CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
SEMUA SERIES
DANNY memandang ke sekeliling studio yang menjadi lokasi syuting hari itu, tetapi gadis aneh itu tidak terlihat. Sutradara Shin meminta para model bersiap-siap karena syuting akan segera dilanjutkan, tetapi model utamanya tidak terlihat di mana-mana. Mungkin ia pergi makan siang di luar dan belum kembali. Danny mengembuskan napas dan mengingatkan diri sendiri untuk meminta nomor ponsel gadis itu supaya ia bisa menghubunginya kalau ada kejadian seperti ini lagi.
“Nuna,” panggil Danny sambil berjalan menghampiri Yoon yang sedang
merapikan kostum di rak gantung. “Nuna tahu di mana dia?” “Dia siapa?” Yoon balas bertanya tanpa menoleh.
“Siapa lagi? Gadis aneh itu. Naomi Ishida. Di mana dia?”
Sebelum Yoon sempat menjawab, terdengar suara dari balik punggung Danny
yang berkata pelan, “Aku di sini.”
Danny berputar cepat dan langsung berhadapan dengan sepasang mata hitam besar yang balas menatapnya dengan resah. Danny bertanya-tanya apakah Naomi Ishida mendengar kata-kata “gadis aneh itu” tadi, namun langsung menyadari bahwa gadis itu tidak mengerti bahasa Korea. Ia hanya mendengar Danny menyebut namanya dan menyadari bahwa dirinya sedang dicari-cari.
“Baguslah karena kau sudah di sini,” kata Danny cepat-cepat. “Kau harus
bersiap-siap sekarang.”
Naomi menggigit bibir dan mengangguk singkat. “Oh, oke. Aku akan...” Kata- katanya terhenti ketika ia tiba-tiba merasa dunia bergoyang. Seperti gempa bumi ringan yang sering dialaminya di Tokyo. Tetapi ini London. Tidak mungkin gempa bumi, bukan?
Ketika ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali, Naomi menyadari
Danny Jo sedang memegangi sikunya dan laki-laki itu menatapnya dengan alis
berkerut samar. “Ada apa denganmu?” tanyanya.
Naomi menggeleng bingung. “Aku tidak apa-apa,” sahutnya sambil menarik lengannya dari pegangan Danny dan mundur selangkah. “Aku akan bersiap-siap sekarang.”
“Kau sudah makan?” tanya Danny Jo lagi.
Naomi tidak langsung menjawab. Setelah ragu sejenak, ia berkata, “Sudah.”
Danny tidak berkata apa-apa. Hanya terlihat berpikir-pikir, lalu ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memanggilmu kalau semuanya sudah siap.”
Naomi memandangi punggung Danny yang menjauh sambil merenung, lalu ia
berputar menghadap Yoon dan tersenyum. “Kostum mana yang harus kupakai?”
Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dan berjalan kembali ke meja riasnya, Naomi melihat melihat dua bungkus sandwich dan sekotak susu tergeletak di meja rias. Ia mengamati kedua sandwich yang terlihat lezat itu. Sandwich kalkun dan sandwich mentimun. Secarik kertas kuning terselip di bawahnya.
Aku tidak tahu kau vegetarian atau bukan dan aku tidak tahu kau suka kalkun atau tidak, tapi tolong makan saja daripada kau jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?
D.
Naomi memandang berkeliling sampai ia melihat Danny Jo di seberang ruangan. Laki-laki itu sedang menunduk menatap sesuatu yang ditunjukkan salah seorang kru dan mendengarkan dengan saksama. Lalu tiba-tiba ia mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan Naomi. Sebelum Naomi sempat berpikir apa yang harus dilakukannya, Danny tersenyum sekilas kepadanya dan kembali memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan kru di sampingnya.
Menatap dua potong sandwich di tangan, Naomi hanya ragu sejenak, lalu membuka bungkusan sandwich kalkun dan menggigitnya. Ia memejamkan mata sejenak. Pada kenyataannya sandwich itu memang bukan sandwich paling enak di dunia, tetapi saat itu, bagi perutnya yang keroncongan, sandwich itu adalah salah satu makanan paling enak yang pernah dicicipi Naomi.
* * *
Danny mendapati dirinya tersenyum melihat gadis aneh itu menggigit sandwich dengan tekun, seolah-olah sandwich itu akan menguap kalau tidak segera dimasukkan ke mulut. Pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah Naomi Ishida bukan vegetarian. Lalu pikiran kedua adalah dugaannya memang benar. Gadis itu nyaris pingsan karena kelaparan tadi. Danny jadi ingin tahu apa yang
dilakukannya selama waktu makan siang tadi, kalau gadis itu memang tidak pergi makan.
Ia membiarkan dirinya menatap ke arah Naomi Ishida sejenak, lalu berdoa dalam hati supaya gadis itu tidak jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Jadwal syuting sudah cukup gila tanpa perlu ditambah dengan pingsannya model utama.
Tetapi pada kenyataannya ia tidak perlu khawatir sama sekali. Proses syuting sepanjang sisa hari itu berjalan sangat lancar. Entah karena perut Naomi Ishida yang sudah terisi penuh sehingga ia bisa bekerja lebih baik atau karena suasana hati Sutradara Shin memang sedang baik, semua adegan yang direncanakan untuk hari itu diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Kemudian segalanya bertambah menyenangkan ketika Sutradara Shin menghentikan proses syuting lebih awal daripada kemarin dan mengajak semua kru makan malam di restoran Korea yang berjarak satu blok dari studio.
Restoran itu terletak di lantai dua, tepat di atas toko suvenir, di ujung jalan yang tidak terlalu ramai. Restoran kecil yang tadinya sepi itu berubah ramai karena kedatangan mereka dan mereka menempati hampir semua tempat kosong yang tersedia.
“Aku belum pernah mencoba makanan Korea.”
Danny menoleh ke arah suara itu dan melihat Naomi sedang berbicara kepada
Yoon.
“Sama sekali belum pernah?” tanya Yoon, lalu menerjemahkan kata-kata Naomi ke dalam bahasa Korea sehingga penata rias lain yang duduk semeja dengan mereka mengerti.
Naomi tersenyum dan mendengarkan sementara para penata rias itu mulai berlomba-lomba menjelaskan makanan kecil yang mulai disajikan di meja kepadanya dalam bahasa Inggris yang sepatah-sepatah dan kadang-kadang tanpa sadar dicampur bahasa Korea.
