Cloud Hosting Indonesia

Cerita Cinta ( Cerber ) : SPRING IN LONDON 11

CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL



SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

SEMUA SERIES

HARI sudah menjelang sore ketika Danny terjaga. Kepalanya masih terasa berat, namun tidak berputar-putar lagi. Ia turun dari tempat tidur dan menyadari bahwa kakinya juga terasa lebih mampu menopang tubuhnya. Ia meraba keningnya. Sepertinya suhu tubuhnya juga sudah turun. Bagus. Ia ingin cepat-cepat sembuh. Ia benci merasa tidak berdaya seperti ini.
Ia baru hendak bangun dan berjalan ke pintu ketika ponselnya berdering. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya ketika melihat siapa yang meneleponnya. “Mm, Nuna,” gumamnya begitu ponsel ditempelkan ke telinga.
“Pembicaraan kita kemarin belum selesai, In-Ho,” kata kakaknya tanpa basa-
basi. “Tapi, ngomong-ngomong, ada apa dengan suaramu?”
“Tidak apa-apa, Nuna,” ujar Danny, lalu berdeham pelan. “Tenggorokanku hanya agak kering.”
“Baiklah,” kata Anna Jo tanpa curiga. “Kalau begitu, bagaimana kelanjutan ceritamu kemarin?”
Danny mendesah dalam hati. Ia ingat pembicaraan terakhir dengan kakaknya.
Saat itu kakaknya bertanya apakah ia sudah bertemu dengan seseorang di London. Sebenarnya Danny belum ingin bercerita kepada kakaknya tentang Naomi. Ia memang menyadari bahwa Naomi mulai menerimanya dan ia senang dengan hubungan mereka sekarang. Mereka sering bertemu, mengobrol, dan menghabiskan waktu bersama. Namun entah kenapa Danny selalu merasa masih ada sebagian diri Naomi yang menahan diri. Seolah-olah gadis itu masih tidak sepenuhnya percaya padanya.
Tetapi apakah itu hanya perasaannya sendiri?
“Jo In-Ho, aku sedang bicara padamu.”
Danny harus menyeret perhatiannya kembali kepada suara kakaknya di
telepon. “Maaf, Nuna,” katanya. “Sekarang aku masih bingung.”
“Katakan padaku, apakah dia cantik?” tanya Anna Jo, mengabaikan kata-kata
Danny.
“Ya,” gumam Danny, lalu menarik napas dan mengembuskannya. “Seperti boneka.”
“Apa?”
Danny tertawa pendek. “Dia punya mata seperti mata boneka. Setidaknya itulah yang kupikirkan ketika aku pertama kali bertemu dengannya.”
“Begitukah? Lalu apa lagi?”
Danny kembali mengenang pertemuan pertamanya dengan Naomi. “Awalnya dia terlihat dingin dan sulit didekati. Tapi kalau kau berhasil mendekatinya dan mengenalnya lebih baik, kau akan tahu bahwa dia sebenarnya orang yang menarik. Dan semakin kau mengenalnya, kau akan mendapati dirimu merasa...” Ia terdiam. Kata-kata itu sudah berada di ujung lidahnya. Kau akan mendapati dirimu merasa gembira setiap kali berada di dekatnya. Tetapi ia tidak mungkin mengatakannya kepada kakaknya. Akhirnya ia hanya bergumam, “Yah, begitulah.”
“Kau mendapatkan semua kesan itu hanya pada pertemuan pertama?” tanya Anna dengan nada tidak percaya. “Astaga, dia pasti gadis yang luar biasa. Berarti kali ini Ibu sudah membuat pilihan yang benar?”
“Apa?” Danny mengerutkan kening. “Apa hubungan semua ini dengan Ibu?” “Kita sedang membicarakan gadis yang ingin dijodohkan Ibu denganmu,
