CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
BAGIAN SEBELUMNYA
SEMUA SERIES
NAOMI tiba-tiba menyadari dirinya sangat lelah dan lapar ketika ia berjalan melewati pintu restoran kecil berdesain modern itu keesokan harinya. Aroma steik yang enak menerjang hidungnya, membuat kepalanya pusing sejenak. Ia praktis tidak tidur semalaman karena harus menyelesaikan artikel yang dijanjikannya kepada Miho. Ketika akhirnya ia berhasil menyelesaikan artikel itu dan mengirimnya lewat e-mail kepada Miho, ia hanya punya sisa waktu satu jam sebelum bersia-siap berangkat ke lokasi syuting lagi. Dihadapkan pada pilihan apakah ia harus tidur atau sarapan, Naomi memilih tidur, walaupun tentu saja satu jam itu sama sekali tidak cukup.
Dan tadi pagi ketika Naomi hendak keluar dari flat, Miho meneleponnya dan meminta bertemu di saat makan siang. Ketika Naomi berkata bahwa ia sudah mengirimkan artikelnya lewat e-mail, temannya itu tetap ingin bertemu. Katanya ada yang ingin dibicarakannya dengan Naomi. Sesuatu yang berhubungan dengan perancang busana baru yang akan ditampilkan di edisi mendatang. Karena Miho tidak suka ditolak, dan karena Naomi juga tidak tega menolak, akhirnya ia menyerah.
Naomi melirik jam tangan dan mengerang dalam hati. Perutnya yang menyedihkan terpaksa harus bertahan tanpa makanan siang ini. Ia harus cepat-cepat kembali ke lokasi syuting. Tadi Naomi hanya sempat memberitahu Yoon bahwa ia akan pergi sebentar sementara para kru makan siang. Ia tidak memberitahu Sutradara Shin karena tadi pria itu terlihat sedang sibuk bicara dengan asisten sutradara.
Si asisten sutradara...
Naomi menarik napas dan mengusap pelipisnya sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya tentang Danny Jo. Mereka belum sempat berbicara hari itu karena keadaan di lokasi syuting sangat sibuk dan karena hari ini tidak ada adegan
yang melibatkan dirinya, Danny Jo selalu berada di belakang kamera bersama
Sutradara Shin.
Tapi besok adalah hari terakhir syuting. Setelah itu Naomi tidak akan melihat Danny Jo lagi. Lalu semuanya akan kembali seperti semula. Semuanya akan baik- baik saja. Harus baik-baik saja.
Lamunannya buyar ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Naomi menoleh dan menatap salah satu meja kecil di tengah ruangan. Miho Nakajima melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Selain nama dan wajahnya, tidak ada kesan Asia lain dalam diri Miho. Karena dilahirkan dan dibesarkan di London, cara berpikir, cara bicara, dan gayanya sangat mirip orang Eropa. Walaupun masih keturunan Jepang, ia praktis tidak bisa berbahasa Jepang. Kemampuan berbahasa Jepang-nya benar-benar payah sampai Naomi selalu berbicara dengannya dalam bahasa Inggris.
“Maaf, aku agak terlambat. Sudah lama menunggu?” tanya Naomi begitu ia duuk dan melirik piring salad yang sudah hampir habis di depan Miho. Perutnya kembali berbunyi.
Miho mengibaskan rambut panjangnya yang dicat pirang ke belakang. “Aku
bersedia menunggu lama asal kau datang ke sini. Aku benar-benar butuh bantuanmu,” katanya sambil tersenyum lebar. Walaupun ia kini adalah editor-in- chief—jabatan yang dulunya dipegang oleh ibunya sebagai pemilik perusahaan—ia masih sering bergantung pada pendapat Naomi tentang berbagai hal.
“Baiklah. Apa yang bisa kubantu?” tanya Naomi langsung.
