STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN
Bagian Dahulu
Cerita cinta SPRING IN LONDON BAGIAN 1
SPRING IN LONDON
Coretan kedua
DANNY melangkah keluar dari flatnya di Mayfair dan menarik napas dalam-dalam. Ia mengeluarkan iPod dan memasang earphone ke telinga, lalu berjalan ke stasiun kereta bawah tanah.
Suasana hatinya saat itu sangat bertolak belakang dengan langit yang cerah. Wajar saja. Ia baru saja berbicara dengan ayahnya di telepon. Setiap kali ia selesai berbicara dengan ayahnya, dadanya selalu terasa berat.
Tadi ia menelepon orangtuanya hanya untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba di London dengan selamat. Orangtuanya selalu mencemaskannya, selalu khawatir apabila pekerjaan Danny menuntutnya pergi ke luar negeri. Sering kali Danny merasa tertekan dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dirinya itu. Karena itulah ia juga harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri untuk memaklumi perasaan orangtuanya.
“Kau tahu benar kenapa mereka mengkhawatirkanmu, In-Ho,” kata Anna dulu
ketika Danny pertama kali mengungkapkan perasaan tertekannya kepada kakak perempuannya.
“Aku tahu, Nuna,” gerutu Danny, lalu mendesah. “Aku tahu.”
Danny tahu benar bahwa semua kekhawatiran itu bermula dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan kakak lakii-laki mereka, putra sulung keluarga Jo, ketika sedang berada di luar negeri.
“Ayah dan Ibu sudah tua,” kata Anna sambil menatap Danny yang saat itu memandang kosong ke luar jendela. Ia mengerti apa yang dirasakan Danny dan ia juga bisa merasakan perasaan tertekan adiknya itu, tetapi bagaimanapun juga Danny sendiri harus mengerti perasaan orangtua mereka. “Karena Oppa1 sudah tidak ada, yang tersisa hanya kau. Hanya kau anak laki-laki yang bisa mereka andalkan untuk menjaga keluarga.”
1 Panggilan wanita kepada pria yang lebih tua / kakak
Saat itu Danny hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, dan kembali memandang ke luar jendela.
Kereta berhenti di stasiun Hyde Park Corner, menyentakkan Danny kembali ke alam sadar. Ia menarik napas panjang. Waktunya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional.
Ketika Danny tiba di lokasi syuting, ia melihat para staf produksi sibuk bersiap- siap memulai proses syuting. Ia enyapa beberapa staf yang dikenalnya dan pergi mencari Bobby Shin.
“Hyong2,” panggilnya ketika ia melihat si sutradara sedang mengobrol dengan
salah seorang kamerawan.
Bobby Shin yang berusia empat puluhan terlihat seperti penampilan sutradara pada umumnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk karena terbiasa duduk membungkuk menatap monitor, berkacamata, bertopi, dan tidak ada ciri khusus di wajahnya yang ramah. Mendengar panggilan Danny, ia menoleh dan tersenyum lebar. “Danny boy, senang bertemu denganmu lagi,” sahutnya ramah dan mengulurkan tangan. “Kau baru tiba kemarin, bukan? Kuharap kau tidak jet-lag. Kita hanya punya waktu tiga hari untuk syuting. Seharusnya itu bukan masalah besar, tapi jadwal kita akan sangat padat.”
Danny menjabat tangan Bobby Shin yang terulur. “Aku baik-baik saja,” kata
Danny. “Hyong tidak perlu khawatir.”
“Bagus.” Bobby Shin mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, lawan mainmu sudah datang. Kurasa dia sedang dirias. Kau bisa memperkenalkan diri nanti. Dia orang Jepang, jadi kau jangan berceloteh kepadanya dalam bahasa Korea,” katanya. “Sebaiknya kau juga bersiap-siap. Kita akan mulai setengah jam lagi.”
Danny pergi menyapa beberapa staf produksi yang sudah dikenalnya. Tiba-tiba ia mendengar seseorang berseru memanggilnya. Ia menoleh ke arah salah satu tenda dan melihat Yoon, penata rias selebriti yang sudah dikenalnya, bersama seorang gadis berambut hitam panjang yang belum pernah dilihatnya. Nah, gadis itu pasti lawan mainnya.