Selama dua hari ini jadwal syuting sangat padat dan gadis itu bahkan belum sempat banyak bicara dengan para kru. Ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi mereka untuk lebih mengenal. Dan kelihatannya gadis itu tidak mendapat kesulitan. Sekarang saja beberapa orang kru di meja lain mulai mendekatinya dan mengajaknya mengobrol dengan bantuan Yoon sebagai penerjemah. Tidak lama kemudian mereka mulai tertawa-tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak bisa ditangkap danny dari tempat duduknya.
Sutradara Shin mengatakan sesuatu kepadanya dan Danny pun mengalihkan tatapan dari gadis itu.
* * *
Naomi merasa senang malam itu. Lelah setengah mati, tentu saja, tapi juga senang.
Awalnya ia ingin menolak ketika diajak ikut makan malam karena dua alasan. Pertama, ia merasa ia mungkinakan disisihkan karena ia adalah satu-satunya orang yang tidak bisa berbahasa Korea di sana. Tetapi ternyata ia salah. Para kru memang tidak banyak bicara dan bersikap profesional ketika sedang bekerja, tetapi sekarang sikap mereka sangat berbeda. Mereka selalu mengajak Naomi bicara dan bercanda walaupun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan harus mencampur-campurkan bahasa Inggris mereka yang sepatah-sepatah dengan bahasa Korea dan isyarat tangan.
Kedua, ia sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Ketika syuting hari itu berakhir, ia baru benar-benar menyadari betapa lelah dirinya. Sebenarnya ajaib sekali ia masih bisa berdiri saat ini kalau mengingat jadwal kerjanya yang padat selama dua bulan terakhir, walaupun tentu saja sekarang ia merasa kakinya hampir tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
Tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Sutradara Shin untuk makan malam bersama. Ia tidak tahu apakah ia akan dianggap tidak sopan kalau menolak. Ditambah lagi Yoon juga mendesaknya ikut. Karena tidak punya tenaga untuk berdebat. Naomi pun mengiyakan.
Dengan adanya Yoon yang bertindak sebagai penerjemah, Naomi harus
mengakui bahwa ia tidak menyesal telah ikut makan malam bersama. Makanannya enak dan orang-orangnya menyenangkan. Dan Naomi menyadari ia banyak tertawa selama makan malam karena lelucon yang dilontarkan para kru. Sudah lama sekali ia tidak tertawa-tertawa seperti itu.
Walaupun ia bersenang-senang, rasa kantuk tetap menyerangnya. Tentu saja itu tidak aneh mengingat sudah beberapa minggu terakhir ini ia kurang tidur. Ia tidak tahu sudah berapa kali ia menguap diam-diam selama makan malam.
Dan sekarang ia menguap lagi.
“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Danny?”
Naomi buru-buru mengatupkan mulut dan menoleh menatap Yoon. “Hm?” “Bagaimana pendapatmu tentang Danny? Dia baik, bukan?” tanya Yoon sekali
lagi.
Naomi menoleh ke arah meja yang tadi ditempati Danny, tetapi tidak melihat laki-laki itu di sana. Naomi menggigit bibir. Sebenarnyaia sama sekali tidak memikirkan Danny Jo selama dua jam terakhir ini, dan menurutnya itu sesuatu yang bagus. Lalu kenapa Yoon tiba-tiba harus membicarakan laki-laki itu? Kalau obleh memilih, Naomi benar-benar tidak ingin berbicara tentang Danny Jo. Bahkan tidak ingin berpikir tentang laki-laki itu. Tetapi salah satu hal yang diketahui pasti oleh Naomi tentang Yoon adalah bahwa kalau wanita itu ingin membicarakan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Sadar bahwa Yoon masih menatapnya dan jelas-jelas berharap ia mengatakan sesuatu, Naomi memaksakan senyum kecil dan bergumam, “Sepertinya kau mengenalnya dengan baik.”
Senyum Yoon melebar bangga. “Tentu saja. Aku bahkan mengenal kakak perempuannya yang dulu juga adalah model terkenal. Sedangkan kakak laki- lakinya... yah, aku hanya sempat bertemu dengannya satu kali—sebelum dia meninggal dunia, tentu saja.”
Naomi menyesap minumannya dengan pelan.
Yoon mencondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan bergumam pelan,
“Kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun lalu. Mengemudi sambil mabuk.” “Oh ya?”
“Oh, ya.” Yoon mengangguk muram. “Tulang pinggulnya patah dan dia sempat koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal. Kasihan sekali, bukan?”
Naomi menghela napas pelan. Kasihan?
Sebenarnya tidak. Ia tidak kasihan pada orang-orang seperti itu. Hidup ini penuh dengan pilihan. Dan kalau orang itu memilih bersikap tidak bertanggung jawab dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, makaia sendiri yang harus menerima akibatnya.
Tetapi Naomi tidak berkata apa-apa pada Yoon, hanya kembali menyesap minumannya dengan muram. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi. Ia butuh udara segar. Tidak, tidak... Ia harus pulang. Ia tidak ingin jatuh pingsan karena kelelahan di tengah jalan.
Setelah pamit dengan Sutradara Shin, Yoon dan para staf lain—yang terbukti agak sulit karena mereka semua mendesaknya tetap tinggal—Naomi pun mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan ke arah tangga. Oh, ia sangat lelah. Saking lelahnya, ia merasa ia bisa tidur sambil berdiri. Naomi menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk sedikit menyadarkan diri. Udara dingin pasti bisa menyegarkannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menuruni tangga kayu sempit di restoran itu. Menuruni tangga sempit dalam sepatu bot bertumit tinggi dan dalam keadaan setengah sadar sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Naomi harus mengerahkan segenap konsentrasin yang tersisa. Ia tidak mau sampai...
“Mau pergi ke mana?”
Suara itu membuat Naomi tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan. Sebelum ia bahkan menyadari apa yang sedang terjadi, kaki kanannya tergelincir dari pijakan dan tubuhnya terhuyung ke depan. Naomi memejamkan mata, bersiap- siap menerima yang terburuk. Ia merasa dirinya menubruk sesuatu, tetapi ia tidak jatuh berguling-guling di tangga, tidak terjerembap di lantai keras, tidak merasa kesakitan.
Naomi membuka mata dan mendongak. Matnaya melebar kaget ketika ia menyadari bahwa ia telah mendarat dalam pelukan Danny Jo.
Oh dear...
* * *
Mata hitam yang mirip mata boneka itu terbelalak lebar menatapnya. Sejenak Danny melupakan kaki kirinya yang berdenyut-denyut kesakitan. Oh ya, ia bisa melihat berbagai macam ekspresi yang melintas di mata itu. Kaget, bingung, dan... takut?
Danny berdeham dan bergumam, “Kau tidak apa-apa?” Ia tidak melepaskan Naomi. Gadis itu pasti akan langsung tersungkur kalau Danny melepaskannya, mengingat posisinya saat itu yang seluruhnya bersandar pada Danny.
Naomi Ishida tidak menjawab. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya begitu kaku dalam pelukan Danny sampai Danny hampir mengira gadis itu sudah berubah menjadi boneka kayu.
“Kalau kau baik-baik saja,” Danny melanjutkan dengan nada ringan, “mungkin kau bisa mengangkat kaki kananmu sedikit.”
Mata Naomi mengerjap satu kali, lalu ia menunduk menatap kaki kanannya. Danny mengikuti arah pandangannya dan mereka berdua menatap hak tinggi sepatu bot Naomi yang menancap di kaki kiri Danny. Naomi terkesiap dan buru- buru melepaskan diri dari Danny. Tetapi karena terlalu terburu-buru, ia malah terhuyung ke belakang.
Danny dengan cepat mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Ia mengembuskan napas panjang dan berkata, “Pelan-pelan saja,” kata Danny. Seperti yang sudah diduganya, Naomi secepat kilat menarik lengannya dari pegangan Danny.
Sejenak Naomi hanya menatapnya tanpa berkedip. “Aku... Maaf,” gumamnya
pada akhirnya. Jeda sejenak, lalu, “Kakimu...”
Danny tersenyum dan menggerak-gerakkan kaki kirinya. “Aku tidak akan pincang,” katanya ringan.
Naomi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Danny mengamati Naomi Ishida yang berdiri di hadapannya. Apakah hanya perasaannya atau apakah gadis itu memang terlihat resah?
“Jadi kau mau ke mana?” tanya Danny lagi.
Naomi berdeham pelan. “Aku pulang dulu.” Ia tersenyum singkat. Benar-benar singkat, sampai Danny tidak yakin apakah Naomi benar-benar tersenyum tadi. “Sampai jumpa besok.”
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu dengan cepat menuruni tangga melewati Danny dengan kepala tertunduk. Kening Danny berkerut samar, lalu sedetik kemudian ia berputar dan berkata, “Biar kutemani sampai ke stasiun.”
Naomi Ishida berhenti di dasar tangga, berbalik pelan dan mendongak menatap
Danny. “Apa?”
“Akan kutemani kau sampai ke stasiun,” Danny mengulangi kata-katanya sambil menuruni tangga.
“Aku tidak butuh ditemani.”
Danny mendesah dalam hati. Astaga, gadis ini benar-benar menyulitkan. Ia berdiri di hadapan Naomi dan tersenyum ringan. “Baiklah. Aku yang butuh teman,” katanya. “Aku sedang bosan. Aku butuh teman bicara. Dan kurasa jalan-jalan sebentar tidak ada salahnya. Bukankah begitu?”
Setelah berkata begitu, Danny berjalan melewati Naomi yang masih menatapnya dengan alis berkerut bingung.
Setelah berjalan beberapa langkah, Danny berbalik dan melihat gadis itu masih berdiri di tempat. “Aku tidak bermaksud merayumu, kau tahu? Maksudku, kalau itu yang kautakutkan,” katanya sambil tersenyum. “Sudah kubilang kau sama sekali bukan tipeku. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berteman, bukan?”
Alis gadis itu masih berkerut dan ia masih menatap Danny dengan ragu.
Danny memiringkan kepala sedikit. “Apakah kau takut padaku?”
Naomi tidak menjawab, dan hal itu membuat Danny heran. Ia hanya bercanda dan mengira Naomi akan membantah dengan tegas. Tetapi gadis itu hanya berdiri diam di sana. Apakah gadis itu benar-benar takut padanya? Kenapa? Sebelum Danny sempat berpikir lebih jauh, ia melihat Naomi memejamkan mata, lalu menghela napas seolah-olah menyerah, dan mulai berjalan menyusul Danny.
Senyum Danny mengembang. Itu sama sekali bukan kemenangan besar, tetapi tetap adalah kemajuan. “Jadi, Naomi,” kata Danny memulai percakapan sementara mereka berjalan menyusuri trotoar, “kau sudah merasa lebih baik?”
Naomi meliriknya sekilas. “Apa maksudmu?”
Danny mengangkat bahu. “Tadi siang kau hampir pingsan di depanku karena kelaparan. Sekarang kau hampir pingsan di tangga karena... yah, aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti bukan karena lapar. Kulihat porsi makanmu cukup sehat tadi.”
Langkah kaki Naomi terhenti. Ia berputar menghadap Danny dan membuka mulut hendak membalas, lalu menutupnya lagi. Setelah berpikir sejenak, ia membuka mulut dan berkata, “Pertama, tadi siang aku tidak pingsan. Walaupun aku... walaupun aku memang tidak sempat makan. Tapi itu tidak ada hubungannya! Kepalaku hanya agak pusing dan...”
Danny mengangkat alis, terkejut mendengar aliran kata-kata yang cepat dari mulut Naomi Ishida. Tetapi sepertinya salah mengartikan ekspresi Danny karena gadis itu melotot ke arahnya.
“Dan itu jarang sekali terjadi,” lanjut Naomi galak. “Kedua, tadi aku hanya
tergelincir di tangga—sekali lagi, bukan pingsan!—karena kau tiba-tiba muncul entah
dari mana dan membuatku kaget setengah mati. Ketiga, apa maksudmu dengan porsi makanku besar? Apa salahnya kalau aku makan banyak? Aku kan tidak sempat makan siang tadi. Seorang model memang seharusnya kurus, tapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan. Katakan padaku, apakah aku salah?”
Naomi menarik napas panjang di akhir penjelasannya dan Danny tersenyum melihatnya. Lalu ia berkata, “Giliranku?” Karena gadis itu hanya diam dan menatapnya dengan mata disipitkan, Danny melanjutkan, “Oke, pertama, tadi siang kau memang hampir pingsan—tunggu, jangan menyela dulu—dan kalau aku tidak menahanmu, kau pasti sudah jatuh ke lantai seperti pohon tumbang. Kedua, aku tidak tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku tadi sedang melihat-lihat tok osuvenir yang ada di bawah restoran. Ketiga, tadi kubilang porsi makanmu sehat, bukan banyak. Sehat. Dan tidak, tidak ada salahnya kalau kau makan banyak.”
Naomi menatapnya sejenak dengan alis berkerut kesal. “Well, terima kasih,”
katanya datar, berbalik meneruskan langkah.
“Sekarang,” kata Danny ringan sambil mengikuti langkah gadis itu, “Ceritakan tentang dirimu.”
Naomi meliriknya sekilas—lagi-lagi tatapan curiga itu—dan bertanya singkat,
“Kenapa?” Ah, lagi-lagi nada curiga itu.
“Karena itu yang dilakukan teman, bukan?” Danny balas bertanya dengan nada polos. “Saling mengenal, maksudku.”
Naomi tidak menjawab. Danny juga menyadari gadis itu tidak membantah kata
“teman”. Jadi sepertinya itu sesuatu yang bagus.
“Sudah berapa lama kau tinggal di London?” tanya Danny ketika sepertinya
Naomi tidak berniat mengatakan apa-apa.
Naomi tidak langsung menjawab. Lalu, “Hampir tiga tahun.” Danny tersenyum kecil. “Kau suka tinggal di sini?”
Naomi hanya mengangkat bahu sedikit.
“Ini ketiga kalinya aku datang ke London,” kata Danny. “Aku suka kota ini, walaupun pada dua kunjungan awalku aku tidak punya waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat karena jadwal kerjaku terlalu padat. Tapi karena sekarang aku akan tinggal agak lama di sini, kurasa aku bisa mencari waktu luang untuk berkeliling kota.”
Naomi tetap menunduk menatap jalan, tidak berkomentar.
“Bagaimana kalau kau menemaniku?”
Kali ini kepala Naomi berputar ke arahnya. Mata bulat dan resah itu menatap
mata Danny sedetik, lalu mengerjap. “Apa?”
Danny mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau bisa menemaniu berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku tidak punya teman lain di sini, kecuali sutradara kita, tentu saja, tapi menurutku dia mungkin lebih suka menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya daripada bersamaku.”
“Oh, kurasa tidak,” gumam Naomi cepat—mungkin terlalu cepat—sambil menurunit angga ke stasiun kereta bawah tanah.
Danny bergegas menyusulnya. “Kenapa tidak?” “Karena aku tidak punya waktu.”
Kedengarannya tidak meyakinkan. Danny semakin penasaran. Sepertinya
Naomi Ishida tidak menyukainya. Tapi kenapa? Danny tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang menjengkelkan. Ia ramah pada siapa saja. Dan ia jelas selalu bersikap ramah pada Naomi. Lalu kenapa ia merasa seolah-olah Naomi tidak menyukainya? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan gadis itu? Sepertinya tidak.
“Keretaku akan datang sebentar lagi,” kata Naomi sambil mendongak menatap papan penanda kedatangan kereta, “jadi kalau kau mau pergi sekarang...”
“Kenapa kau membenciku?”
* * *
Naomi menahan napas sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskan napas dan menoleh ke arah Danny Jo. Ia bisa melihat kebingungan di wajah laki-laki itu.
“Kenapa kau membenciku?” tanya Danny sekali lagi.
Naomi menarik napas lagi, lalu berkata pelan, “Aku tidak membencimu.”
Itu memang benar. Ia tidak membenci Danny Jo. Naomi memang baru bertemu dengan Danny Jo dua hari yang lalu dan mungkin Naomi belum benar-benar mengenal laki-laki itu, tapi ia tahu Danny Jo bukan orang yang gampang dibenci. Malah—kalau Naomi mau jujur pada diri sendiri—ia merasa mudah sekali bagi seseorang untuk menyukai Danny Jo.
“Kalau begitu kau hanya tidak menyukaiku?” tanya Danny lagi.
Naomi menggigit bibir, berpikir. “Kurasa aku belum cukup lama mengenalmu
untuk bisa memberikan penilaian apa pun,” katanya pada akhirnya.
Alis Danny terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak membenciku, tapi juga tidak suka padaku.” Ia menghela napas sejenak, lalu bertanya, “Apakah kau takut padaku?”
Itu kedua kalinya Danny Jo bertanya seperti itu. Ya, Naomi tidak menjawabnya
ketika Danny pertama kali bertany apadanya. Saat itu ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Sekarang juga tidak.
“Naomi?”
Naomi mengangkat wajah dan menatap Danny Jo, lalu balas bertanya, “Apakah aku punya alasan untuk takut padamu?”
Danny terdiam sejenak. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi. Senyum kecil itu
masih tersungging di bibirnya. Naomi merasa seolah-olah laki-laki itu tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dan hal itu membuatnya gugup.
“Tidak, kau sama sekali tidak punya alasan untuk takut padaku,” gumam
Danny Jo.
Satu kalimat itu langsung membuat dada Naomi terasa lebih ringan. Entah kenapa. Mungkin tanpa sadar Naomi memang mengharapkan penegasan ini. Kemudian sebelum salah satu dari mereka mengatakan sesuatu, bunyi melengking panjang tanda kereta akan segera tiba terdengar, disusul bunyi gemuruh kereta di terowongan.
“Keretamu,” kata Danny pendek.
Sementara kereta berhenti di depan mereka dan sementara menunggu para penumpang turun dari kereta, Naomi berpikir sejenak sambil menggigit bibir. Akhirnya ia menoleh ke arah Danny dan berkata, “Terima kasih.”
Danny balas menatapnya dengan alis terangkat. “Hm?”
“Terima kasih. Untuk semuanya, kurasa.” Naomi mengangkat bahu dengan canggung. “Karena membelikan sandwich untukku siang tadi. Karena menolongku di tangga tadi. Karena mengantarku ke sini.”
“Hei, itu gunanya teman, bukan?” balas Danny ringan.
Naomi tersenyum ragu, lalu melangkah ke dalam kereta.
Dari balik jendela kaca kereta, ia melihat Danny Jo melambaikan sebelah tangan ke arahnya. Dan laki-laki itu tidak beranjak sampai kereta itu sudah melaju meninggalkan stasiun.
Naomi duduk bersandar dan menghela napas dalam-dalam. Kata-kata Danny Jo tadi terngiang-ngiang di telinganya.
Hei, itu gunanya teman, bukan?
Apakah ia bisa berteman dengan laki-laki itu? Naoi mengusap pelipisnya, lalu bertopang dagu, menatap ke luar jendela kereta, menatap dinding terowongan yang gelap gulita.
Laki-laki selalu membuat Naomi merasa resah dan gugup. Ia tidak pernah merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak pernah. Yah, sebenarnya bukan “tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada laki-laki. Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian itu, ia tidak pernah bisa memandang laki-laki dengan cara yang sama lagi. Hanya Chris satu-satunya laki-laki yang dianggapnya teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya merasa resah.
Dan sekarang ada Danny Jo. Selama dua hari terakhir ini Naomi sudah berusaha menjaga jarak darinya, sama sekali tidak ingin berurusan dengannya. Namun malam ini Danny Jo menunjukkan bahwa ia berbeda dengan perkiraan awal Naomi. Laki-laki itu sepertinya... baik.
Mungkin Danny Jo memang berbeda.
Tetapi apakan kau benar-benar bisa berteman dengan orang yang bisa membangkitkan mimpi-mimpi terburukmu?
“Nuna,” panggil Danny sambil berjalan menghampiri Yoon yang sedang
merapikan kostum di rak gantung. “Nuna tahu di mana dia?” “Dia siapa?” Yoon balas bertanya tanpa menoleh.
“Siapa lagi? Gadis aneh itu. Naomi Ishida. Di mana dia?”
Sebelum Yoon sempat menjawab, terdengar suara dari balik punggung Danny
yang berkata pelan, “Aku di sini.”
Danny berputar cepat dan langsung berhadapan dengan sepasang mata hitam besar yang balas menatapnya dengan resah. Danny bertanya-tanya apakah Naomi Ishida mendengar kata-kata “gadis aneh itu” tadi, namun langsung menyadari bahwa gadis itu tidak mengerti bahasa Korea. Ia hanya mendengar Danny menyebut namanya dan menyadari bahwa dirinya sedang dicari-cari.
“Baguslah karena kau sudah di sini,” kata Danny cepat-cepat. “Kau harus
bersiap-siap sekarang.”
Naomi menggigit bibir dan mengangguk singkat. “Oh, oke. Aku akan...” Kata- katanya terhenti ketika ia tiba-tiba merasa dunia bergoyang. Seperti gempa bumi ringan yang sering dialaminya di Tokyo. Tetapi ini London. Tidak mungkin gempa bumi, bukan?
Ketika ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali, Naomi menyadari
Danny Jo sedang memegangi sikunya dan laki-laki itu menatapnya dengan alis
berkerut samar. “Ada apa denganmu?” tanyanya.
Naomi menggeleng bingung. “Aku tidak apa-apa,” sahutnya sambil menarik lengannya dari pegangan Danny dan mundur selangkah. “Aku akan bersiap-siap sekarang.”
“Kau sudah makan?” tanya Danny Jo lagi.
Naomi tidak langsung menjawab. Setelah ragu sejenak, ia berkata, “Sudah.”
Danny tidak berkata apa-apa. Hanya terlihat berpikir-pikir, lalu ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memanggilmu kalau semuanya sudah siap.”
Naomi memandangi punggung Danny yang menjauh sambil merenung, lalu ia
berputar menghadap Yoon dan tersenyum. “Kostum mana yang harus kupakai?”
Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dan berjalan kembali ke meja riasnya, Naomi melihat melihat dua bungkus sandwich dan sekotak susu tergeletak di meja rias. Ia mengamati kedua sandwich yang terlihat lezat itu. Sandwich kalkun dan sandwich mentimun. Secarik kertas kuning terselip di bawahnya.
Aku tidak tahu kau vegetarian atau bukan dan aku tidak tahu kau suka kalkun atau tidak, tapi tolong makan saja daripada kau jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?
D.
Naomi memandang berkeliling sampai ia melihat Danny Jo di seberang ruangan. Laki-laki itu sedang menunduk menatap sesuatu yang ditunjukkan salah seorang kru dan mendengarkan dengan saksama. Lalu tiba-tiba ia mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan Naomi. Sebelum Naomi sempat berpikir apa yang harus dilakukannya, Danny tersenyum sekilas kepadanya dan kembali memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan kru di sampingnya.
Menatap dua potong sandwich di tangan, Naomi hanya ragu sejenak, lalu membuka bungkusan sandwich kalkun dan menggigitnya. Ia memejamkan mata sejenak. Pada kenyataannya sandwich itu memang bukan sandwich paling enak di dunia, tetapi saat itu, bagi perutnya yang keroncongan, sandwich itu adalah salah satu makanan paling enak yang pernah dicicipi Naomi.
* * *
Danny mendapati dirinya tersenyum melihat gadis aneh itu menggigit sandwich dengan tekun, seolah-olah sandwich itu akan menguap kalau tidak segera dimasukkan ke mulut. Pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah Naomi Ishida bukan vegetarian. Lalu pikiran kedua adalah dugaannya memang benar. Gadis itu nyaris pingsan karena kelaparan tadi. Danny jadi ingin tahu apa yang
dilakukannya selama waktu makan siang tadi, kalau gadis itu memang tidak pergi makan.
Ia membiarkan dirinya menatap ke arah Naomi Ishida sejenak, lalu berdoa dalam hati supaya gadis itu tidak jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Jadwal syuting sudah cukup gila tanpa perlu ditambah dengan pingsannya model utama.
Tetapi pada kenyataannya ia tidak perlu khawatir sama sekali. Proses syuting sepanjang sisa hari itu berjalan sangat lancar. Entah karena perut Naomi Ishida yang sudah terisi penuh sehingga ia bisa bekerja lebih baik atau karena suasana hati Sutradara Shin memang sedang baik, semua adegan yang direncanakan untuk hari itu diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Kemudian segalanya bertambah menyenangkan ketika Sutradara Shin menghentikan proses syuting lebih awal daripada kemarin dan mengajak semua kru makan malam di restoran Korea yang berjarak satu blok dari studio.
Restoran itu terletak di lantai dua, tepat di atas toko suvenir, di ujung jalan yang tidak terlalu ramai. Restoran kecil yang tadinya sepi itu berubah ramai karena kedatangan mereka dan mereka menempati hampir semua tempat kosong yang tersedia.
“Aku belum pernah mencoba makanan Korea.”
Danny menoleh ke arah suara itu dan melihat Naomi sedang berbicara kepada
Yoon.
“Sama sekali belum pernah?” tanya Yoon, lalu menerjemahkan kata-kata Naomi ke dalam bahasa Korea sehingga penata rias lain yang duduk semeja dengan mereka mengerti.
Naomi tersenyum dan mendengarkan sementara para penata rias itu mulai berlomba-lomba menjelaskan makanan kecil yang mulai disajikan di meja kepadanya dalam bahasa Inggris yang sepatah-sepatah dan kadang-kadang tanpa sadar dicampur bahasa Korea.
Selama dua hari ini jadwal syuting sangat padat dan gadis itu bahkan belum sempat banyak bicara dengan para kru. Ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi mereka untuk lebih mengenal. Dan kelihatannya gadis itu tidak mendapat kesulitan. Sekarang saja beberapa orang kru di meja lain mulai mendekatinya dan mengajaknya mengobrol dengan bantuan Yoon sebagai penerjemah. Tidak lama kemudian mereka mulai tertawa-tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak bisa ditangkap danny dari tempat duduknya.
Sutradara Shin mengatakan sesuatu kepadanya dan Danny pun mengalihkan tatapan dari gadis itu.
* * *
Naomi merasa senang malam itu. Lelah setengah mati, tentu saja, tapi juga senang.
Awalnya ia ingin menolak ketika diajak ikut makan malam karena dua alasan. Pertama, ia merasa ia mungkinakan disisihkan karena ia adalah satu-satunya orang yang tidak bisa berbahasa Korea di sana. Tetapi ternyata ia salah. Para kru memang tidak banyak bicara dan bersikap profesional ketika sedang bekerja, tetapi sekarang sikap mereka sangat berbeda. Mereka selalu mengajak Naomi bicara dan bercanda walaupun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan harus mencampur-campurkan bahasa Inggris mereka yang sepatah-sepatah dengan bahasa Korea dan isyarat tangan.
Kedua, ia sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Ketika syuting hari itu berakhir, ia baru benar-benar menyadari betapa lelah dirinya. Sebenarnya ajaib sekali ia masih bisa berdiri saat ini kalau mengingat jadwal kerjanya yang padat selama dua bulan terakhir, walaupun tentu saja sekarang ia merasa kakinya hampir tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
Tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Sutradara Shin untuk makan malam bersama. Ia tidak tahu apakah ia akan dianggap tidak sopan kalau menolak. Ditambah lagi Yoon juga mendesaknya ikut. Karena tidak punya tenaga untuk berdebat. Naomi pun mengiyakan.
Dengan adanya Yoon yang bertindak sebagai penerjemah, Naomi harus
mengakui bahwa ia tidak menyesal telah ikut makan malam bersama. Makanannya enak dan orang-orangnya menyenangkan. Dan Naomi menyadari ia banyak tertawa selama makan malam karena lelucon yang dilontarkan para kru. Sudah lama sekali ia tidak tertawa-tertawa seperti itu.
Walaupun ia bersenang-senang, rasa kantuk tetap menyerangnya. Tentu saja itu tidak aneh mengingat sudah beberapa minggu terakhir ini ia kurang tidur. Ia tidak tahu sudah berapa kali ia menguap diam-diam selama makan malam.
Dan sekarang ia menguap lagi.
“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Danny?”
Naomi buru-buru mengatupkan mulut dan menoleh menatap Yoon. “Hm?” “Bagaimana pendapatmu tentang Danny? Dia baik, bukan?” tanya Yoon sekali
lagi.
Naomi menoleh ke arah meja yang tadi ditempati Danny, tetapi tidak melihat laki-laki itu di sana. Naomi menggigit bibir. Sebenarnyaia sama sekali tidak memikirkan Danny Jo selama dua jam terakhir ini, dan menurutnya itu sesuatu yang bagus. Lalu kenapa Yoon tiba-tiba harus membicarakan laki-laki itu? Kalau obleh memilih, Naomi benar-benar tidak ingin berbicara tentang Danny Jo. Bahkan tidak ingin berpikir tentang laki-laki itu. Tetapi salah satu hal yang diketahui pasti oleh Naomi tentang Yoon adalah bahwa kalau wanita itu ingin membicarakan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Sadar bahwa Yoon masih menatapnya dan jelas-jelas berharap ia mengatakan sesuatu, Naomi memaksakan senyum kecil dan bergumam, “Sepertinya kau mengenalnya dengan baik.”
Senyum Yoon melebar bangga. “Tentu saja. Aku bahkan mengenal kakak perempuannya yang dulu juga adalah model terkenal. Sedangkan kakak laki- lakinya... yah, aku hanya sempat bertemu dengannya satu kali—sebelum dia meninggal dunia, tentu saja.”
Naomi menyesap minumannya dengan pelan.
Yoon mencondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan bergumam pelan,
“Kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun lalu. Mengemudi sambil mabuk.” “Oh ya?”
“Oh, ya.” Yoon mengangguk muram. “Tulang pinggulnya patah dan dia sempat koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal. Kasihan sekali, bukan?”
Naomi menghela napas pelan. Kasihan?
Sebenarnya tidak. Ia tidak kasihan pada orang-orang seperti itu. Hidup ini penuh dengan pilihan. Dan kalau orang itu memilih bersikap tidak bertanggung jawab dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, makaia sendiri yang harus menerima akibatnya.
Tetapi Naomi tidak berkata apa-apa pada Yoon, hanya kembali menyesap minumannya dengan muram. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi. Ia butuh udara segar. Tidak, tidak... Ia harus pulang. Ia tidak ingin jatuh pingsan karena kelelahan di tengah jalan.
Setelah pamit dengan Sutradara Shin, Yoon dan para staf lain—yang terbukti agak sulit karena mereka semua mendesaknya tetap tinggal—Naomi pun mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan ke arah tangga. Oh, ia sangat lelah. Saking lelahnya, ia merasa ia bisa tidur sambil berdiri. Naomi menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk sedikit menyadarkan diri. Udara dingin pasti bisa menyegarkannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menuruni tangga kayu sempit di restoran itu. Menuruni tangga sempit dalam sepatu bot bertumit tinggi dan dalam keadaan setengah sadar sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Naomi harus mengerahkan segenap konsentrasin yang tersisa. Ia tidak mau sampai...
“Mau pergi ke mana?”
Suara itu membuat Naomi tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan. Sebelum ia bahkan menyadari apa yang sedang terjadi, kaki kanannya tergelincir dari pijakan dan tubuhnya terhuyung ke depan. Naomi memejamkan mata, bersiap- siap menerima yang terburuk. Ia merasa dirinya menubruk sesuatu, tetapi ia tidak jatuh berguling-guling di tangga, tidak terjerembap di lantai keras, tidak merasa kesakitan.
Naomi membuka mata dan mendongak. Matnaya melebar kaget ketika ia menyadari bahwa ia telah mendarat dalam pelukan Danny Jo.
Oh dear...
* * *
Mata hitam yang mirip mata boneka itu terbelalak lebar menatapnya. Sejenak Danny melupakan kaki kirinya yang berdenyut-denyut kesakitan. Oh ya, ia bisa melihat berbagai macam ekspresi yang melintas di mata itu. Kaget, bingung, dan... takut?
Danny berdeham dan bergumam, “Kau tidak apa-apa?” Ia tidak melepaskan Naomi. Gadis itu pasti akan langsung tersungkur kalau Danny melepaskannya, mengingat posisinya saat itu yang seluruhnya bersandar pada Danny.
Naomi Ishida tidak menjawab. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya begitu kaku dalam pelukan Danny sampai Danny hampir mengira gadis itu sudah berubah menjadi boneka kayu.
