Cloud Hosting Indonesia

Cerita Cinta : SPRING IN LONDON 3

STORY LOVE SPESIAL

SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN
Bagian Dahulu

Cerita cinta SPRING IN LONDON BAGIAN 1

Cerita cinta SPRING IN LONDON BAGIAN 2

SPRING IN LONDON
Coretan Ketiga

HARI pertama syuting sangat melelahkan karena seharian itu Sutradara Shin memutuskan untuk mengambil adegan di luar ruangan. Lokasi syuting hari itu berkisar di Hyde Park dan West End, terutama di Piccadilly Circus. Tentu saja syuting di tempat umum bukan hal yang gampang karena sisa-sisa musim dingin masih terasa dan banyak orang berlalu-lalang. Namun Sutradara shin adalah sutradara yang perfeksionis. Ia sangat memperhatikan gerak-gerik Naomi di depan kamera, dari ekspresi wajah, posisi tubuh, langkah kaki, gerakan tangan, bahkan sampai tatapan mata.
“Cut!” seru Sutradara Shin untuk yang kesekian kalinya.
Naomi menegakkan tubuh dan menoleh ke arah si sutradara. Langit sudah berubah gelap sejak berjam-jam yang lalu. Mereka pun sudah mengulangi adegan di depna toko barang antik bercat merah cerah ini sedikitnya enam kali dan tidak ada satu adegan pun yang memuaskan bagi Sutradara Shin.
“Kali ini coba kau menyeberang jalan dari sana ke sini,” kata Sutradara Shin ketika ia sudah berada di samping Naomi, “lalu berhenti sebentar di depan toko ini, melongok ke dalam, seolah-olah kau ragu, lalu kau masuk. Oke? Kita coba yang ini.”
Naomi tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah mulai menjalari tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kakinya terasa sakit dalam sepatu bot yang kekecilan. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia merasakan semua itu. Sebagai model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan tenaganya. Ia pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di London Fashion Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari rumah pada pukul empat pagi untuk acara pemotretan di Cornwall. Jadi rasa lelah sama sekali tak asing baginya, malah kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah itu.
Sutradara Shin mengangguk. “Kita akan mulai lima menit lagi,” katanya, lalu
berjalan ke salah seorang kamerawan di sana.
Yoon bergegas membawakan jaket untuk Naomi. “Terima kasih,” gumam
Naomi sambil mengenakan jaketnya dan menjejalkan tangan ke saku.
“Duduk di sini,” kata Yoon sambil mendorong Naomi ke salah satu bangku di
dekat cahaya lampu dan mulai memperbaiki riasannya.
Ketika Yoon pergi mengambil peralatannya yang lain, Naomi memejamkan mata sejenak. Waktu istirahat yang didapatkannya hanyalah sedikit waktu di sela- sela pekerjaan seperti ini. Naomi tidak tahu apakah ada orang yang pernah meng- hargai lima menit waktu luang seperti dirinya. Tiba-tiba ia mencium aroma yang enak. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada secangkir teh yang mengepul.
“Capek?”
Mendengar suara rendah dan asing itu, Naomi mengangkat wajah dan langsung bertatapan dengan mata gelap Danny Jo yang ramah. Sejak pertemuan pertama mereka pagi tadi, sepanjang hari itu mereka sama sekali belum sempat saling bicara. Mereka sama sekali belum melakukan adegan bersama dan adegan mereka masing- masing diambil secara terpisah. Dan setiap kali tidak berada di depan kamera, Danny langsung kembali pada perannya sebagai asisten Sutradara Shin, sibuk di belakang kamera. Naomi tahu dari Yoon bahwa tujuan utama Danny datang ke London sebenarnya memang untuk bekerja dengan Bobby Shin dan laki-laki itu hanya setuju menjadi model di video musik ini tanpa dibayar adalah karena si penyanyi adalah teman baiknya.
Karena Naomi tetap bergeming, Danny meraih tangan Naomi, ingin membuat- nya menerima cangkir kertas yang disodorkan. Tetapi Naomi langsung tersentak dan secepat kilat menarik kembali tangannya. Danny mengerjap dan menatap Naomi dengan alis terangkat heran. Walaupun udara terasa dingin, Naomi merasa pipinya memanas. Selama beberapa detik tidak ada yang bergerak. Lalu Danny menghela napas dan menempelkan cangkir kertas yang hangat itu ke tangan Naomi. “Ini. Minumlah. Kau akan merasa lebih baik,” katanya ringan.
Naomi menggenggam cangkir kertas yang disodorkan itu dengan kedua tangan. Ia mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalari ujung jari dan tangannya. Sedikit ketegangan pun menguap dari pundaknya.
“Sutradara Shin memang agak keras, tapi dia selalu berhasil mendapat gambar yang bagus,” kata Danny sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Kau akan lihat nanti.”
Naomi menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat.
Tepat pada saat itu terdengar suara Sutradara Shin yang menyatakan syuting akan dimulai lagi.
Danny menoleh ke arah si sutradara, lalu kembali menatap Naomi.
“Bertahanlah sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum menghibur sebelum berbalik
dan meninggalkan Naomi.
Naomi menatap punggung Danny yang menjauh sejenak, lalu menunduk menatap cangkir teh yang masih penuh dan bergetar dalam genggamannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan meletakkan cangkir itu ke tanah.
* * * Akhirnya syuting hari itu selesai juga.
Naomi mengusap-usap bagian belakang lehernya sambil mengumpulkan
barang-barangnya. Ia menatap jam yang tertera di layar ponsel. Kalau ia bergegas, ia bisa naik kereta bawah tanah yang terakhir. Besok ia harus bangun pagi-pagi karena ia diminta tiba di lokasi syuting jam delapan pagi. Sekarang ini ia hanya ingin tidur.
“Naomi.”
Naomi berbalik ketika mendengar Sutradara Shin memanggilnya. “Ya?” “Kau akan pulang sendirian?” tanya Sutradara Shin.
“Ya,” sahut Naomi dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Aku
masih sempat naik kereta terakhir.”
Sutradara Shin mengerutkan kening sejenak. “Sekarang sudah terlalu larut. Tidak baik membiarkan seorang gadis berjalan sendirian,” katanya. Kemudian ia memandang berkeliling, ke arah para staf produksi yang sedang sibuk mengumpulkan dan merapikan perlengkapan. Matanya berhenti pada Danny Jo yang sedang membantu mengangkat perlengkapan ke mobil van. “Oi, Danny,” seru Sutradara Shin.
Danny Jo menoleh. “Ya?”
“Kau bisa mengantar Naomi pulang?” tanya Sutradara Shin dalam bahasa Inggris kepada Danny. “Aku tidak mau dia pulang sendirian malam-malam begini.” Mata Naomi melebar. “Tidak,” katanya cepat. Terlalu cepat dan terlalu keras sampai kedua pria itu menoleh memandangnya. Naomi menggoyang-goyangkan tangan dan tersenyum gugup. “Tidak perlu repot-repot,” katanya dengan suara
yang diusahakan tidak terdengar panik. “Aku bisa sendiri. Sungguh.”
Danny berjalan menghampiri mereka. “Aku tidak keberatan,” katanya. “Lagi pula, aku setuju dengan Hyong. Sekarang sudah malam dan sebaiknya ada yang mengantarmu pulang. Kau tinggal di mana?”
Naomi menggoyangkan tangannya lagi. Kali ini lebih cepat. “Sungguh, aku tidak perlu diantar. Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah terbiasa pulang sendiri,” katanya sambil meraih tas dan topinya. Ketika ia melihat Danny membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Naomi cepat-cepat membungkuk. “Selamat malam,” katanya cepat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban dan berjalan pergi.
Mengamati punggung Naomi yang menjauh, Bobby Shin bergumam, “Rasanya
tidak benar membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini.”
Danny menoleh. “Tapi dia sendiri tidak mau ditemani,” balasnya. Lalu ia mengangkat bahu. “Hyong tidak perlu cemas. Tidak akan terjadi apa-apa.”
Bobby Shin mendecakkan lidah dengan pelan. “Tapi tetap saja...,” gumamnya
enggan. Ia menghela napas dan berbalik. “Ya sudahlah. Ayo, Danny. Kita bereskan tempat ini dan pulang.”
“Ya. Tentu saja,” gumam Danny. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya
berdiri sampai sosok Naomi menghilang di belokan di seberang jalan sepi itu.