bukan? Gadis yang kautemui kemarin siang?” Anna balas bertanya. “Atau apakah
kita sedang membicarakan dua orang yang sama sekali berbeda?”
Danny mengerang dalam hati. Ternyata yang dimaksud kakaknya adalah Miho Nakajima yang ditemui Danny kemarin siang, bukan Naomi. Astaga, otaknya sudah kacau. “Oh, maksud Nuna gadis yang itu?” gumam Danny datar.
“Kau membicarakan gadis yang berbeda,” sela Anna blak-blakan. “Ternyata
aku benar. Kau memang sudah bertemu dengan seseorang di sana.”
Danny menghela napas dan mengembuskannya panjang-panjang. Akhirnya seulas senyum tersungging di bibirnya. “Ya,” gumamnya, lalu cepat-cepat menambahkan sebelum kakaknya bisa menyela, “tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya.”
“Kenapa? Lalu kapan?” tanya kakaknya bingung.
Sulit mengelak dari kakaknya, tetapi akhirnya Danny berhasil memutuskan hubungan dan mendesah berat. Lalu tiba-tiba ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Apakah Naomi masih ada di luar sana? Rasanya agak tidak mungkin. Danny sudah tidur lebih lama daripada yang direncanakan. Mungkin gadis itu sudah pulang.
Danny berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ruang duduknya sunyi senyap. Seberkas perasaan kecewa melandanya ketika menyadari bahwa Naomi sudah tidak ada. Sebenarnya ia ingin terbangun dan mendapati Naomi masih ada di
sana. Ia ingin melihat gadis itu, melihat gadis itu tersenyum padanya dengan cara yang selalu membuat hatinya terasa ringan.
Danny kembali mendesah berat dan berbalik hendak pergi ke dapur. Tetapi tiba-tiba ia melihat sesuatu dari sudut matanya. Ia berbalik menghampiri sofa panjang di ruang duduk dan dihadapkan pada pemandangan yang tidak diduganya, namun membuat seulas senyum tersungging di bibirnya.
Ternyata Naomi Ishida belum pulang. Gadis itu masih ada di sana dan saat ini
ia sedang berbaring menyamping di sofa, lututnya ditekuk dan kepalanya disandarkan ke lengan sofa. Tertidur pulas.
Danny sedang mempertimbangkan apakah ia harus membangunkan Naomi atau tidak ketika gadis itu mendadak terjaga dan langsung terkesiap keras.
“Ini aku,” gumam Danny cepat ketika Naomi melompat berdiri dan menjauh dari sofa. Ia menatap Danny dengan mata terbelalak kaget dan... takut? Jantung Danny mencelos. Astaga, itu adalah tatapan yang dulu sering dilihat Danny pada awal perkenalan mereka. Tatapan Danny beralih ke tangan Naomi yang terkepal di sisi tubuhnya. Alis Danny berkerut samar ketika melihat tangan Naomi gemetar. Kenapa tangan gadis itu gemetar? “Ini aku,” gumam Danny sekali lagi.
Naomi mengerjap satu kali, dua kali, dan Danny melihat sinar ketakutan itu menghilang dari mata Naomi. Gadis itu tertawa pendek dan berkata ringan, “Tentu saja aku tahu itu kau.”
Benarkah? tanya Danny dalam hati. Benarkah Naomi tadi tahu bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Danny? Lalu kenapa Naomi bereaksi seperti itu? Kenapa ia ketakutan begitu?
Danny menatap Naomi dengan tajam dan bertanya-tanya.
Kenapa selama sesaat tadi aku mendapat kesan kau mengira aku adalah orang lain?


* * *


Jantung Naomi masih berdebar kencang. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan kaku. Selama sesaat ia dilanda kepanikan yang membuatnya mati rasa. Matanya terbelalak menatap sosok di hadapannya. Namun perlahan-lahan sosok kabur itu semakin jelas. Lalu ia melihat Danny. Danny Jo. Yang berdiri di depannya adalah Danny Jo.
“Ini aku.” Naomi mendengar kata-kata yang diucapkan dengan perlahan itu. Ia mengerjap satu kali, dua kali, lalu mendengar kata-kata itu lagi. Kali ini lebih jelas. “Ini aku.”
Sedetik kemudian Naomi mulai menyadari apa yang terjadi dan di mana dirinya berada saat itu. Ia menatap Danny yang berdiri di hadapannya dengan wajah cemas dan alis berkerut samar. Lalu ia menyadari bahwa sikapnya yang berlebihan mungkin membuat Danny heran. Naomi menjilat bibirnya yang kering dan mencoba tertawa. Kedengarannya sumbang. “Tentu saja aku tahu itu kau,”
katanya. Lalu karena Danny terus menatapnya dengan alis berkerut tanpa berkata apa-apa, Naomi cepat-cepat berdeham dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Danny Jo menatapnya sambil tersenyum kecil. “Sudah lebih baik,” sahutnya agak lemah. “Karena kau ada di sini.”
Saat itu debar jantung Naomi yang sudah kembali normal kembali melonjak
begitu mendengar kata-kata Danny. Apa-apaan ini? Danny selalu suka bercanda. Lalu kenapa Naomi berdebar-debar hanya karena kata-kata ringan dan tidak berarti itu? Naomi cepat-cepat mengendalikan diri dan berdeham. “Kau mau makan sesuatu? Aku sudah membuat teh ketika kau tidur tadi. Dan kau juga harus makan sedikit. Setelah itu minum obat.”
Naomi tidak yakin apakah Danny menyadari usahanya untuk mengalihkan pembicaraan atau tidak, tetapi laki-laki itu tidak berkomentar apa-apa. Danny mengikuti Naomi ke dapur dan duduk diam di meja dapur sementara Naomi menuangkan teh dan menyiapkan sandwich untuknya.
“Jadi apa yang kaulakukan selama aku tidur?” tanya Danny ketika Naomi
sudah duduk di hadapannya dengan sepotong sandwich di tangan.
“Melihat-lihat flatmu,” sahut Naomi ringan. “Membongkar semua lemari dan laci yang ada.”
“Asal kau tahu, ini flat kakak perempuanku,” kata Danny. “Jadi kalau kau menemukan barang-barang mencurigakan, itu bukan milikku.”
Naomi tersenyum melihat Danny mengunyah sandwich-nya. Setidaknya selera makannya sudah membaik. “Aku hanya bercanda,” kata Naomi. “Setelah aku berkeliling flatmu sampai bosan, aku menelepon ibu dan adikku. Oh, jangan khawatir, aku memakai ponselku sendiri.”
“Kau pasti bosan setengah mati,” gumam Danny.
Naomi mengangkat bahu.
“Aku minta maaf karena kau terpaksa menemani orang sakit di hari liburmu,” kata Danny, “sementara aku yakin kau pasti sudah memiliki segudang rencana untuk hari liburmu.”
Naomi memiringkan kepala, berpikir apakah ia harus jujur atau tidak. Akhirnya ia lalu menghela napas dan berkata, “Tidak juga. Aku hanya ingin ke salon dan berbelanja sedikit hari ini. Setelah itu aku berencana membujukmu makan malam bersamaku.”
Danny tersenyum. “Setidaknya sebagian rencanamu berhasil. Kita memang sedang makan malam bersama sekarang,” katanya sambil mengayunkan tangan ke arah sandwich di atas meja.
“Kau benar,” sahut Naomi, lalu tertawa.
Sejenak Danny hanya tertegun menatapnya. Sebelum Naomi sempat bertanya, laki-laki itu kembali menunduk menatap sandwich-nya dan berdeham. “Karena kau
sudah berbaik hati menemaniku hari ini, aku akan melakukan hal yang sama untukmu. Aku akan menemanimu seharian penuh. Kalau aku sudah sembuh nanti.”
Mata Naomi bersinar-sinar. “Kau akan menemaniku seharian penuh?” Danny mengangguk. “ya.”
“Dan kita akan melakukan apa pun yang kuinginkan?” Danny mengangguk lagi. “Tentu saja.”
“Apa pun?”
Danny menyipitkan mata dan tersenyum. “Dengan anggapan kau tidak akan memintaku melakukan sesuatu yang melanggar hukum, ya, aku akan melakukan apa pun yang kauinginkan selama satu hari itu.”
Senyum Naomi mengembang, dan ia sama sekali tidak tahu apa pengaruh senyumnya terhadap Danny. Saat itu Danny memang bersedia melakukan apa saja—apa saja—agar ia selalu bisa melihat Naomi tersenyum padanya seperti itu. Hanya padanya. Dan sebelum ia benar-benar menyadari apa yang dilakukannya, kata-kata itu sudah meluncur dari lidahnya. “Katakan padaku kau tidak tertarik pada Chris.”
Alis Naomi terangkat. “Apa?”
Danny mendesah dan memejamkan mata. Sebelah tangannya terangkat memegang kening. “Lupakan saja. Aku tidak tahu apa yang kukatakan,” gumamnya pelan, lalu bangkit dari kursi sambil membawa cangkir tehnya. “Aku mau berbaring di sofa.”
Kening Naomi berkerut bingung sementara ia menatap Danny yang berjalan pelan ke arah ruang duduk. “Kenapa kau mengira aku tertarik pada Chris?” tanyanya langsung. “Kau tahu benar dia gay.”
Danny berhenti melangkah, lalu perlahan-lahan berbalik menghadap Naomi. Ia
mengembuskan napas dan mengangkat bahu. “Entahlah,” ujarnya lirih. “Mungkin karena dia memiliki mata biru dan logat Skotlandia yang bisa membuat wanita mana pun melupakan kenyataan bahwa dia seorang gay?” Danny terdiam sejenak. Ia mengerang. “Astaga. Otakku benar-benar kacau. Aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Lupakan saja kata-kataku.”
Ketika Danny hendak berbalik lagi, Naomi berkata, “Aku tidak tertarik
padanya. Sudah kukatakan padamu kemarin.”
“Tapi kaubilang kau merasakan sesuatu untuknya,” kata Danny, masih
mengingat jelas pembicaraan mereka kemarin di flat Naomi.
Naomi mengangkat bahu. “Kau tidak bertanya padaku apakah aku merasakan sesuatu untuk Chris.”
“Aku ingat jelas aku menanyakannya,” Chris menegaskan. “Dan aku ingat kau menjawab ya.”
“Danny,” sela Naomi pelan, “kau bertanya apakah aku merasakan sesuatu. Kau tidak menyebut untuk siapa.”
Danny terlihat bingung. “Lalu?”
Naomi menarik napas dalam-dalam. “Aku... memang merasakan sesuatu,” katanya pelan. Matanya menatap lurus ke mata Danny. Debar jantungnya semakin jelas terdengar dan ia bertanya-tanya apakah Danny juga bisa mendengarnya. “Tapi bukan... eh, bukan untuk... Chris.”
Danny masih berdiri di sana. Kerutan di alisnya perlahan-lahan menghilang ketika kata-kata Naomi akhirnya diserap otaknya yang masih terasa berkabut. Keheningan di ruangan itu mendadak dipecahkan bunyi bel pintu.
Begitu Naomi membuka pintu, Miho Nakajima berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. “Hai, Naomi, kau masih ada di sini?” tanyanya ceria.
Naomi mengerjap. “Oh, Miho, halo. Masuklah.” Ia melangkah ke samping dan
membiarkan Miho berjalan masuk.
“Aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor dan kupikir sebaiknya aku mampir untuk melihat keadaan Danny,” kata Miho ringan. Ia menoleh ke arah Danny dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Danny mengangkat sebelah tangan dan tersenyum. “Aku sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Terima kasih atas perhatianmu.”
“Kau sudah makan?” tanya Miho. “Aku bisa membelikan sesuatu. Atau membuatkan sesuatu.”
“Tidak. Tidak perlu,” sahut Danny. “Aku sudah makan sedikit tadi. Aku hanya ingin istirahat sekarang.”
“Oh,” gumam Miho sambil mengangguk-angguk, terlihat agak kecewa
walaupun ia berusaha keras menjaga wajahnya tetap datar.
Danny mengalihkan pandangan ke arah Naomi. “Naomi, sebaiknya kau juga pulang sekarang. Kau pasti lelah,” katanya. “Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu—kalian berdua—hari ini. Aku sudah tidak apa-apa sekarang.”
“Oh.” Naomi memandangnya, lalu memandang Miho, lalu kembali menatap
Danny. “Baiklah kalau begitu.”
“Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau mau,” Miho menawarkan diri.
“Ya, tentu saja,” sahut Naomi, lalu ia pergi ke ruang duduk untuk mengambil tas dan jaketnya. Ketika ia kembali, Miho sudah berdiri di ambang pintu bersama Danny.
“Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu menghubungiku,” kata Miho kepada
Danny.
Danny tersenyum. “Baiklah. Terima kasih banyak.”
Ketika Miho berbalik dan mulai berjalan pergi, Naomi menoleh ke arah Danny. “Jangan lupa minum obat dan langsung tidur,” katanya pelan. Lalu ia melirik meja makan yang masih belum dibereskan dan menambahkan, “Kau tidak perlu membereskan mejanya sekarang. Kalau besok kau masih belum merasa lebih baik kau harus...”
Aliran kata-katanya terhenti ketika Danny tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di kedua sisi kepala Naomi. Secara naluriah Naomi menarik diri, namun tangan besar yang menangkup pipi dan menempel di telinganya itu tidak bergerak. Naomi tidak bisa bergerak. Hanya bisa berdiri di sana dan mendongak menatap Danny dengan mata melebar kaget. Tangan Danny terasa besar. Dan hangat. Sama sekali tidak menakutkan. Sesaat jantung Naomi seolah-olah berhenti berdegup, lalu mulai berdebar dan semakin lama semakin cepat. Ia tidak bisa bernapas. Oh, dear...
“Berhentilah merasa cemas,” kata Danny pelan. Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Aku pasti akan minum obat dan langsung naik ke tempat tidur. Aku tidak akan membereskan meja makannya sekarang. Dan kalau besok aku masih merasa seperti mayat hidup, aku akan langsung pergi ke rumah sakit. Oke?”
Naomi hanya bisa mengangguk tanpa suara.
“Bagus.” Senyum Danny melebar. Ia menurunkan tangannya ke bahu Naomi. “Sekarang pergilah. Aku akan meneleponmu nanti.”
Saat ini Naomi baru menyadari bahwa ia sedang menahan napas. Akhirnya ia
menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.


* * *


“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau mengenalnya?” tanya Miho ketika ia
melajukan mobilnya meninggalkan gedung apartemen Danny.
Naomi menoleh. “Hm?”
“Danny Jo,” kata Miho. Ia melirik Naomi sekilas, lalu kembali menatap jalan di depannya. “Sudah berapa lama kau mengenal Danny?”
“Tidak terlalu lama.”
Miho tersenyum lebar. “Dia sangat tampan, bukan?” Naomi memaksa diri balas tersenyum. “Mm.”
“Dan sangat sopan.”
“Mm.” Naomi memandang ke luar jendela. Dan sangat baik, pikirnya. Sangat menyenangkan, sangat...
“Aku menyukainya.”
Kepala Naomi berputar kembali menatap Miho. “Apa?”
Miho tertawa senang. “Aku menyukainya, Naomi. Sangat menyukainya,” katanya tegas. “Aku senang ibuku memaksaku pulang ke Korea waktu itu. Kalau aku tidak pulang, aku tidak akan menghadiri pesta ulang tahun kakekku dan tidak akan pernah bertemu dengan ibu Danny yang berniat menjodohkan aku dengan putranya.”
Tiba-tiba saja Naomi merasa seolah-olah tekanan udara di dalam mobil berkurang dengan cepat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Berat. Udara terasa berat. Ada apa ini?
“Aku mengatakannya padamu karena kau temanku. Karena itu kau harus
membantuku,” lanjut Miho.
Naomi mengerjap. Ada sesuatu dalam nada suara Miho yang membuatnya heran.
Miho menoleh menatapnya sejenak dan tersenyum. “Naomi, kau mau membantuku, bukan?”
Oh, dear. Naomi menarik napas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakannya?
Ya, ia akan membantu Miho walaupun sebenarnya ia tidak ingin melakukannya? Atau tidak, ia tidak akan membantu Miho mendekati Danny? Tetapi kalau Miho bertanya kenapa Naomi tidak mau membantu, apa yang harus dikatakannya? Bahwa ia sendiri juga...
Naomi tertegun. Apa? Astaga... Apa yang dipikirkannya tadi? Tidak, itu tidak mungkin. Naomi memalingkan wajah, memandang kosong ke luar jendela. Jari-jari tangannya mendadak terasa dingin dan dadanya mendadak terasa nyeri. Apa pun yang saat ini dikiranya sedang dirasakannya sangat tidak mungkin. Sangat tidak mungkin.
“Naomi?”
Panggilan Miho menembus otak Naomi yang kalut. Naomi menoleh dan
berusaha memasang wajah datar. “Ya?”
Miho memandangnya dengan tatapan bertanya. “Jadi bagaimana? Kau akan membantuku, bukan?”
Naomi berharap Miho tidak mendesaknya seperti itu. Lagi pula Miho bukan
wanita pemalu yang membutuhkan bantuan mak comblang untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun. Namun karena ia sedang tidak ingin berdebat panjang-lebar, Naomi memaksakan seulas senyum kecil dan bergumam, “Tentu.”
Senyum Miho mengembang. Naomi kembali memalingkan wajah ke luar jendela dan menghela napas panjang. Apa pun yang saat ini dikiranya sedang dirasakannya sangat tidak mungkin. Sangat tidak mungkin.
Karena ia sama sekali tidak boleh lupa siapa Danny Jo sebenarnya.

-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

TO BE CONTINUE

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama
Website Instan