CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
SEMUA SERIES
“DIA benar-benar seperti yang kaugambarkan, Julie.”
Naomi menyesap tehnya sambil tersenyum. Chris sudah mengulang-ulang kalimat itu setidaknya delapan kali sejak Danny meninggalkan flat mereka kemarin malam sampai pagi ini ketika mereka bertiga berkumpul di dapur kecil mereka.
“Dia benar-benar tipeku,” tambah Chris lagi sambil menggoreng telur. “Singkirkan mimpi itu sebelum kau patah hati,” Julie menyarankan acuh tak
acuh dan menguap lebar. Lalu ia menoleh ke arah Naomi. “Ngomong-ngomong, kau harus mengajaknya menonton pertunjukanku nanti. Ini pertunjukan pertama di mana aku mendapat peran utama, kalian tahu?”
Tepat pada saat itu terdengar bel pintu berbunyi.
“Siapa lagi yang datang pagi-pagi begini?” gerutuChris. “Kalian sedang menunggu seseorang?”
Julie bangkit dan berjalan ke pintu dengan langkah terseok-seok. Terdengar
pintu terbuka, lalu terdengar suara Julie yang berkata, “Oh, Miho. Masuklah!”
Naomi mengangkat wajah dan mengerjap. Miho? Dan ia teringat bahwa ia belum bercerita kepada Chris dan Julie tentang kejadian antara dirinya, Miho dan Danny kemarin.
“Selamat pagi, semuanya,” sapa Miho ketika ia muncul di dapur. “Hei, Miho,” sapa Chris sambil melambaikan sebelah tangan.
“Naomi, aku ke sini untuk meminta pendapatmu tentang ini,” kata Miho kepada Naomi sambil tersenyum cerah. Ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam mapnya dan mengacungkannya di depan wajah Naomi. Dua-duanya adalah foto salah seorang aktris Inggris yang sedang populer saat ini, namun dalam pose dan pakaian yang berbeda. “Salah satu dari kedua foto ini akan menjadi sampul depan majalah kita untuk edisi mendatang. Aku benar-benar tidak tahu yang mana yang harus kupilih, jadi aku datang meminta pendapatmu.”
Naomi menatap kedua foto di depannya dan mendesah dalam hati. Sebenarnya siap ayang menjadi pemimpin redaksi di sini? Ia tidak keberatan membantu teman, tetapi karena kejadian ini terus berulang, ia mulai bertanya-tanya apakah selama ini dirinya sudah diperalat tanpa disadari.
“Miho, kau juga harus datang menonton pertunjukanku nanti. Ini pertunjukan besar pertamaku,” kata Julie yang menyusulnya ke dapur, kembali duduk di tempatnya semula.
“Tentu saja,” sahut Miho, “kalau aku tidak punya acara penting. Kapan
pertunjukanmu itu?”
“Dua minggu lagi,” kata Julie, lalu kembali menoleh ke arah Noami. “Lalu kapan kau akan mengajak Danny ke pertunjukanku?”
Naomi melotot ke arah Julie, tetapi sudah terlambat. Mata Miho mengerjap dan
terarah pada Julie. “Maksudmu Danny Jo?”
Chris berbalik dari kompor dan meletakkan sepiring telur di atas meja. “Kau mengenalnya?” ia balas bertanya.
Naomi menyesap tehnya tanpa berkomentar sementara Miho menceritakan kejadian kemarin siang kepada mereka. Ia menceritakan semuanya. Semuanya. Tanpa melewatkan detail kecil apa pun.Semuanya. Tentang bagaimana ibunya dan ibu Danny berusaha menjodohkan mereka berdua, tentang Danny yang mengajaknya makan siang bersama, tentang bagaimana mereka langsung cocok , bla bla bla.
Naomi menyadari lirikan tajam yang dilemparkan Julie dan Chris ke arahnya, tetapi ia pura-pura tidak peduli. Ia tahu apa yang ingin ditanyakan teman-temannya itu, tetapi tidak tahu bagaimana menjawabnya, bagaimana menjelaskannya. Ini bukan salahnya. Miho sendiri yang langsung menyerbu masuk tanpa bertanya ataupun meminta izin. Kalau sudah begitu, apa yang bisa Naomi lakukan?
“Dan kalau kau mau mengajak Danny, aku bisa meneleponnya,” kata Miho di
akhir penjelasannya.
Namun sebelum Miho menyelesaikan ucapannya, Naomi sudah masuk ke dalam kamar, meraih ponsel dan menekan nomor Danny.
