CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
SEMUA SERIES
“KAU mau ke Lake District? Hari ini?” tanya Naomi di ponsel dengan alis terangkat. Ia sedang minum teh dengan Julie di kafe di Holland Park ketika Danny meneleponnya dan berkata bahwa ia akan pergi ke Lake District, New Country.
“Ya,” sahut Danny di ujung sana. “Kami sedang mengerjakan video musik baru
dan pengambilan gambarnya akan dilakukan di sana. Kudengar tempat itu sangat
indah.”
“Kudengar juga begitu,” gumam Naomi sambil lalu. “Tapi, Danny, apakah kau
yakin kau sudah cukup sehat untuk melakukan perjalanan jauh?”
Danny tertawa. “Aku sudah sembuh. Sungguh. Hyong juga tidak akan mengizinkan aku pergi kalau aku masih sakit.”
“Kapan kau akan kembali?”
“Entahlah. Aku tidak yakin. Kurasa hanya dua atau tiga hari.” “Dua atau tiga hari?”
“Kenapa? Tentunya kau bisa bertahan beberapa hari tanpa aku, bukan?” gurau
Danny.
Naomi mendengus. “Aku sudah bertahan seumur hidup tanpa dirimu, jadi aku
yakin aku akan baik-baik saja.”
Saat itu Julie mencondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan berbisik, “Apakah dia akan datang ke pertunjukanku?”
Naomi meneruskan pertanyaan Julie kepada Danny.
“Katakan padanya aku pasti datang,” sahut Danny. “Bukankah aku sudah
pulang sebelum hari pertunjukan perdananya?”
“Dia pasti datang,” kata Naomi kepada Julie, lalu kembali berkata kepada
Danny, “Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu.”
“Kau juga. Aku akan meneleponmu lagi nanti.”
“Ada pekerjaan di North Country?” tanya Julie sambil memasukkan scone ke dalam mulut ketika Naomi sudah menutup ponsel.
“Katnaya dia akan pergi selama beberapa hari,” sahut Naomi pelan, lalu menoleh memandang ke luar jendela. Seperti biasa, langit London terlihat suram walaupun sinar mathari berusaha mengintip dari sela-sela awan.
“Oh, astaga,” kata Julie tiba-tiba. Seulas senyum lebar tersungging di bibirnya
dan mata hijaunya berkilat-kilat penuh arti.
Naomi menatapnya dengan alis terangkat. “Apa?” “Kau mendesah, Naomi,” kata Julie.
“Mendesah?” ulang Naomi sambil mengerjap kaget. Ia tidak mendesah. “Aku tidak mendesah.”
Senyum Julie semakin lebar. “Kau sudah pasti mendesah tadi dan aku tahu jenis desahan seperti itu.” Julie mencondongkan tubuh dan menopang kedua siku di atas meja. Matanya menatap mata Naomi lurus-lurus. “Belum apa-apa kau sudah merindukannya.”
“Apa?”
Julie tertawa. “Oh, akui saja, Naomi. Kau menyukai laki-laki itu.”
“Aku...” Naomi terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas. “Sebaiknya kita bicarakan hal lain saja.”
Julie mengangkat bahu. “Kenapa? Danny Jo itu sangat tampan, baik, sopan, dan
menyenangkan. Dan aku yakin dia juga menyukaimu. Jadi apa salahnya kalau...” “Miho menyukainya,” sela Naomi.
“Aku tahu itu,” kata Julie, membuat Naomi heran. “Tapi lalu kenapa? Danny tidak menyukainya, bukan?”
Naomi mengangkat bahu. “Aku sudah berjanji akan membantunya.”
“Membantu siapa? Miho?”
Naomi mengangguk.
“Maksudm, membantunya mendekati Danny?”
Naomi tidak menjawab.
Julie menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan perlahan.
“Kau tahu, Naomi, kadang-kadang kau bisa sangat bodoh.”
Naomi tidak berkomentar. Ia hanya menunduk dan mengaduk-aduk tehnya.