“Apa kabar, Nuna?” sapa Danny sambil menghampiri Yoon. Ia berhenti di depan Yoon dan menatap wanita bertubuh agak gempal itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, lalu menyipitkan mata. “Ada sesuatu yang berubah di sini. Hmm... Nuna lebih kurus ya?”
Yoon meringis, lalu tertawa. “Omong kosong. Aku tahu berat badanku tidak
turun-turun walaupun aku sudah mencoga segala macam diet.”
“Tapi Nuna tetap cantik,” kata Danny dan menyunggingkan senyumnya yang
terkenal. Kemudian ia mengalihkan perhatian kepada gadis yang satu lagi, yang
2 Panggilan pria kepada pria yang lebih tua / kakak
duduk diam sambil menggenggam cangkir kertas dengan kedua tangan. Danny mengulurkan tangan dan berkata dalam bahasa Inggris, “Dan kau pasti gadis yang membuatku jatuh cinta.”
Gadis itu tersentak, mendongak dan menatap langsung ke arah Danny. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran Danny ketika ia melihat wajah gadis itu dengan jelas adalah bahwa gadis itu mirip boneka. Bukankah Sutradara Shin berkata gadis ini orang Jepang? Tetapi gadis ini tidak benar-benar mirip orang Jepang. Mungkin matanya yang besar itulah yang membuatnya tidak mirip orang Jepang.
Dan mata itu menatap Danny dengan kaget dan gugup. Dan... takut?
* * *
Naomi mendongak dan menatap laki-laki berambut hitam dan bertubuh jangkung yang berdiri di dekatnya itu tanpa berkedip. Danny Jo memang tepat seperti yang digambarkan Yoon tadi. Dan Naomi memang merasa hampir pingsan, walaupun alasannya jauh berbeda dengan perkiraan Yoon.
Sebelum Naomi sempat membuka mulut, Danny Jo cepat-cepat berkata, “Dalam video musik ini, maksudku. Kau akan berperan menjadi gadis yang membuatku jatuh cinta dalam video musik ini.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Kau yang akan menjadi lawan mainku, bukan?”
Naomi mengerjap satu kali, seolah-olah baru tersadar dari lamunan. Perlahan- lahan ia mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi dan bergumam, “Ya.”
Danny tersenyum. “Namaku Danny. Danny Jo,” katanya sambil menggerakkan
tangannya yang masih terulur, mengundang Naomi menjabatnya.
Naomi menunduk menatap tanagn Danny, kemudian ia meletakkan cangkir kertasnya di atas meja dan berdiri dari kursi. Ia membungkuk sedikit sebelum menjabat tangan Danny—itu salah satu kebiasannya sebagai orang Jepang yang tidak bisa dihilangkannya—dan bergumam, “Naomi Ishida.”
“Naomi,” kata Danny, senyumnya melebar, “senang berkenalan denganmu.”
Tepat pada saat itu terdengar seseorang berseru memanggil Danny dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea. Danny menoleh ke belakang dan balas menyerukan sesuatu. Kemudian ia kembali menatap Naomi. Matanya bersinar geli. “Itu penata riasku,” jealsnya dalam bahasa Inggris karena tahu Naomi tidak bisa berbahasa Korea. “Dia menyuruhku segera bersiap-siap karena kita akan segera mulai syuting. Aku tidak mengerti kenapa aku harus dirias kalau wajahku tidak akan disorot sepanjang video musik ini.” Ia mengangkat bahu. “Tapi sebaiknya aku menurutinya. Percayalah padaku, kau tidak mau melihat penata riasku mengamuk. Aku pernah melihatnya dan itu bukan pemandangan yang bagus.”
Setelah melambai singkat kepada Naomi, Danny membalikkan tubuh dan bergegas menghampiri penata rias yang sudah menunggunya.
“Dia baik sekali, bukan?” kata Yoon ketika Naomi kembali duduk dan menatap
cermin.
Naomi menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum kepada bayangan Yoon di cermin. “Ya,” gumamnya, menunduk menatap jari-jari tangannya yang saling meremas.
Entah berapa lama Naomi duduk di sana dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia baru tersadar dari lamunannya ketika seseorang berseu menyuruh para model berkumpul karena syuting akan segera dimulai. Naomi mendongak dan menarik napas.