* * *
Danny masih berbaring di tempat tidur ketika ponselnya berdering. Ia mengerang pelan, tapi langsung terbatuk-batuk. Ia memaksa dirinya bangkit duduk dengan susah payah dan meraih ponsel yang tergeletak di meja di samping tempat tidur. “Halo?” gumamnya serak, dan kembali terbatuk-batuk.
“Ada apa denganmu?”
Walaupun kepalanya terasa berat dan seluruh tubuhnya lemas, Danny masih bisa tersenyum mendengar suara Naomi yang bernada cemas bercampur curiga.
“Aku tidak tahu,” gumam Danny pelan. “Badanku panas dan lemas, tenggorokanku sakit, dan kepalaku serasa seperti batu. Sudah begini sejak aku bangun tadi pagi.”
“Kemarin kau baik-baik saja,” kata Naomi lagi. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya
ragu, “Apakah gara-gara sesuatu yang kaumakan di tempatku kemarin malam?”
Danny kembali berbaring dan memejamkan mata, berharap rasa pusingnya bisa berkurang. “Tidak. Aku yakin bukan itu,” sahut Danny. “Kurasa aku tertular salah seorang rekan kerjaku di kantor.”
“Kau sudah ke dokter? Minum obat?” tanya Naomi.
Danny menggeleng walaupun ia tahu Naomi tidak bisa melihatnya. “Nanti saja. Terlalu lemas untuk bangun. Aku mau berbaring sebentar.”
Jeda sejenak di ujung sana, lalu Naomi bertanya, “Kau... kau mau aku pergi ke
sana?”
“Kau akan datang kalau kuminta?” Danny balas bertanya. “Yah... tentu saja. Kalau kau mau.”
Danny tersenyum tipis. Naomi bahkan tidak berhasil menyingkirkan keraguan
dari nada suaranya. Selama Danny mengenal Naomi, ia sudah berhasil mengetahui beberapa hal tentang diri gadis itu. Pertama, Naomi Ishida selalu bersikap waswas di depan laki-laki. Hal ini membuat Danny lega karena itu berarti Naomi tidak bersikap gugup dan resah hanya di depan Danny. Namun hal itu juga menimbulkan pertanyaan lain: Kenapa Naomi enggan berhubungan dengan laki-laki? Walaupun hubungan mereka sudah mengalami banyak kemajuan kalau dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka, Danny merasa Naomi masih menahan diri.
Hal kedua yang disadari Danny adalah Naomi masih tidak suka disentuh. Dan sampai sekarang Danny masih belum tahu alasannya.
“Terima kasih, tapi itu tidak perlu,” kata Danny pada akhirnya. Ia tahu Naomi akan datang kalau ia memintanya, tetapi ia tidak ingin memaksa gadis itu. Ia ingin Naomi membuka diri atas pilihannya sendiri. “Aku yakin ada obat di sekitar sini. Aku hanya akan tidur sebentar. Setelah itu aku berjanji aku akan minum obat. Dan aku yakin setelahitu aku akan sembuh. Tenang saja.”
“Kau akan meneleponku kalau kau membutuhkan sesuatu?” tanya Naomi.
Suaranya masih terdengar cemas.
“Tentu saja.”
“Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu lagi. Istirahatlah. Jangan lupa
telepon aku kalau ada apa-apa.”
“Kau orang pertama yang akan kuhubungi.”
Setelah menutup telepon, Danny terbatuk-batuk sebentar sambil kembali meringkuk di balik selimut. Ini benar-benar menjengkelkan. Ia tidak suka merasa sakit dan merasa tak berdaya seperti ini. Ia benar-benar harus mencari obat. Dan kalau ia masih belum membaik setelah minum obat, ia sudah pasti harus ke dokter.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi. Danny mengerang dan berpikir seharusnya ia mematikan ponselnya saja seharian ini supaya bisa beristirahat dengan tenang. Ia meraba-raba ranjang mencari ponsel yang tadi dilepaskannya begitu saja. Mengangkat ponsel ke telinga saja membutuhkan segenap kekuatannya. “Ya?” gumamnya pendek. Dua detik kemudian matanya terbuka. “Oh, Miho?”
* * *
Siang itu Naomi masih merasa khawatir. Ia ingin menelepon Danny tetapi takut mengganggu istirahat laki-laki itu. Selama beberapa menit terakhir, ia duduk di meja tulisnya yang menghadap jendela di kamar tidurnya. Ia tidak punya jadwal kerja hari ini. Ia memang sengaja mengatur agar hari ini ia bisa berlibur. Sudah lama ia ingin pergi ke kota untuk melihat-lihat dan berbelanja, namun tentu saja ia tidak bisa menikmati acara belanjanya kalau terus memikirkan Danny.