“Ngomong-ngomong soal Miho,” gumam Julie tiba-tiba.
Naomi mengangkat wajah dan melihat Julie sedang memandang ke arah pintu restoran. Naomi mengikuti arah pandang Julie dan matanya langsung menangkap sosok Miho Nakajima yang sedang berjalan ke meja mereka sambil tersenyum cerah. Terakhir kali Naomi bertemu dengan Miho adalah empat hari yang lalu, ketika mereka pulang dari apartemen Danny.
“Halo,” sapa Miho ceria ketika ia sudah berdiri di samping meja Naomi dan Julie. “Aku kebetulan lewat dan melihat kalian dari luar restoran, jadi kuputuskan untuk ikut bergabung dengan kalian. Kalian tidak keberatan, bukan?”
“Tidak, tidak. Silakan duduk,” kata Julie sambil bergeser ke kursi di sampingnya untuk memberi tempat kepada Miho.
Miho melepas jaket sambil memesan secangkir teh pada seorang pelayan yang menghampirinya. Setelah si pelayan pergi, Miho menatap Naomi dan Julie bergantian. “Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?”
Naomi melirik Julie sekilas, lalu menatap Miho dan berkata, “Hanya tentang pertunjukan Julie minggu depan. Dia ingin memastikan kita semua datang. Kau juga pasti datang, bukan?”
Selama beberapa saat mereka mengobrol tentang berbagai hal sambil minum teh dan melahap semua scone dan kue kecil yang mereka pesan. Lalu tiba-tiba Miho berkata, “Ngomong-ngomong, kenapa Chris dan Danny tidak ikut minum teh bersama kita?”
“Chris tidak bisa meninggalkan restoran,” sahut Julie. “Sedangkan Danny
sedang pergi ke luar kota.”
Alis Miho terangkat dan ia menoleh ke arah Naomi. “Ke luar kota? Ke mana?” Naomi memaksakan seulas senyum tipis. “Lake District,” gumamnya. “Ada
pekerjaan di sana.”
“Lake District,” gumam Miho dengan nada merenung. Sesaat kemudian ia menatap Naomi dan Julie bergantian. “Ada yang mau pesan scone lagi? Scone di sini benar-benar enak.”
* * * Tiga hari kemudian
Begitu Naomi membuka pintu flatnya, aroma tidak asing langsung menyerbu hidungnya. Aroma masakan. Seulas senyum otomatis tersungging di bibirnya. Pasti Chris sudah ada di rumah. Dan kalau menilai dari aromanya, ia pasti sedang memasak sesuatu yang lezat.
“Naomi, kaukah itu?” seru Chris dari dapur.
“Ya, ini aku,” Naomi balas berseru sambil menggantung jaket dan melepas
sepatunya. Lalu ia berjalan ke dapur. “Aromanya enak sekali.”
Chris sedang mengaduk-aduk sesuatu di panci sementara Julie duduk di meja makan dan memotong-motong sayuran hijau dengan canggung. Naomi tersenyum memikirkan bagaimana jadinya Julie kalau ia disuruh memerankan koki andal dalam drama. Ia pasti gagal total.
“Kuharap kau belum makan malam, Sayang,” kata Chris, lalu mencicipi saus yang sedang dimasaknya. “Oh... Ya Tuhan, aku benar-benar jenius. Saus ini benar- benar lezat. Aku bisa jatuh cinta pada diriku sendiri.”
“Aku belum makan malam dan aku kelaparan,” kata Naomi. Ia menghampiri
Chris dan mengintip ke dalam panci. “Kita akan makan apa malam ini?”
“Pasta,” kata Chris. “Oh ya, bagaimana kalau kau mengundang Danny makan
malam bersama kita? Kuharap dia tidak alergi lobster.” Naomi menggeleng. “Danny belum kembali ke London.”
“Kenapa? Bukankah dia bilang hanya dua atau tiga hari?” tanya Julie.
“Kemarin malam dia meneleponku dan sepertinya ada sedikit masalah teknis di
sana. Jadi mereka terpaksa tinggal lebih lama daripada yang direncanakan.”