Saatnya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional, pikir Naomi dalam hati. Ini adalah pekerjaannya dan ia tahu ia bisa melakukannya. Lakukan dan selesaikan. Hanya tiga hari. Ia hanya perlu bertahan tiga hari. Lalu semua ini akan segera berakhir.
Suasana hatinya saat itu sangat bertolak belakang dengan langit yang cerah. Wajar saja. Ia baru saja berbicara dengan ayahnya di telepon. Setiap kali ia selesai berbicara dengan ayahnya, dadanya selalu terasa berat.
Tadi ia menelepon orangtuanya hanya untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba di London dengan selamat. Orangtuanya selalu mencemaskannya, selalu khawatir apabila pekerjaan Danny menuntutnya pergi ke luar negeri. Sering kali Danny merasa tertekan dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dirinya itu. Karena itulah ia juga harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri untuk memaklumi perasaan orangtuanya.
“Kau tahu benar kenapa mereka mengkhawatirkanmu, In-Ho,” kata Anna dulu
ketika Danny pertama kali mengungkapkan perasaan tertekannya kepada kakak perempuannya.
“Aku tahu, Nuna,” gerutu Danny, lalu mendesah. “Aku tahu.”
Danny tahu benar bahwa semua kekhawatiran itu bermula dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan kakak lakii-laki mereka, putra sulung keluarga Jo, ketika sedang berada di luar negeri.
“Ayah dan Ibu sudah tua,” kata Anna sambil menatap Danny yang saat itu memandang kosong ke luar jendela. Ia mengerti apa yang dirasakan Danny dan ia juga bisa merasakan perasaan tertekan adiknya itu, tetapi bagaimanapun juga Danny sendiri harus mengerti perasaan orangtua mereka. “Karena Oppa1 sudah tidak ada, yang tersisa hanya kau. Hanya kau anak laki-laki yang bisa mereka andalkan untuk menjaga keluarga.”
1 Panggilan wanita kepada pria yang lebih tua / kakak
Saat itu Danny hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, dan kembali memandang ke luar jendela.
Kereta berhenti di stasiun Hyde Park Corner, menyentakkan Danny kembali ke alam sadar. Ia menarik napas panjang. Waktunya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional.
Ketika Danny tiba di lokasi syuting, ia melihat para staf produksi sibuk bersiap- siap memulai proses syuting. Ia enyapa beberapa staf yang dikenalnya dan pergi mencari Bobby Shin.
“Hyong2,” panggilnya ketika ia melihat si sutradara sedang mengobrol dengan
salah seorang kamerawan.
Bobby Shin yang berusia empat puluhan terlihat seperti penampilan sutradara pada umumnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk karena terbiasa duduk membungkuk menatap monitor, berkacamata, bertopi, dan tidak ada ciri khusus di wajahnya yang ramah. Mendengar panggilan Danny, ia menoleh dan tersenyum lebar. “Danny boy, senang bertemu denganmu lagi,” sahutnya ramah dan mengulurkan tangan. “Kau baru tiba kemarin, bukan? Kuharap kau tidak jet-lag. Kita hanya punya waktu tiga hari untuk syuting. Seharusnya itu bukan masalah besar, tapi jadwal kita akan sangat padat.”
Danny menjabat tangan Bobby Shin yang terulur. “Aku baik-baik saja,” kata
Danny. “Hyong tidak perlu khawatir.”
“Bagus.” Bobby Shin mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, lawan mainmu sudah datang. Kurasa dia sedang dirias. Kau bisa memperkenalkan diri nanti. Dia orang Jepang, jadi kau jangan berceloteh kepadanya dalam bahasa Korea,” katanya. “Sebaiknya kau juga bersiap-siap. Kita akan mulai setengah jam lagi.”
Danny pergi menyapa beberapa staf produksi yang sudah dikenalnya. Tiba-tiba ia mendengar seseorang berseru memanggilnya. Ia menoleh ke arah salah satu tenda dan melihat Yoon, penata rias selebriti yang sudah dikenalnya, bersama seorang gadis berambut hitam panjang yang belum pernah dilihatnya. Nah, gadis itu pasti lawan mainnya.
“Apa kabar, Nuna?” sapa Danny sambil menghampiri Yoon. Ia berhenti di depan Yoon dan menatap wanita bertubuh agak gempal itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, lalu menyipitkan mata. “Ada sesuatu yang berubah di sini. Hmm... Nuna lebih kurus ya?”
Yoon meringis, lalu tertawa. “Omong kosong. Aku tahu berat badanku tidak
turun-turun walaupun aku sudah mencoga segala macam diet.”
“Tapi Nuna tetap cantik,” kata Danny dan menyunggingkan senyumnya yang
terkenal. Kemudian ia mengalihkan perhatian kepada gadis yang satu lagi, yang
2 Panggilan pria kepada pria yang lebih tua / kakak
duduk diam sambil menggenggam cangkir kertas dengan kedua tangan. Danny mengulurkan tangan dan berkata dalam bahasa Inggris, “Dan kau pasti gadis yang membuatku jatuh cinta.”
Gadis itu tersentak, mendongak dan menatap langsung ke arah Danny. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran Danny ketika ia melihat wajah gadis itu dengan jelas adalah bahwa gadis itu mirip boneka. Bukankah Sutradara Shin berkata gadis ini orang Jepang? Tetapi gadis ini tidak benar-benar mirip orang Jepang. Mungkin matanya yang besar itulah yang membuatnya tidak mirip orang Jepang.
Dan mata itu menatap Danny dengan kaget dan gugup. Dan... takut?
* * *
Naomi mendongak dan menatap laki-laki berambut hitam dan bertubuh jangkung yang berdiri di dekatnya itu tanpa berkedip. Danny Jo memang tepat seperti yang digambarkan Yoon tadi. Dan Naomi memang merasa hampir pingsan, walaupun alasannya jauh berbeda dengan perkiraan Yoon.
Sebelum Naomi sempat membuka mulut, Danny Jo cepat-cepat berkata, “Dalam video musik ini, maksudku. Kau akan berperan menjadi gadis yang membuatku jatuh cinta dalam video musik ini.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Kau yang akan menjadi lawan mainku, bukan?”
Naomi mengerjap satu kali, seolah-olah baru tersadar dari lamunan. Perlahan- lahan ia mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi dan bergumam, “Ya.”
Danny tersenyum. “Namaku Danny. Danny Jo,” katanya sambil menggerakkan
tangannya yang masih terulur, mengundang Naomi menjabatnya.
Naomi menunduk menatap tanagn Danny, kemudian ia meletakkan cangkir kertasnya di atas meja dan berdiri dari kursi. Ia membungkuk sedikit sebelum menjabat tangan Danny—itu salah satu kebiasannya sebagai orang Jepang yang tidak bisa dihilangkannya—dan bergumam, “Naomi Ishida.”
“Naomi,” kata Danny, senyumnya melebar, “senang berkenalan denganmu.”
Tepat pada saat itu terdengar seseorang berseru memanggil Danny dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea. Danny menoleh ke belakang dan balas menyerukan sesuatu. Kemudian ia kembali menatap Naomi. Matanya bersinar geli. “Itu penata riasku,” jealsnya dalam bahasa Inggris karena tahu Naomi tidak bisa berbahasa Korea. “Dia menyuruhku segera bersiap-siap karena kita akan segera mulai syuting. Aku tidak mengerti kenapa aku harus dirias kalau wajahku tidak akan disorot sepanjang video musik ini.” Ia mengangkat bahu. “Tapi sebaiknya aku menurutinya. Percayalah padaku, kau tidak mau melihat penata riasku mengamuk. Aku pernah melihatnya dan itu bukan pemandangan yang bagus.”
Setelah melambai singkat kepada Naomi, Danny membalikkan tubuh dan bergegas menghampiri penata rias yang sudah menunggunya.
“Dia baik sekali, bukan?” kata Yoon ketika Naomi kembali duduk dan menatap
cermin.
Naomi menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum kepada bayangan Yoon di cermin. “Ya,” gumamnya, menunduk menatap jari-jari tangannya yang saling meremas.
Entah berapa lama Naomi duduk di sana dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia baru tersadar dari lamunannya ketika seseorang berseu menyuruh para model berkumpul karena syuting akan segera dimulai. Naomi mendongak dan menarik napas.
Saatnya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional, pikir Naomi dalam hati. Ini adalah pekerjaannya dan ia tahu ia bisa melakukannya. Lakukan dan selesaikan. Hanya tiga hari. Ia hanya perlu bertahan tiga hari. Lalu semua ini akan segera berakhir.
--------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE
terimakasih sudah membaca
SALAM DEKA