Miho tersenyum dan mengeluarkan sebuah folder dari tasnya yang besar. “Ini adalah perancang-perancang baru dan berbakat yang menurutku cocok diperkenalkan di edisi mendatang. Tentu saja kita tidak bisa menampilkan semuanya, jadi aku ingin mendengar pendapatmu. Menurutmu siapa yang paling oke?” Ia membuka folder itu dan mendorongnya ke arah Naomi. “Kita harus memutuskannya sekarang juga karena aku harus pergi selama seminggu atau bahkan lebih.”
“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanya Naomi sambil terus membaca
data yang disodorkan Miho.
Miho tersenyum masam. “Aku harus terbang ke Korea malam ini untuk menghadiri perayaan ulang tahun kakekku yang kedelapan puluh. Semua keluarga besar berkumpul untuk acara itu.” Ia mendesah panjang. “Asal kau tahu, aku tidak pernah suka acara keluarga seperti itu. Aku tidak dekat dengan kerabat-kerabatku, baik yang di Korea maupun yang di Jepang. Sama sekali tidak dekat. Bagaimana bisa dekat kalau akut idak mengerti apa yang mereka katakan dan mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris? Membosankan. Tapi, tentu saja orangtuaku memaksaku hadir. Mereka tidak mau aku dianggap kurang ajar.”
Kali ini Naomi menatap Miho dengan alis terangkat heran. “Kau punya keluarga di Korea?” Kenapa akhir-akhir ini ia merasa seolah-olah melihat orang Korea di mana-mana?
“Tentu saja,” sahut Miho sambil mendorong piring salad-nya yang isinya masih
bersisa. “Ibuku keturunan Korea. Kau tidak tahu?”
Naomi menggeleng. “Ternyata ibumu orang Korea?”
Sepertinya Miho tidak mendengar. Keningnya berkerut samar, memikirkan waktu-waktu panjang dan membosankan yang akan dihabiskannya di Korea. Ia sudah mengajukan seribu satu alasan kepada ibunya untuk tidak ikut, tetapi ibunya bersikeras dan Miho tidak punya pilihan lain yang tersisa selain menurut. Ia mendesah panjang dan menatap ke sekeliling restoran, lalu berkata, “Sepertinya aku butuh sedikit puding cokelat untuk mempersiapkan diriku menghadapi hari-hari suram yang menantiku. Kau mau memesan sesuatu?”
Naomi melirik jam tangan dan mengembuskan napas panjang. “Aku kelaparan setengah mati, tapi tidak ada waktu untuk makan.” Naomi menunjuk salah satu kertas di hadapannya. “Menurutku yang ini saja. Desain pakaiannya sangat unik, bukan? Aku suka warna-warna yang dipakainya. Bagaimana menurutmu?”
“Aku setuju saja denganmu,” sahut Miho dan mengangguk-angguk. “Kau
memang punya selera yang bagus, Naomi. Apa jadinya aku tanpa dirimu?”
Naomi tertawa singkat. “Aku yakin kau akan baik-baik saja,” katanya, lalu
melirik jam tangan. “Kalau tidak ada lagi yang lain, aku harus pergi sekarang.”
Miho menggeleng. “Tapi setelah aku kembali ke sini nanti aku ingin kau menemaniku pergi menemui perancang ini.”
“Baiklah,” kata Naomi cepat sambil bangkit dari kursi dan meraih tasnya. “Selamat bersenang-senang di Korea. Telepon aku kalau kau sudah kembali. Aku ingin tahu bagaimana kau berhasil melewati hari-hari suram yang kausebut-sebut itu.”
Miho tersenyum masam. “Itu juga kalau aku belum mati kebosanan di sana,” gerutunya. “Atau mati kesal karena harus menghadapi kerabat-kerabatku yang suka ikut campur dalam kehidupan pribadiku. Kau tahu, kudengar dari ibuku mereka sekarang berniat menjodohkan aku, seolah-olah aku sudah melakukan dosa besar karena masih melajang di usiaku yang sekarang.”