Ia sedang memutuskan apa yang sebaiknya dilakukannya keika ponselnya tiba- tiba berbunyi. Ia melirik layar ponsel yang tergeletak di meja dan cepat-cepat menjawabnya. “Danny?”
“Kau bisa datang ke sini?” Suara Danny terdengar lirih dan lemah. Napasnya juga terdengar berat, seolah-olah butuh usaha besar hanya untuk berbicara. “Tolonglah... Tolong datang ke sini.”
Kini Naomi sama sekali tidak ragu. Keraguan apa pun yang tadi pagi masih ada langsung digantikan oleh rasa panik dan cemas. Ia langsung melompat berdiri dari kursi dan berkata, “Aku akan segera ke sana.”
Tidak terlalu lama kemudian, Naomi sudah berdiri di depan pintu flat Danny di Mayfair. Ia membunyikan bel dan menunggu dengan tidak sabar. Tetapi matanya melebar kaget ketika pintu terbuka dan ia melihat siapa yang berdiri di sana. “Miho?”
Miho Nakajima yang membuka pintu dari dalam juga terlihat heran. “Oh, Naomi?”
Sesaat Naomi tidak bisa berkata-kata. Kepanikan dan kecemasannya selama
perjalanan ke sini memudar sedikit dan digantikan sesuatu yang tidak bisa diartikannya. Kenapa Miho ada di dalam flat Danny? Sedang apa dia di sana? Ada apa ini? Semua pertanyaan itu simpang siur dalam benak Naomi. Namun satu hal yang disadarinya. Ia tidak suka melihat Miho di sana, di flat Danny.
Lalu mata Naomi beralih ke arah sosok Danny muncul di belakang Miho. “Kau sudah datang,” kata Danny. Suaranya terdengar lega.
Penampilan Danny benar-benar kacau. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering,
rambutnya acak-acakan. Kaus hitam lengan panjang dan celana panjang putihnya terlihat kusut. Ia terlihat lemah dan sakit.
Banyak hal yang berkelebat dalam benak Naomi, namun begitu melihat Danny, hanya satu hal yang terpikirkan olehnya. “Kenapa kau tidak berbaring dan beristirahat?” tanyanya dengan alis berkerut.
Danny mengayunkan tangan dengan lemah.”Masuklah dulu dan setelah itu kau boleh mengomeliku.”
Naomi melangkah masuk dan menoleh ke arah Miho. “Miho, kok kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha menjaga suaranya terdengar ringan.
Miho tersenyum. “Tadi aku menelepon Danny untuk mengajaknya ke
pertunjukan Julie dan dia bilang dia sedang sakit. Jadi aku langsung datang untuk
menawarkan bantuan.”
“Oh, begitu,” gumam Naomi, tidak tahu lagi harus berpikir apa. Seharusnya ia melakukan apa yang dilakukan Miho. Seharusnya ia juga langsung datang ketika mendengar Danny sedang sakit. Bagaimanapun juga, Danny adalah temannya dan seharusnya ia tidak ragu-ragu membantu teman yang sedang sakit. Ia menoleh ke arah Danny dan bergumam, “Maafkan aku karena baru datang.”
Danny berdiri bersandar di dinding. Tangannya mencengkeram pinggiran meja kecil di samping pintu. Ia terlihat sangat lemah, tapi ia masih bisa tersenyum kepada Naomi.
“Sebaiknya kau duduk,”kata Naomi kepada Danny.
Danny menurut tanpa membantah. Ia berjalan masuk ke ruang duduk, diikuti Naomi dan Miho, lalu mengempaskan diri ke salah satu sofa. Jelas sekali ia lega karena tidak perlu berdiri lebih lama lagi. “Miho,” gumamnya sambil mengayunkan tangan ke arah Miho, “sudah sangat baik karena sudah membantuku sejak pagi tadi walaupun aku tahu dia pasti sangat sibuk.”
Naomi menoleh ke arah Miho dan temannya tersenyum lebar. “Aku tidak keberatan membantu. Dan kalau aku tidak masuk kantor sehari, tidak akan terjadi bencana,” sahut Miho, lalu menatap Danny. “Lagi pula, aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini. Bagaimana kalau kau membutuhkan sesuatu?”