Tiba-tiba Chris berhenti mengaduk pancinya dan berbalik menatap Naomi. “Dia pergi ke Lake District, bukan?”
Naomi mengangguk. “Ya, kenapa?”
“Kudengar di sana pemandangannya sangat indah,” kata Chris sambil berpikir- pikir.
“Lalu?”
“Kudengar juga tempat itu sangat romantis. Tempat yang membuat orang jatuh cinta semudah ini.” Chris menjentikkan jari.
“Oh, Chris. Tolong katakan saja langsung apa yang ingin kaukatakan,” kata
Julie.
Raut wajah Chris terlihat serius. “Kau tidak takut dia akan jatuh cinta pada wanita lain di sana?” tanyanya pada Naomi. “Bayangkan saja, dia berada di salah satu tempat paling indah di dunia, dikelilingi kedamaian pegunungan, padang rumput hijau, danau biru, udara segar, desa-desa kecil yang indah. Mungkin kalian tidak tahu, tapi percayalah padaku apabila kukatakan bahwa suasana seperti itu membuat kita jatuh cinta dengan mudah. Sangat mudah. Bagaimana kalau Danny bertemu dengan salah seorang gadis desa yang cantik dan lugu di sana, lalu dia terpesona dan... dan tidak mau kembali ke London lagi?”
Naomi menyipitkan mata menatap Chris, seulas senyum kecil tersungging di
sudut bibirnya. “Kau tahu masalahmu? Kau terlalu banyak nonton film-film lama,”
katanya.
Chris terkekeh. “Setidaknya memang itu yang terjadi dalam film,” kata Chris. Ia menoleh ke arah Julie yang masih memotong-motong sayuran dengan kikuk. “Sayangku, kalau kau memotong seperti itu, salad-nya baru bisa dihidangkan besok pagi.”
“Aku lebih mementingkan keselamatanku. Aku tidak mau jariku putus,” balas
Julie, masih memotong sayuran dengan teramat hati-hati.
“Baiklah,” kata Naomi sambil beranjak ke kamarnya. “Aku akan mandi. Setelah itu aku akan membantu kalian.”
* * *
“Dia belum meneleponmu hari ini?” tanya Chris tiba-tiba setelah mereka selesai makan malam dan duduk mengobrol di meja makan.
Naomi mengalihkan tatapan dari jam kecil di atas kulkas dan menatap Chris.
“Apa?”
“Ayolah, Naomi,” timpal Julie sambil tersenyum. “Dari tadi kau terus melirik jam.”
“Dan kalau tidak melirik jam, kau melirik ponselmu,” Chris menambahkan. “Jelas sekali kau sedang menunggu telepon,” lanjut Julie.
“Tepatnya, telepon dari Danny,” kata Chris.
Naomi tidak tahu apa yang bisa dikatakannya untuk menghadapi serangan kedua temannya. Tetapi ia memang tidak ingin membantah. Ia memang sedang menunggu telepon dari Danny. Biasanya Danny meneleponnya atau mengirim pesan singkat setiap hari—setiap hari—hanya untuk mengabarkan keadaannya ataupun menanyakan kabar Naomi. Tetapi dua hari terakhir ini laki-laki itu belum menghubungi Naomi dan hal itu membuat Naomi bertanya-tanya. Apa yang sedang dilakukannya di sana?
Tiba-tiba Naomi tertegun dan alisnya berkerut bingung. Kenapa ia seperti ini? Aneh sekali. Sudah beberapa hari ini ia tidak melihat Danny dan ia mulai merasa rindu. Rindu? Yah, walaupun Naomi tidak ingin mengakuinya, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakannya sekarang. Ia ingin bertemu dengan Danny, ingin mendengar suaranya, ingin berbicara dengannya, ingin... Oh, dear, aku sudah gila, pikir Naomi sambil menggeleng pelan.
“Kau tidak gila,” kata Chris. “Apa yang kaurasakan itu wajar saja.”
Naomi mendongak kaget. Apakah ia mengatakan apa yang dipikirkannya tadi? Sepertinya begitu.
“Kenapa kau tidak meneleponnya?” Julie menyarankan dan mulai membereskan meja. “Dia juga bukannya pergi ke luar negeri. Telepon saja dia sekarang.”
Naomi menggigit bibir, mempertimbangkan usul itu sejenak, lalu ia tersenyum. “Baiklah kalau begitu.” Ia meraih ponsel dan menekan nomor Danny. Nada sambung terdengar empat kali sebelum akhirnya telepon diangkat di ujung sana dan...
“Halo?”
Naomi mengerjap dan matanya pun melebar. Suara wanita? Apa...?
“Halo?” kata suara itu lagi. Lalu, “Naoi?”
Tanpa sadar Naomi mencengkeram ponselnya lebih erat sementara jantungnya seolah-olah berhenti sejenak ketika ia mengenali suara itu. “Miho?” tanyanya kaget.
Chris dan Julie yang sedang membereskan meja menghentikan gerakan mereka
dan menatap Naomi dengan alis terangkat kaget. Namun kekagetan mereka tidak
seberapa dibandingkan dengan kekagetan Naomi. Miho? Miho menjawab ponsel
Danny? Apa ini? Apa yang sedang terjadi?
“Ternyata benar kau, Naomi,” kata Miho. Suaranya terdengar ringan dan ceria seperti biasa. “Danny sedang pergi ke toilet dan ponselnya ditinggalkan di meja.”
Naomi merasa kepalanya nyaris meledak karena banyaknya pertanyaan yang
berseliweran di sana. “Tapi, Miho, bagaimana kau bisa ada di... Maksudku, sedang apa kau di sana?” tanyanya, berusaha mengendalikan suaranya.
“Oh, kau tidak tahu aku ada di Lake District?” Miho balas bertanya. “Bukankah sudah kukatakan padamu aku ingin menulis artikel tentang Lake District? Aku yakin aku pernah mengatakannya padamu.”
Naomi memang ingat Miho pernah menyebut-nyebut soal itu, tapi ia tidak tahu bahwa Miho akan langsung pergi ke sana. Dan bertemu dengan Danny. Dan menjawab ponsel Danny!
“Jadi aku datang ke sini dan aku kebetulan bertemu dengan Danny dan rombongannya di Keswick. Benar-benar kebetulan yang luar biasa, bukan?” Miho melanjutkan penjelasannya. “Dan karena malam ini mereka tidak sibuk, aku mengundang danny dan rombongannya makan malam bersama. Oh, Naomi, mereka benar-benar rombongan yang menyenangkan. Dan Danny benar-benar teman mengobrol yang luar biasa. Dia membuatku tertawa sepanjan gmalam.”
Naomi harus menahan diri untuk tidak memutuskan hubungan saat itu juga.
“Oh, begitu? Menyenangkan sekali,” gumamnya kaku.
“Oh, oh, ada yang ingin kukatakan padamu,” kata Miho lagi. Suaranya
terdengar antusias.
Naomi tidak yakin ia ingin mendengarnya.
“Danny akan mengajakku ke suatu tempat sehabis makan malam,” bisik Miho senang. “Kurasa dia mulai menyukaiku.”
Dan Naomi merasa jantungnya jatuh ke lantai dapur flatnya.
“Aku akan menceritakan semuanya kepadamu ketika aku pulang nanti.”
Tidak. Jangan. Naomi menarik napas dalam-dalam. “Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan mengganggu acara makan malammu. Bersenang-senanglah. Dan semoga artikelmu berhasil.”
“Artikel?” tanya Miho bingung. “Oh, artikel itu! Ya, ya, tentu saja. Terima kasih, Naomi.”
Naomi tidak bisa menahan diri dan memutar bola matanya.
“Oh, Naomi, kau ada pesan untuk Danny? Akan kusampaikan kepadanya,”
tambah Miho.