“Kalau kau baik-baik saja,” Danny melanjutkan dengan nada ringan, “mungkin kau bisa mengangkat kaki kananmu sedikit.”
Mata Naomi mengerjap satu kali, lalu ia menunduk menatap kaki kanannya. Danny mengikuti arah pandangannya dan mereka berdua menatap hak tinggi sepatu bot Naomi yang menancap di kaki kiri Danny. Naomi terkesiap dan buru- buru melepaskan diri dari Danny. Tetapi karena terlalu terburu-buru, ia malah terhuyung ke belakang.
Danny dengan cepat mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Ia mengembuskan napas panjang dan berkata, “Pelan-pelan saja,” kata Danny. Seperti yang sudah diduganya, Naomi secepat kilat menarik lengannya dari pegangan Danny.
Sejenak Naomi hanya menatapnya tanpa berkedip. “Aku... Maaf,” gumamnya
pada akhirnya. Jeda sejenak, lalu, “Kakimu...”
Danny tersenyum dan menggerak-gerakkan kaki kirinya. “Aku tidak akan pincang,” katanya ringan.
Naomi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Danny mengamati Naomi Ishida yang berdiri di hadapannya. Apakah hanya perasaannya atau apakah gadis itu memang terlihat resah?
“Jadi kau mau ke mana?” tanya Danny lagi.
Naomi berdeham pelan. “Aku pulang dulu.” Ia tersenyum singkat. Benar-benar singkat, sampai Danny tidak yakin apakah Naomi benar-benar tersenyum tadi. “Sampai jumpa besok.”
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu dengan cepat menuruni tangga melewati Danny dengan kepala tertunduk. Kening Danny berkerut samar, lalu sedetik kemudian ia berputar dan berkata, “Biar kutemani sampai ke stasiun.”
Naomi Ishida berhenti di dasar tangga, berbalik pelan dan mendongak menatap
Danny. “Apa?”
“Akan kutemani kau sampai ke stasiun,” Danny mengulangi kata-katanya sambil menuruni tangga.
“Aku tidak butuh ditemani.”
Danny mendesah dalam hati. Astaga, gadis ini benar-benar menyulitkan. Ia berdiri di hadapan Naomi dan tersenyum ringan. “Baiklah. Aku yang butuh teman,” katanya. “Aku sedang bosan. Aku butuh teman bicara. Dan kurasa jalan-jalan sebentar tidak ada salahnya. Bukankah begitu?”
Setelah berkata begitu, Danny berjalan melewati Naomi yang masih menatapnya dengan alis berkerut bingung.
Setelah berjalan beberapa langkah, Danny berbalik dan melihat gadis itu masih berdiri di tempat. “Aku tidak bermaksud merayumu, kau tahu? Maksudku, kalau itu yang kautakutkan,” katanya sambil tersenyum. “Sudah kubilang kau sama sekali bukan tipeku. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berteman, bukan?”
Alis gadis itu masih berkerut dan ia masih menatap Danny dengan ragu.
Danny memiringkan kepala sedikit. “Apakah kau takut padaku?”
Naomi tidak menjawab, dan hal itu membuat Danny heran. Ia hanya bercanda dan mengira Naomi akan membantah dengan tegas. Tetapi gadis itu hanya berdiri diam di sana. Apakah gadis itu benar-benar takut padanya? Kenapa? Sebelum Danny sempat berpikir lebih jauh, ia melihat Naomi memejamkan mata, lalu menghela napas seolah-olah menyerah, dan mulai berjalan menyusul Danny.
Senyum Danny mengembang. Itu sama sekali bukan kemenangan besar, tetapi tetap adalah kemajuan. “Jadi, Naomi,” kata Danny memulai percakapan sementara mereka berjalan menyusuri trotoar, “kau sudah merasa lebih baik?”
Naomi meliriknya sekilas. “Apa maksudmu?”
Danny mengangkat bahu. “Tadi siang kau hampir pingsan di depanku karena kelaparan. Sekarang kau hampir pingsan di tangga karena... yah, aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti bukan karena lapar. Kulihat porsi makanmu cukup sehat tadi.”
Langkah kaki Naomi terhenti. Ia berputar menghadap Danny dan membuka mulut hendak membalas, lalu menutupnya lagi. Setelah berpikir sejenak, ia membuka mulut dan berkata, “Pertama, tadi siang aku tidak pingsan. Walaupun aku... walaupun aku memang tidak sempat makan. Tapi itu tidak ada hubungannya! Kepalaku hanya agak pusing dan...”
Danny mengangkat alis, terkejut mendengar aliran kata-kata yang cepat dari mulut Naomi Ishida. Tetapi sepertinya salah mengartikan ekspresi Danny karena gadis itu melotot ke arahnya.
“Dan itu jarang sekali terjadi,” lanjut Naomi galak. “Kedua, tadi aku hanya
tergelincir di tangga—sekali lagi, bukan pingsan!—karena kau tiba-tiba muncul entah
dari mana dan membuatku kaget setengah mati. Ketiga, apa maksudmu dengan porsi makanku besar? Apa salahnya kalau aku makan banyak? Aku kan tidak sempat makan siang tadi. Seorang model memang seharusnya kurus, tapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan. Katakan padaku, apakah aku salah?”
Naomi menarik napas panjang di akhir penjelasannya dan Danny tersenyum melihatnya. Lalu ia berkata, “Giliranku?” Karena gadis itu hanya diam dan menatapnya dengan mata disipitkan, Danny melanjutkan, “Oke, pertama, tadi siang kau memang hampir pingsan—tunggu, jangan menyela dulu—dan kalau aku tidak menahanmu, kau pasti sudah jatuh ke lantai seperti pohon tumbang. Kedua, aku tidak tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku tadi sedang melihat-lihat tok osuvenir yang ada di bawah restoran. Ketiga, tadi kubilang porsi makanmu sehat, bukan banyak. Sehat. Dan tidak, tidak ada salahnya kalau kau makan banyak.”
Naomi menatapnya sejenak dengan alis berkerut kesal. “Well, terima kasih,”
katanya datar, berbalik meneruskan langkah.
“Sekarang,” kata Danny ringan sambil mengikuti langkah gadis itu, “Ceritakan tentang dirimu.”
Naomi meliriknya sekilas—lagi-lagi tatapan curiga itu—dan bertanya singkat,
“Kenapa?” Ah, lagi-lagi nada curiga itu.
“Karena itu yang dilakukan teman, bukan?” Danny balas bertanya dengan nada polos. “Saling mengenal, maksudku.”
Naomi tidak menjawab. Danny juga menyadari gadis itu tidak membantah kata
“teman”. Jadi sepertinya itu sesuatu yang bagus.
“Sudah berapa lama kau tinggal di London?” tanya Danny ketika sepertinya
Naomi tidak berniat mengatakan apa-apa.
Naomi tidak langsung menjawab. Lalu, “Hampir tiga tahun.” Danny tersenyum kecil. “Kau suka tinggal di sini?”
Naomi hanya mengangkat bahu sedikit.
“Ini ketiga kalinya aku datang ke London,” kata Danny. “Aku suka kota ini, walaupun pada dua kunjungan awalku aku tidak punya waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat karena jadwal kerjaku terlalu padat. Tapi karena sekarang aku akan tinggal agak lama di sini, kurasa aku bisa mencari waktu luang untuk berkeliling kota.”
Naomi tetap menunduk menatap jalan, tidak berkomentar.
“Bagaimana kalau kau menemaniku?”
Kali ini kepala Naomi berputar ke arahnya. Mata bulat dan resah itu menatap
mata Danny sedetik, lalu mengerjap. “Apa?”
Danny mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau bisa menemaniu berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku tidak punya teman lain di sini, kecuali sutradara kita, tentu saja, tapi menurutku dia mungkin lebih suka menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya daripada bersamaku.”
“Oh, kurasa tidak,” gumam Naomi cepat—mungkin terlalu cepat—sambil menurunit angga ke stasiun kereta bawah tanah.
Danny bergegas menyusulnya. “Kenapa tidak?” “Karena aku tidak punya waktu.”
Kedengarannya tidak meyakinkan. Danny semakin penasaran. Sepertinya
Naomi Ishida tidak menyukainya. Tapi kenapa? Danny tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang menjengkelkan. Ia ramah pada siapa saja. Dan ia jelas selalu bersikap ramah pada Naomi. Lalu kenapa ia merasa seolah-olah Naomi tidak menyukainya? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan gadis itu? Sepertinya tidak.
“Keretaku akan datang sebentar lagi,” kata Naomi sambil mendongak menatap papan penanda kedatangan kereta, “jadi kalau kau mau pergi sekarang...”
“Kenapa kau membenciku?”
* * *
Naomi menahan napas sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskan napas dan menoleh ke arah Danny Jo. Ia bisa melihat kebingungan di wajah laki-laki itu.
“Kenapa kau membenciku?” tanya Danny sekali lagi.
Naomi menarik napas lagi, lalu berkata pelan, “Aku tidak membencimu.”
Itu memang benar. Ia tidak membenci Danny Jo. Naomi memang baru bertemu dengan Danny Jo dua hari yang lalu dan mungkin Naomi belum benar-benar mengenal laki-laki itu, tapi ia tahu Danny Jo bukan orang yang gampang dibenci. Malah—kalau Naomi mau jujur pada diri sendiri—ia merasa mudah sekali bagi seseorang untuk menyukai Danny Jo.
“Kalau begitu kau hanya tidak menyukaiku?” tanya Danny lagi.
Naomi menggigit bibir, berpikir. “Kurasa aku belum cukup lama mengenalmu
untuk bisa memberikan penilaian apa pun,” katanya pada akhirnya.
Alis Danny terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak membenciku, tapi juga tidak suka padaku.” Ia menghela napas sejenak, lalu bertanya, “Apakah kau takut padaku?”
Itu kedua kalinya Danny Jo bertanya seperti itu. Ya, Naomi tidak menjawabnya
ketika Danny pertama kali bertany apadanya. Saat itu ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Sekarang juga tidak.
“Naomi?”
Naomi mengangkat wajah dan menatap Danny Jo, lalu balas bertanya, “Apakah aku punya alasan untuk takut padamu?”
Danny terdiam sejenak. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi. Senyum kecil itu
masih tersungging di bibirnya. Naomi merasa seolah-olah laki-laki itu tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dan hal itu membuatnya gugup.
“Tidak, kau sama sekali tidak punya alasan untuk takut padaku,” gumam
Danny Jo.
Satu kalimat itu langsung membuat dada Naomi terasa lebih ringan. Entah kenapa. Mungkin tanpa sadar Naomi memang mengharapkan penegasan ini. Kemudian sebelum salah satu dari mereka mengatakan sesuatu, bunyi melengking panjang tanda kereta akan segera tiba terdengar, disusul bunyi gemuruh kereta di terowongan.
“Keretamu,” kata Danny pendek.
Sementara kereta berhenti di depan mereka dan sementara menunggu para penumpang turun dari kereta, Naomi berpikir sejenak sambil menggigit bibir. Akhirnya ia menoleh ke arah Danny dan berkata, “Terima kasih.”
Danny balas menatapnya dengan alis terangkat. “Hm?”
“Terima kasih. Untuk semuanya, kurasa.” Naomi mengangkat bahu dengan canggung. “Karena membelikan sandwich untukku siang tadi. Karena menolongku di tangga tadi. Karena mengantarku ke sini.”
“Hei, itu gunanya teman, bukan?” balas Danny ringan.
Naomi tersenyum ragu, lalu melangkah ke dalam kereta.
Dari balik jendela kaca kereta, ia melihat Danny Jo melambaikan sebelah tangan ke arahnya. Dan laki-laki itu tidak beranjak sampai kereta itu sudah melaju meninggalkan stasiun.
Naomi duduk bersandar dan menghela napas dalam-dalam. Kata-kata Danny Jo tadi terngiang-ngiang di telinganya.
Hei, itu gunanya teman, bukan?
Apakah ia bisa berteman dengan laki-laki itu? Naoi mengusap pelipisnya, lalu bertopang dagu, menatap ke luar jendela kereta, menatap dinding terowongan yang gelap gulita.
Laki-laki selalu membuat Naomi merasa resah dan gugup. Ia tidak pernah merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak pernah. Yah, sebenarnya bukan “tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada laki-laki. Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian itu, ia tidak pernah bisa memandang laki-laki dengan cara yang sama lagi. Hanya Chris satu-satunya laki-laki yang dianggapnya teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya merasa resah.
Dan sekarang ada Danny Jo. Selama dua hari terakhir ini Naomi sudah berusaha menjaga jarak darinya, sama sekali tidak ingin berurusan dengannya. Namun malam ini Danny Jo menunjukkan bahwa ia berbeda dengan perkiraan awal Naomi. Laki-laki itu sepertinya... baik.
Mungkin Danny Jo memang berbeda.
Tetapi apakan kau benar-benar bisa berteman dengan orang yang bisa membangkitkan mimpi-mimpi terburukmu?
-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE
Tags
StorySeriesIlanaTan