Naomi kembali melirik jam tangan. Ia harus segera kembali ke lokasi syuting. “Itu tandanya mereka peduli padamu,” katanya cepat, lalu tertawa ketika melihat raut wajah Miho. “Jangan muram begitu. Maksudku, siapa tahu kau suka calon yang mereka ajukan?”
Dan tadi pagi ketika Naomi hendak keluar dari flat, Miho meneleponnya dan meminta bertemu di saat makan siang. Ketika Naomi berkata bahwa ia sudah mengirimkan artikelnya lewat e-mail, temannya itu tetap ingin bertemu. Katanya ada yang ingin dibicarakannya dengan Naomi. Sesuatu yang berhubungan dengan perancang busana baru yang akan ditampilkan di edisi mendatang. Karena Miho tidak suka ditolak, dan karena Naomi juga tidak tega menolak, akhirnya ia menyerah.
Naomi melirik jam tangan dan mengerang dalam hati. Perutnya yang menyedihkan terpaksa harus bertahan tanpa makanan siang ini. Ia harus cepat-cepat kembali ke lokasi syuting. Tadi Naomi hanya sempat memberitahu Yoon bahwa ia akan pergi sebentar sementara para kru makan siang. Ia tidak memberitahu Sutradara Shin karena tadi pria itu terlihat sedang sibuk bicara dengan asisten sutradara.
Si asisten sutradara...
Naomi menarik napas dan mengusap pelipisnya sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya tentang Danny Jo. Mereka belum sempat berbicara hari itu karena keadaan di lokasi syuting sangat sibuk dan karena hari ini tidak ada adegan
yang melibatkan dirinya, Danny Jo selalu berada di belakang kamera bersama
Sutradara Shin.
Tapi besok adalah hari terakhir syuting. Setelah itu Naomi tidak akan melihat Danny Jo lagi. Lalu semuanya akan kembali seperti semula. Semuanya akan baik- baik saja. Harus baik-baik saja.
Lamunannya buyar ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Naomi menoleh dan menatap salah satu meja kecil di tengah ruangan. Miho Nakajima melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Selain nama dan wajahnya, tidak ada kesan Asia lain dalam diri Miho. Karena dilahirkan dan dibesarkan di London, cara berpikir, cara bicara, dan gayanya sangat mirip orang Eropa. Walaupun masih keturunan Jepang, ia praktis tidak bisa berbahasa Jepang. Kemampuan berbahasa Jepang-nya benar-benar payah sampai Naomi selalu berbicara dengannya dalam bahasa Inggris.
“Maaf, aku agak terlambat. Sudah lama menunggu?” tanya Naomi begitu ia duuk dan melirik piring salad yang sudah hampir habis di depan Miho. Perutnya kembali berbunyi.
Miho mengibaskan rambut panjangnya yang dicat pirang ke belakang. “Aku
bersedia menunggu lama asal kau datang ke sini. Aku benar-benar butuh bantuanmu,” katanya sambil tersenyum lebar. Walaupun ia kini adalah editor-in- chief—jabatan yang dulunya dipegang oleh ibunya sebagai pemilik perusahaan—ia masih sering bergantung pada pendapat Naomi tentang berbagai hal.
“Baiklah. Apa yang bisa kubantu?” tanya Naomi langsung.
Miho tersenyum dan mengeluarkan sebuah folder dari tasnya yang besar. “Ini adalah perancang-perancang baru dan berbakat yang menurutku cocok diperkenalkan di edisi mendatang. Tentu saja kita tidak bisa menampilkan semuanya, jadi aku ingin mendengar pendapatmu. Menurutmu siapa yang paling oke?” Ia membuka folder itu dan mendorongnya ke arah Naomi. “Kita harus memutuskannya sekarang juga karena aku harus pergi selama seminggu atau bahkan lebih.”
“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanya Naomi sambil terus membaca
data yang disodorkan Miho.
Miho tersenyum masam. “Aku harus terbang ke Korea malam ini untuk menghadiri perayaan ulang tahun kakekku yang kedelapan puluh. Semua keluarga besar berkumpul untuk acara itu.” Ia mendesah panjang. “Asal kau tahu, aku tidak pernah suka acara keluarga seperti itu. Aku tidak dekat dengan kerabat-kerabatku, baik yang di Korea maupun yang di Jepang. Sama sekali tidak dekat. Bagaimana bisa dekat kalau akut idak mengerti apa yang mereka katakan dan mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris? Membosankan. Tapi, tentu saja orangtuaku memaksaku hadir. Mereka tidak mau aku dianggap kurang ajar.”
Kali ini Naomi menatap Miho dengan alis terangkat heran. “Kau punya keluarga di Korea?” Kenapa akhir-akhir ini ia merasa seolah-olah melihat orang Korea di mana-mana?
“Tentu saja,” sahut Miho sambil mendorong piring salad-nya yang isinya masih
bersisa. “Ibuku keturunan Korea. Kau tidak tahu?”
Naomi menggeleng. “Ternyata ibumu orang Korea?”
Sepertinya Miho tidak mendengar. Keningnya berkerut samar, memikirkan waktu-waktu panjang dan membosankan yang akan dihabiskannya di Korea. Ia sudah mengajukan seribu satu alasan kepada ibunya untuk tidak ikut, tetapi ibunya bersikeras dan Miho tidak punya pilihan lain yang tersisa selain menurut. Ia mendesah panjang dan menatap ke sekeliling restoran, lalu berkata, “Sepertinya aku butuh sedikit puding cokelat untuk mempersiapkan diriku menghadapi hari-hari suram yang menantiku. Kau mau memesan sesuatu?”
Naomi melirik jam tangan dan mengembuskan napas panjang. “Aku kelaparan setengah mati, tapi tidak ada waktu untuk makan.” Naomi menunjuk salah satu kertas di hadapannya. “Menurutku yang ini saja. Desain pakaiannya sangat unik, bukan? Aku suka warna-warna yang dipakainya. Bagaimana menurutmu?”
“Aku setuju saja denganmu,” sahut Miho dan mengangguk-angguk. “Kau
memang punya selera yang bagus, Naomi. Apa jadinya aku tanpa dirimu?”
Naomi tertawa singkat. “Aku yakin kau akan baik-baik saja,” katanya, lalu
melirik jam tangan. “Kalau tidak ada lagi yang lain, aku harus pergi sekarang.”
Miho menggeleng. “Tapi setelah aku kembali ke sini nanti aku ingin kau menemaniku pergi menemui perancang ini.”
“Baiklah,” kata Naomi cepat sambil bangkit dari kursi dan meraih tasnya. “Selamat bersenang-senang di Korea. Telepon aku kalau kau sudah kembali. Aku ingin tahu bagaimana kau berhasil melewati hari-hari suram yang kausebut-sebut itu.”
Miho tersenyum masam. “Itu juga kalau aku belum mati kebosanan di sana,” gerutunya. “Atau mati kesal karena harus menghadapi kerabat-kerabatku yang suka ikut campur dalam kehidupan pribadiku. Kau tahu, kudengar dari ibuku mereka sekarang berniat menjodohkan aku, seolah-olah aku sudah melakukan dosa besar karena masih melajang di usiaku yang sekarang.”
Naomi kembali melirik jam tangan. Ia harus segera kembali ke lokasi syuting. “Itu tandanya mereka peduli padamu,” katanya cepat, lalu tertawa ketika melihat raut wajah Miho. “Jangan muram begitu. Maksudku, siapa tahu kau suka calon yang mereka ajukan?”
-------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
by ILANA TAN
TO BE CONTINUE ( Beli Novel )
Tags
StorySeriesIlanaTan