* * *


Sementara itu Naomi meragukan keputusannya sendiri. Jalanan sudah sepi. Stasiun kereta bawah tanah juga tiba-tiba terlihat remang-remang dan menakutkan. Hanya ada segelintir orang yang berdiri menunggu kereta. Naomi tidak suka tempat sepi. Kepanikan mulai meresapi otaknya dan membuat tubuhnya menggigil.
Apakah tadi sebaiknya ia menerima tawaran Danny Jo untuk mengantarnya pulang? Tapi ditemani laki-laki yang baru ditemuinya hari ini juga sama sekali bukan pilihan yang pantas dipertimbangkan.
Sepanjang perjalanan pulang Naomi menyibukkan pikirannya dengan
mengingat jadwal kerjanya selama sebulan ke depan, berusaha mengabaikan keadaan kereta yang hampir kosong dan dua pria berpenampilan kusam yang berdiri di dekat pintu sambil mengobrol dan menenggak bir. Ketika ia akhirnya tiba di Hampstead, Naomi baru bernapas sedikit lebih lega. Hanya sedikit. Karena sekarang ia harus berjalan kaki ke flatnya. Memang tidak jauh dari stasiun, tapi ia tetap merasa paranoid kalau harus berjalan sendirian malam-malam.
Sambil terus menyibukkan pikirannya sehingga tidak berpikiran macam- macam, Naomi berjalan cepat menyusuri jalan dari bebatuan yang mengarah ke flatnya. Ia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika sudah mendekati gedung flat. Robin‟s Nest di lantai satu gedung itu masih buka dan masih ramai. Cahaya lampu yang terang, suara orang tertawa, bercakap-cakap dan bunyi denting gelas membuat Naomi merasa santai.
Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba bunyi keras di belakangnya membuatnya
terperanjat, disusul disusul suara yang mengumpat. Naomi terkesiap, berputar cepat, dan membelalak.
“Oh, sialan,” gerutu sesosok bayangan gelap di bawah salah satu pohon yang berjejer di tepi jalan. Bayangan itu sepertinya sedang membungkuk dan mengangkat sesuatu dari tanah.
Naomi seakan terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak
bisa bernapas. Dengan mata terbelalak ia menatap bayangan itu membetulkan letak... tong sampah?
“Jangan panik. Ini aku. Aku menabrak tong sampah. Tapi tidak perlu khawatir. Tong sampahnya baik-baik saja.”
Naomi mengerjap mengenali suara itu sementara bayangan gelap tadi melangkah ke bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mata Naomi melebar setelah wajah laki-laki itu terlihat jelas. “Kau...?”
Danny Jo menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Naomi heran bercampur curiga. Ia memandang berkeliling, lalu kembali menatap Danny. Matanya disipitkan. “Kau mengikutiku?”
Danny tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia
berkata dengan nada merenung, “Kau tahu, ini pertama kalinya kau mengucapkan lebih dari dua kata padaku. Dan aku baru tahu kau punya logat London yang jelas. Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di sini?”
Naomi terdiam sejenak dan tetap menatap laki-laki di hadapannya. Lalu, tanpa
menjawab pertanyaan Danny, ia bertanya sekali lagi, “Sedang apa kau di sini?”
Danny Jo menjejalkan kedua tangan ke saku jaket abu-abunya dan mengangkat bahu. “Karena kau tidak mau diantar pulang, aku memutuskan untuk mengikutimu.”
Kening Naomi berkerut tidak mengerti. “Kenapa?”
“Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,” sahut Danny ringan. “Hyong—maksudku sutradara kita itu—takut sesuatu terjadi padamu.”
Naomi mengerjap bingung. “Oh.”
“Jadi,” kata Danny sambil mendongak memandang gedung di depannya, “kau tinggal di sini?”
Naomi menoleh, mengikuti arah pandang Danny, lalu kembali menatap laki-
laki itu. “Ya.”
Mendengar nada suara Naomi, mata Danny beralih kembali kepada Naomi dan ia tertawa pendek. “Tidak perlu curiga begitu. Aku tidak minta diajak masuk,” katanya. Ia menatap Naomi dari kepala sampai ke kaki, lalu kembali ke wajahnya dan berkata, “Lagi pula kau bukan tipeku.”
Naomi mengerjap kaget, membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya berkutat mencari balasan yang cocok, tetapi tidak ada satu pun yang terpikirkan olehnya. Otaknya mendadak kosong. Ia hanya bisa menatap laki-laki yang tersenyum lebar itu dengan sebal.
“Baiklah. Karena kau sudah sampai di rumah dengan selamat, aku pergi dulu,”
kata Danny sambil mengangkat sebelah tangan. “Sampai jumpa besok.”
Ketika laki-laki itu berbalik dan mulai melangkah pergi, Naomi baru berhasil memikirkan selusin cara membalas kata-kata Danny tadi. Tapi tentu saja sudah terlambat. Dengan jengkel Naomi membalikkan tubuh sambil menggali tasnya, mencari kunci pintu tangga depan.
“Siapa laki-laki itu?”
Jantung Naomi hampir jatuh ke tanah ketika Julie tiba-tiba sudah ada tepat di depan wajahnya. “Ya Tuhan, Julie!” Naomi menempelkan tangan ke dada. “Sedang apa kau di sini?”
Julie memberi isyarat dengan ibu jarinya ke arah Robin‟s Nest yang ramai. “Aku sedang bersama teman-temanku,” katanya. “Kebetulan aku melihatmu dengan laki- laki itu. Siapa dia?”
“Rekan kerja,” sahut Naomi, masih merasa sebal pada diri sendiri karena
membiarkan dirinya terlihat seperti orang bodoh di depan Danny Jo.
Alis Julie terangkat. “Dan dia mengantarmu pulang? Naomi, aku tidak pernah
meliahtmu diantar pulang oleh laki-laki.”
“Tidak, dia tidak mengantarku,” sela Naomi cepat, “dia mengikutiku.” Kali ini alis Julie berkerut. “Dia mengikutimu sampai ke sini? Untuk apa?” Naomi tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang. Danny Jo sudah
tidak terlihat. Ia menggeleng dan mendesah. “Entahlah. Aku lelah sekali dan aku
mau tidur,” katanya sambil mengeluarkan kunci dari tas dan berjalan melewati
Julie. “Sana, kembalilah kepada teman-temanmu.”
“Oh ya, Naomi,” panggil Julie. “Miho menelepon mencarimu berkali-kali hari ini. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.”
Naomi baru teringat ia mematikan ponselnya selama proses syuting agar tidak
mengganggu. Ia mendesah berat. “Miho. Oh, dear, aku hampir lupa. Aku berjanji akan menyerahkan artikelnya besok.” Ia mengembuskan napas panjang. Bahunya melesak. “Kurasa aku harus membatalkan rencanaku untuk tidur.”
Selain bekerja sebagai model, Naomi juga bekerja sebagai editor freelance di salah satu majalah fashion populer di Inggris. Ia sangat suka dan tahu banyak soal dunia fashion, jadi ketika Nakajima Miho, mantan teman seprofesi dan putri pemilik majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk majalahnya, Naomi dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Namun sekarang ia mulai mempertanyakan keputusannya sendiri untuk membantu Miho karena sepertinya ia sekarang hanya bukan hanya bertugas menulis artikel fashion, tetapi juga sering diminta mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan Miho sendiri sebagai editor- in-chief karena temannya itu bukan tipe orang yang bisa mengambil keputusan sendiri.
Julie menatapnya dengan tatapan prihatin. “Kurasa sudah waktunya kau memilih salah satu, Naomi. Model atau editor majalah. Kau tidak bisa melakukan dua-duanya dengan jadwalnya yang sekarang. Memangnya kau tidak capek?”
Naomi memutar kunci dan membuka pintu, lalu ia berbalik menatap temannya.
“Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya,” katanya sambil tersenyum.
Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, tetapi kesibukan adalah perlindung- annya. Kesibukan bisa mengalihkan perhatiannya. Kesibukan bisa membuatnya tidak memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya.
Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan Danny Jo.
-----------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
STORY BY ILANA TAN

TO BE CONTINUE
terimakasih sudah Membaca

SALAM DEKA

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama
Website Instan