Danny mengangguk. “Mungkin kau benar. Tapi karena sekarang Naomi sudah ada di sini, aku yakin dia bisa menemaniku dan memastikan aku tidak jatuh pingsan atau semacamnya. Lagi pula hari ini dia tidak punya jadwal kerja, jadi dia pasti tidak keberatan.” Ia mendongak menatap Naomi yang berdiri di sampingnya. “Kau tidak keberatan, bukan?”
Naomi mengalihkan tatapannya dari Miho dan menunduk menatap Danny.
“Tentu saja tidak.”
Miho menatap mereka berdua bergantian, lalu mengangkat bahu. “Baiklah kalau begitu,” katanya ringan. Lalu ia menoleh ke arah Naomi dan menambahkan, “Aku senang kau bisa datang dan menjaga Danny. Terima kasih.”
Naomi mengerjap. Apakah hanya perasaannya atau apakah Miho benar-benar
berbicara dengan nada seolah-olah Danny adalah tanggung jawabnya dan Naomi
hanyalah seseorang yang diminta datang untuk membantu? “Tentu saja,” gumam
Naomi singkat.
“Kau tahu kau bisa meneleponku kapan saja kau butuh sesuatu,” kata Miho
sementara ia mengumpulkan barang-barangnya.
“Terima kasih banyak, Miho. Kau benar-benar baik,” kata Danny sambil
tersenyum lemah.
Setelah Miho pergi dan Naomi menutup pintu, Naomi berdiri sejenak di sana, cemberut ke arah pintu. Lalu ia berbalik dan berjalan kembali ke ruang duduk.
“Aku mau berbaring sebentar,” gumam Danny lelah. “Kau boleh... entahlah... yah, anggap saja rumah sendiri.”
Naomi ragu sejenak, menatap Danny yang mencoba berdirid engan agak
terhuyung. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ia menghampiri Danny yang berjalan terseok-seok ke kamar sambil berpegangan pada dinding. “Biar kubantu,” katanya sambil memegang lengan Danny.
Danny berhenti melangkah dan menunduk menatap Naomi, lalu matanya beralih ke tangan Naomi yang memegang lengannya. Naomi bisa melihat kebingungan di mata Danny yang agak merah.
Naomi menatap mata Danny lurus-lurus dan berkata tegas, “Kau bisa jatuh
kalau tidak dibantu.”
Danny mengerjap, lalu mengangguk lemah. “Ya... ya, kurasa kau benar.”
Naomi membantunya masuk ke dalam kamar dan menyelimutinya. Karena Danny tidak berselera makan, Naomi harus memaksanya makan biskuit sedikit sebelum minum obat. “Kau terlihat kacau,” kata Naomi ketika Danny sudah berbaring kembali di temapt tidur setelah minum obat.
“Aku memang merasa kacau,” gumam Danny. “Aku hanya butuh tidur sebentar. Aku akan merasa lebih baik setelah bangun nanti.”
“Baiklah,” kata Naomi sambil mengumpulkan botol obat dan gelas-gelas
kosong di meja di samping tempat tidur. “Tidur saja.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau meneleponku tadi pagi?” tanya Danny tiba- tiba.
“Tadi pagi?” gumam Naomi sambil mengingat-ingat. “Ah, itu... Aku ingin memberitahumu bahwa Julie ingin mengundangmu ke pertunjukan perdananya. Katanya dia mendapat peran yang penting kali ini. Kau akan datang, bukan?”
“Tentu saja. Kapan pertunjukannya?” “Masih dua minggu lagi.”
“Kau akan pergi bersamaku?”
Sebelah alis Naomi terangkat sedikit, lalu ia mengangkat bahu. “Kalau kau
mau.”
“Baiklah kalau begitu,” gumam Danny dan memejamkan mata.
Ketika sepertinya Danny tidak akan berbicara lebih banyak lagi, Naomi berputar dan berjalan dengan langkah pelan ke pintu.
“Aku tidak menyuruhnya datang ke sini,” gumam Danny tiba-tiba.
Naomi berhenti melangkah dan berbalik kembali. “Ya?”
Danny tidak bergerak di tempat tidurnya, juga tidak membuka mata. “Miho,” katanya. “Aku tidak menyuruhnya datang ke sini. Dia datang sendiri setelah mendengar aku sakit.”
Naomi mengerjap. “Oh.”
“Dan aku tidak bisa tidur kalau dia ada di sini,” lanjut Danny dengan suara pelan. “Karena itu aku memintamu datang.”
Naomi terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum tipis dan bergumam, “Aku tahu.”
-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE