. “Baiklah,
Teman-teman, aku pergi dulu.”
“Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Chris dengan selai apel ini?” tanya Chris sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau tahu sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup kurus sekarang. Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang yang duduk di depanku ini.”
“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Julie sambil memutar bola matanya. “Koki paling kerempeng sedunia.”
Chris tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk walaupun aku makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak makan.”
“Model memang seharusnya kurus,” gumam Naomi sambil merogoh-rogoh
tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada di dalam. Dompet. Kunci. Ponsel.
“Apa?” tanya Chris, tidak mendengar apa yang digumamkan Naomi tadi.
“Tidak apa-apa.” Naomi menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia tidak mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Chris pasti akan mulai menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu saat ini.
“Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,” kata Naomi cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah jam...,” ia melirik jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!”
Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Naomi berlari menuruni tangga
dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik jam tangannya sekali lagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta. Ia tidak mungkin sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim semi. Semua itu harus menunggu.
Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di London dan sejak ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Julie dan Chris di Hampstead yang terletak di pinggiran kota London. Flat yang ditempatinya bersama Jlie dan Chris berada tepat di atas Robin‟s Nest, sebuah pub tradisional Irlandia yang sudah berdiri sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Naomi tidak keberatan. Berbeda dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana sepi.
Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur—satu kamar tidur utama yang berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil—satu kamar mandi,
dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan samping gedung sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke bagian depan gedung. Julie menempati kamar tidur utama karena dialah yang pertama kali menempati flat ini sebelum ia mengajak Chris berbagi flat dengannya. Lalu pada musim panas lebih dua tahun lalu Naomi ikut bergabung.
Naomi tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah sendiri. Saudara kembarnya, Keiko, selalu ada bersamanya sampai ketika Naomi memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia mengkhawatirkan Keiko karena saudara kembarnya itu juga tidak terbiasa sendirian. Tetapi mengingat mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan setelah membaca e-mail dari Keiko yang melibatkan seorang tetangga baru di gedung apartemen mereka3, Naomi merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Keiko lagi.
Empat puluh lima menit kemudian, Naomi sudah tiba di lokasi syuting untuk hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Hyde Park, salah satu taman paling terkenal di London, di dekat Serpentine Lake. Naomi memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam semalam bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang Korea. Di sekitarnya terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan saling berseru dalam bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dipahami Naomi.
Naomi juga baru menyadari bahwa selain Bobby Shin, alias si sutradara video musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal dan penata rias yang bertanggung jawab atas penampilan Naomi dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi pekerjaan Naomi sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan bekerja sama dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi ia merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.
“Ini tehmu.”
Naomi menoleh dan melihat penata riasnya—yang memperkenalkan diri sebagai Yoon—mengulurkan secangkir teh harum yang mengepul. Senyum Naomi mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. Ia menerima teh itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan teh itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya.
“Kau juga lapar?” tanya Yoon dengan bahasa Inggris yang masih dihiasi logat
Korea. “Mau makan ini?”
Naomi menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya. Gemuruh di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau benar-benar penyelamatku,” katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat. Seorang model memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan.
3 Baca Winter in Tokyo
Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di meja di depan Naomi, membuat Naomi bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil sepotong lagi kalau ternyata ia masih belum kenyang.
“Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu di video musik ini?” tanya Yoon ketika ia mulai menggulung rambut Naomi dengan rol-rol besar.
Naomi mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah Yoon
yang bulat di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku bahkan belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap tehnya yang enak sekali.
Mata Yoon yang sipit langsung berbinar-binar. “Jo In-Ho,” katanya singkat.
Ketika melihat Naomi yang menatapnya dengan pandangan bertanya, ia melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Jo In-Ho. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Danny Jo.”
Naomi berhenti mengunyah donatnya.
Yoon memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat bertemu dengannya.” Ia mendesah dan kebmali menggulung rambut Naomi. “Mungkin kau tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering membintangi iklan dan video musik.”
Karena Naomi tidak berkata apa-apa, Yoon menambahkan, “Tidak perlu khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar tampan. Kalau kau melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”
Naomi masih diam. Hanya menunduk menatap teh kental yang mengepul di dalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang dirasakannya tadi menguap begitu saja.
Tiba-tiba Yoon menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!” bisik Yoon
dengan nada mendesak.
Kepala Naomi berputar pelan dan matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda. Laki-laki itu melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya dengan senyum lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.
“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.”
Naomi mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, dear. Maaf,” gumamnya pelan.
“Nah, kubilang juga apa?” kata Yoon sambil menepuk pundak Naomi lagi dan
tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terliaht hampir jatuh pingsan.”
Naomi memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa melihat bayangan Danny Jo di sana. Tepat pada saat ia melihat Yoon berbalik dan mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru, “Hei, Danny!”
Naomi membeku. Oh, tidak...
Danny menoleh ke arah mereka. Ke arah Naomi. Sedetik mata mereka bertemu di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata Naomi. Hanya sedetik, sebelum Naomi buru-buru mengalihkan pandangan, menatap Yoon yang tersenyum lebar padanya di cermin.
“Dia ke sini,” kata Yoon. “Akan kuperkenalkan kau padanya.”
Naomi tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya erat-erat. Ya Tuhan...
“AKHIRNYA kaujawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba menghubungimu
berkali-kali selama tiga hari terakhir.”
Kata-kata itu menerjang gendang telinga Danny Jo bahkan sebelum ia sempat berkata “Halo”. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Danny tertawa dan berkata, “Jung Tae-Woo, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan sedikit suaramu. Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita pacaran atau semacamnya. Kau mungkin sudah terbiasa dengan gosip gay1, tapi aku tidak.”
Jung Tae-Woo tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.
Danny berdiri menghadap kaca jendela besar di kantor itu, menatap jalanan Apgujeong-dong di bawah sana. Jalanan cukup ramai, orang-orang dalam balutan jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang trotoar dan mobil-mobil berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan sehari- hari yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun Danny menyukainya. Ia suka mengamati keadaan di sekitarnya, setiap pejalan kaki dan setiap mobil yang lewat.
“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” kata danny ringan, “dan aku minta maaf karena tidak sempat membalas teleponmu. Kau sendiri penyanyi terkenal, jadi kau tentu tahu bagaimana rasanya saat jadwal kerjamu begitu padat sampai kau bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Aku harus berangkat ke London minggu depan, jadi semua pekerjaanku di sini harus selesai sebelum itu.”
“Aku tahu kau mau pergi ke London,” sela Tae-Woo. “Karena itulah aku
meneleponmu. Aku butuh bantuan.”
“Tentu,” sahut Danny tanpa ragu, “katakan saja.” “Aku ingin kau tampil dalam video musikku.” “Video musikmu?”
1 Baca Summer In Seoul
“Syutingnya akan dilakukan di London. Kau tahu siapa yang sudah setuju menjadi sutradaranya?” Tanpa menunggu jawaban, Tae-Woo melanjutkan, “Bobby Shin. Dan karena aku tahu kau akan pergi ke London untuk bekerja dengannya, kupikir kami tidak perlu mencari model pria lagi. Kau model pria yang sempurna. Bagaimana menurutmu?”
Danny mendesah, pura-pura pasrah. “Apakah aku punya pilihan lain?”
“Tidak,” kata Tae-Woo sambil tertawa. “Oke. Berarti kita sudah sepakat. Oh ya, Danny, asal kau tahu, wajahmu tidak akan terlihat sepanjang video musik itu. Hanya model wanitanya yang akan disorot.”
Alis Danny terangkat. “Apa? Kenapa?”
“Secara pribadi, menurutku kau terlalu tampan untuk video musikku,” gurau Jung Tae-Woo. “Tapi tenanglah, walaupun hanya punggungmu atau bagian belakang kepalamu yang terlihat, seluruh Korea akan tahu bahwa Danny Jo yang membintangi video musik Jung Tae-Woo. Kalau kau keberatan, silakan bicarakan dengan Sutradara Shin. Dia yan gmembuat konsep video musiknya.”
Danny kembali mendesah berlebihan, namun mulutnya tersenyum. “Jung Tae- Woo, aku ini orang sibuk, baik di sini maupun di London nanti. Jadi katakan padaku, kenapa aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk tampil dalam video musikmu kalau wajahku tidak akan terlihat?”
Mengabaikan pertanyaan Danny, Jung Tae-Woo malah balas bertanya, “Sibuk? Maksudmu sibuk pacaran?” Lalu ia terkekeh. “Kapan kau akan mengenalkan pacarmu kepadaku?”
Alis Danny terangkat heran. “Apa maksudmu? Pacar apa?”
“Gadis yang kulihat keluar dari restoran di Gangnam bersamamu kemarin malam. Apakah gaids itu yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini?”
Mata Danny menyipit begitu teringat kejadian kemarin malam. Dan beberapa
kejadian sebelum kejadian kemarin malam. “Dia bukan pacarku.” “Oh, yang benar saja.”
“Dia... bukan... pacarku,” ulang Danny, menekankan seitap kata. “Lagi pula
apa-apaan ini? Kau sudah beralih profesi menjadi wartawan atau apa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Hei, aku hanya bertanya.”
Saat itu pintu kantor terbuka dan Danny berbalik. Matanya terarah pada wanita bertubuh langsing dan berambut pendek yang berdiri di ambang pintu dan yang menatap Danny dengan alis terangkat. Danny yakin kakak perempuannya heran ia muncul di sini tanpa pemberitahuan. Ia mengangkat sebelah tangan, tanpa suara menyapa kakaknya, dan tersenyum singkat, senyum yang sudah membuat banyak gadis penggemarnya luluh lantak.
“Aku harus pergi sekarang. Nanti kita bicara lagi,” kata Danny di ponsel. Tanpa
menunggu jawaban Tae-Woo ia menutup ponsel, menjejalkan benda itu ke saku
celana jinsnya, lalu berpaling ke arah kakaknya. “Nuna2 harus bicara dengan Ibu,”
katanya langsung tanpa basa-basi.
Anna Jo, yang sedang melepaskan topi, menghentikan gerakannya dan menatap adiknya dengan heran, lalu tersenyum. “Selamat pagi juga, adikku sayang,” katanya sambil menyisir rambutnya yang berpotongan modis dengan jari. “Dan apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?”
Anna tiga tahun lebih tua daripada Danny. Wajah kedua kakak beradik itu tidak mirip, tetapi mereka sama-sama memiliki wajah menarik yang disukai para fotografer, sama-sama memiliki bentuk tubuh jangkung dan ramping yang disukai para perancang busana, sama-sama memiliki kepandaian berbicara yang membuat mereka disenangi orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Semua itulah yang menjadikan mereka model terkenal.
Dulu Anna Jo adalah model fashion yang menghabiskan waktunya berjalan di atas catwalk di seluruh penjuru dunia. Namun sejak lima tahun lalu ia mulai dikenal sebagai perancang busana dan butik-butiknya kini tersebar di Seoul dan Tokyo.
Danny mengerang dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di depan meja kerja kakaknya. “Nuna, aku benar-benar harus bicara dengan Ibu,” katanya lagi, kali ini dengan suara yang terdengar tertekan. “Ibu tidak bisa terus berusaha menjodohkan aku dengan anak perempuan sahabatnya, atau saudara perempuan kenalannya, atau—seperti yang terjadi kemarin malam—keponakan perempuan orang yang baru dikenalnya di salon! Ini sudah kelewatan. Kenapa tiba-tiba saja Ibu begitu bersemangat ingin menjodohkan aku? Dan asal Nuna tahu, akhir-akhir aku sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk main-main.”
Kalau kakaknya lebih dikenal sebagai model catwalk, maka Danny lebih dikenal
sebagai model iklan. Wajahnya sering terpampang di majalah-majalah dan iklan televisi. Menurut survei salah satu majalah remaja populer, Danny Jo adalah salah satu bintang iklan paling diminati di Korea Selatan, walaupun akhir-akhir ini ia mulai memfokuskan diri pada impiannya yang lain, yaitu menjadi sutradara video musik.
Anna tersenyum lebar dan memeriksa surat-surat yang diletakkan sekretarisnya dengan rapi di atas meja kerja. “Kurasa kencan buta yang diatur Ibu untukmu kemarin malam tidak berjalan mulus? Kau tidak suka gadis itu?”
Danny mencondongkan badan ke depan, wajahnya serius. “Apakah Nuna
percaya kalau kubilang gadis itu baru lulus SMA?”
Mata Anna melebar menatap adiknya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Astaga,
Ibu benar-benar sudah kelewatan kali ini.”
Danny mendesah berat dan bersandar ke kursinya kembali. “Apa yang Ibu rencanakan? Kenapa Ibu ingin aku segera menikah? Aku tidak mengerti. Nuna harus membantuku menyadarkan Ibu. Kalau tidak, aku bisa gila.”
“Kenapa bukan kau sendiri yang bicara dengan Ibu?”
“Aku sudah mencobanya, tapi Ibu tidak mau mendengarkanku,” sahut Danny. “Ibu beralasan bahwa dia hanya ingin membantu, karena aku terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat bersosialisasi. Katanya siapa tahu di antara gadis-gadis yang dikenalkannya kepadaku itu ada yang cocok untukku. Katanya dia hanya bermaksud baik dan aku seharusnya menghargai usahanya.” Danny terdiam, lalu menatap kakaknya dengan mata disipitkan. “Jangan-jangan Nuna dulu menikah juga karena dijodohkan Ibu?”
“Jo In-Ho, jangan sampai kakak iparmu mendengar itu,” Anna Jo
memperingatkan sambil tertawa. “Dia sangat gencar mengejarku dulu.” Danny tersenyum masam. “Aku tahu.”
Anna Jo memandang adiknya yang sedang tertekan itu dengan perasaan geli
bercampur kasihan. “Setelah tiga kali mencoba dan gagal, kurasa Ibu akan menyerah.”
Danny menggeleng cepat. “Oh, kurasa tidak. Kemarin Ibu bertanya padaku
wanita seperti apa yang kusuka. Untuk memudahkannya mencari wanita yang tepat
untukku, begitu katanya. Aku yakin dia masih belum menyerah.” “Lalu apa yang kaukatakan padanya?”
Kali ini Danny tersenyum kecil. “Kukatakan padanya kami akan melanjutkan
pembicaraan itu setelah aku kembali dari London.”
Anna mengangkat alis. “Oh, kau jadi pergi ke London?”
Danny memang pernah bercerita pada kakaknya bahwa ia akan pergi ke London untuk bekerja dengan Bobby Shin, salah seorang sutradara video musik terkenal di Korea. Walaupun Sutradara Shin sudah menetap di London bersama keluarganya, kadang-kadang ia masih aktif bekerja di Korea. Danny sudah beberapa kali bekerja sama dengan Sutradara Shin dalam pembuatan video musik dan ia snagat mengagumi pria yang lebih tua itu. Sekarang Danny kembali ditawari oleh Sutradara Shin sendiri untuk bekerja sama dengannya di London. Bukan sebagai model, tetapi sebagai asisten sutradara. Danny tidak mungkin melepaskan kesempatan sebesar itu.
“Aku akan berangkat minggu depan,” kata Danny.
“Ibu pasti uring-uringan,” kata Anna smabil tersenyum kecil dan menyandar- kan tubuh ke sandaran kursi. “Dia tidak pernah merasa tenang kalau kau pergi ke luar negeri. Apalagi kali ini kau akan bekerja dengan Sutradara Shin. Kau pasti akan cukup lama tinggal di sana. Kau sudah memberitahu Ibu tentang ini?”
Danny tersenyum lebar. “Oh, ya. Ibu mengeluh panjang-lebar dan terdengar sangat kecewa. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku bisa melarikan diri darinya untuk sementara.”
* * *
London, Inggris
Satu minggu kemudian
Naomi Ishida membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu ia memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseret- seret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala dan memandang ke luar jendela.
Tidak biasanya langit kota London terlihat cerah. Sepertinya musim semi yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Naomi membuka jendela dan menarik napas dalam- dalam, mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin, Naomi cepat-cepat menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba matanya terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, dear,” erangnya.
Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu sentakan cepat, mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk mengobrol di dapur, tepat di luar kamar tidurnya.
“Apa? Apa yang terjadi?” Gadis bertubuh jangkung, berkacamata, dan berambut merah panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi dengan kedua tangan, menatap Naomi dengan alis terangkat heran.
Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti rehabilitasi—
piama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan wajah mengantuk—Julie Humphrey yang lebih muda daripada Naomi sebenarnya adalah putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar mimpinya menjadi aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa tahun ini ia memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di West End, meskipun hanya mendapat peran-peran kecil.
“Aku terlambat...,” kata Naomi panik sambil berlari ke kamar mandi di samping dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku terlambat.”
Julie mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu berlebihan,
Naomi. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya terlambat bangun sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam kemarin. Kau berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan mendesah muram. “Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap harus bekerja di hari Sabtu yang indah ini.”
Naomi menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar mandi karena ia sedang sibuk menggosok gigi.
“Hei, Sayang, kau mau wafel ala Chris dengan selai apel buatan sendiri?” tanya laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang duduk di hadapan Julie. “Kau tahu benar selai apel buatanku bisa membuatmu merasa seperti di melayang di angkasa.”
Christopher Scott, yang aslinya berasal dari Edinburg, Skotlandia, berprofesi sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Soho, walaupun ketika pertama kali bertemu dengannya, Naomi merasa Chris lebih mirip preman karena tato naga dan ular yang ada di sepanjang lengan kanannya. Meskipun begitu Naomi harus mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki mata seperti Chris. Mata biru yang benar-benar biru, mata yang bisa membuat wanita mana pun yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi sayangnya, Chris tidak tertarik pada wanita.
Naomi kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas artinya.
Chris menoleh ke arah Julie. “Apa katanya?”
Julie mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di angkasa?”
Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras dan Naomi melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu lemari dibuka dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.
“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Chris tempat duduknya di dapur. “Kau
bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau membabi-buta seperti itu.”
Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Naomi yang berseru,
“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”
Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.
Beberapa menit kemudian Naomi muncul kembali dari balik pintu kamar tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan topinya.
“Ngomong-ngomong,” kata Julie, “kau akan tampil di video musik siapa?” Naomi mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,” katanya
sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku tertarik adalah konsep video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.”
Julie menoleh menatap Naomi, mata hijaunya bersinar cerah. “Apakah ceritanya romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita romantis.”
Naomi mendesah tidak sabar. “Kurasa ceritanya tentang seorang pria yang diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya dari jauh. Diam- diam selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa dirinya. Kira- kira seperti itu,” sahutnya.
“Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Julie dan menatap Chris. Yang
ditatap mengangguk setuju.
“Kurasa agak menakutkan,” gerutu Naomi. “Coba pikir, diam-diam mengawasi si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan wajah. Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?”
“Astaga,” gumam Chris sambil menggeleng-geleng. “Kuharap sutradara video musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau menjadi bintang film horor.”
Naomi tersenyum dan mendorong bahu Chris dengan main-main. “Baiklah,
Teman-teman, aku pergi dulu.”
“Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Chris dengan selai apel ini?” tanya Chris sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau tahu sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup kurus sekarang. Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang yang duduk di depanku ini.”
“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Julie sambil memutar bola matanya. “Koki paling kerempeng sedunia.”
Chris tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk walaupun aku makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak makan.”
“Model memang seharusnya kurus,” gumam Naomi sambil merogoh-rogoh
tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada di dalam. Dompet. Kunci. Ponsel.
“Apa?” tanya Chris, tidak mendengar apa yang digumamkan Naomi tadi.
“Tidak apa-apa.” Naomi menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia tidak mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Chris pasti akan mulai menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu saat ini.
“Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,” kata Naomi cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah jam...,” ia melirik jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!”
Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Naomi berlari menuruni tangga
dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik jam tangannya sekali lagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta. Ia tidak mungkin sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim semi. Semua itu harus menunggu.
Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di London dan sejak ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Julie dan Chris di Hampstead yang terletak di pinggiran kota London. Flat yang ditempatinya bersama Jlie dan Chris berada tepat di atas Robin‟s Nest, sebuah pub tradisional Irlandia yang sudah berdiri sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Naomi tidak keberatan. Berbeda dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana sepi.
Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur—satu kamar tidur utama yang berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil—satu kamar mandi,
dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan samping gedung sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke bagian depan gedung. Julie menempati kamar tidur utama karena dialah yang pertama kali menempati flat ini sebelum ia mengajak Chris berbagi flat dengannya. Lalu pada musim panas lebih dua tahun lalu Naomi ikut bergabung.
Naomi tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah sendiri. Saudara kembarnya, Keiko, selalu ada bersamanya sampai ketika Naomi memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia mengkhawatirkan Keiko karena saudara kembarnya itu juga tidak terbiasa sendirian. Tetapi mengingat mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan setelah membaca e-mail dari Keiko yang melibatkan seorang tetangga baru di gedung apartemen mereka3, Naomi merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Keiko lagi.
Empat puluh lima menit kemudian, Naomi sudah tiba di lokasi syuting untuk hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Hyde Park, salah satu taman paling terkenal di London, di dekat Serpentine Lake. Naomi memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam semalam bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang Korea. Di sekitarnya terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan saling berseru dalam bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dipahami Naomi.
Naomi juga baru menyadari bahwa selain Bobby Shin, alias si sutradara video musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal dan penata rias yang bertanggung jawab atas penampilan Naomi dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi pekerjaan Naomi sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan bekerja sama dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi ia merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.
“Ini tehmu.”
Naomi menoleh dan melihat penata riasnya—yang memperkenalkan diri sebagai Yoon—mengulurkan secangkir teh harum yang mengepul. Senyum Naomi mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. Ia menerima teh itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan teh itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya.
“Kau juga lapar?” tanya Yoon dengan bahasa Inggris yang masih dihiasi logat
Korea. “Mau makan ini?”
Naomi menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya. Gemuruh di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau benar-benar penyelamatku,” katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat. Seorang model memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan.
3 Baca Winter in Tokyo
Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di meja di depan Naomi, membuat Naomi bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil sepotong lagi kalau ternyata ia masih belum kenyang.
“Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu di video musik ini?” tanya Yoon ketika ia mulai menggulung rambut Naomi dengan rol-rol besar.
Naomi mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah Yoon
yang bulat di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku bahkan belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap tehnya yang enak sekali.
Mata Yoon yang sipit langsung berbinar-binar. “Jo In-Ho,” katanya singkat.
Ketika melihat Naomi yang menatapnya dengan pandangan bertanya, ia melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Jo In-Ho. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Danny Jo.”
Naomi berhenti mengunyah donatnya.
Yoon memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat bertemu dengannya.” Ia mendesah dan kebmali menggulung rambut Naomi. “Mungkin kau tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering membintangi iklan dan video musik.”
Karena Naomi tidak berkata apa-apa, Yoon menambahkan, “Tidak perlu khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar tampan. Kalau kau melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”
Naomi masih diam. Hanya menunduk menatap teh kental yang mengepul di dalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang dirasakannya tadi menguap begitu saja.
Tiba-tiba Yoon menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!” bisik Yoon
dengan nada mendesak.
Kepala Naomi berputar pelan dan matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda. Laki-laki itu melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya dengan senyum lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.
“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.”
Naomi mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, dear. Maaf,” gumamnya pelan.
“Nah, kubilang juga apa?” kata Yoon sambil menepuk pundak Naomi lagi dan
tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terliaht hampir jatuh pingsan.”
Naomi memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa melihat bayangan Danny Jo di sana. Tepat pada saat ia melihat Yoon berbalik dan mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru, “Hei, Danny!”
Naomi membeku. Oh, tidak...
Danny menoleh ke arah mereka. Ke arah Naomi. Sedetik mata mereka bertemu di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata Naomi. Hanya sedetik, sebelum Naomi buru-buru mengalihkan pandangan, menatap Yoon yang tersenyum lebar padanya di cermin.
“Dia ke sini,” kata Yoon. “Akan kuperkenalkan kau padanya.”
Naomi tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya erat-erat. Ya Tuhan...
..............................
SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE .. ..
SELANJUTNYA TERBIT 7 HARI LAGI
SALAM DEKA