“Tidak,” tukas Naomi cepat. Suaranya terdengar agak ketus, jadi ia menarik napas lagi dan berkata dengan lebih tenang. “Tidak, terima kasih, Miho. Tidak usah. Tidak ada yang penting.”
Naomi menutup ponsel dan menatap Chris dan Julie yang sedang menatapnya
dengan ragu. “Itu tadi Miho,” katanya singkat.
Chris dan Julie saling berpandangan sejenak. “Ya, kami sudah mendengarnya.” “Dia sedang makan malam dengan Danny,” kata Naomi lagi. Dadanya terasa
agak berat. “Yah, bukan berdua dengan Danny. Rekan-rekan kerja Danny juga ada
di sana.”
Chris dan Julie mengangguk.
“Katanya Danny sedang pergi ke toilet dan meninggalkan ponselnya di meja. Katnaya dia sedang menulis artikel tentang Lake District dan kebetulan bertemu dengan Danny di Keswick.” Lagi-lagi Naomi menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam lirih, “Katanya Danny akan mengajaknya ke suatu tempat setelah makan malam.”
Chris dan Julie masih diam. Lalu Chris berkata ragu, “Kau tahu, itu mungkin
tidak berarti apa-apa. Kusarankan kau tidak terlalu memikirkannya.”
Naomi mengangkat wajah dan menatap Chris. “Aku tidak apa-apa,” katanya cepat. “Aku baik-baik saja.”
Lalu ia berbalik dan masuk ke dalam kamarnya, melempar ponsel ke tempat tidur dan berdiri di tengah-tengah kamar dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
Danny akan mengajakku ke suatu tempat sehabis makan malam. Kurasa dia mulai menyukaiku.
Mata Naomi terasa perih. Ia juga mendadak merasa sesak. Ia membuka jendelanya lebar-lebar dan menarik napas dalam-dalam. Kenapa tiba-tiba bernapas membuat dadanya terasa sakit?
* * *
Miho sedang menunduk menatap ponsel Danny yang ada dalam genggamannya
ketika suara Danny mengagetkannya. “Ada yang menelepon?”
Miho mendongak dan menyunggingkan senyum cerah. “Naomi,” sahutnya. “Maaf, aku menjawab teleponmu. Tapi sudah kukatakan padanya bahwa kau sedang pergi ke toilet.”
Danny duduk dan menerima ponsel yang disodorkan Miho. Naomi
meneleponnya? Apakah ada masalah? Ia memang tidak sempat menelpon gadis itu selama dua hari ini, tetapi itu karena Bobby Shin membuat semua orang sibuk sepanjang hari dan ketika akhirnya Danny mendapat waktu luang, Miho mendadak muncul dan mengajak mereka semua makan malam.
“Maaf, aku keluar sebentar,” kata Danny kepada Miho. Kemudian ia keluar dari restoran dan berdiri di tepi jalan yang melandai. Ia menekan nomor telepon Naomi dan menempelkan ponsel ke telinga.
Nada sambung terdengar satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali... Naomi tidak menjawab telepon. Ke mana gadis itu? Kenapa tidak menjawab telepon?
* * *
Naomi menatap ponselnya yang berdering di atas tempat tidur, namun sama sekali tidak bergerak untuk menjawabnya. Ia tetap berdiri di depan jendela sambil melihat kedua tangan di depan dada. Ia tahu itu telepon dari Danny, ia sudah melihat nama yang muncul di layar ponsel, tetapi ia tidak lagi ingin berbicara dengan laki-laki itu. Tidak setelah berbicara dengan Miho tadi.
Ia yakin Miho memutuskan pergi ke Lake District setelah ia tahu Danny ada di sana. Ia juga yakin Miho tidak kebetulan bertemu dengan Danny di Keswick. Miho pasti tahu rombongan Danny menginap di Keswick. Pasti begitu. Dan kini mereka berdua ada di tempat yang menurut Chris adalah salah satu tempat paling indah di dunia, dikelilingi kedamaian pegunungan, padang rumput hijau, danau biru, udara segar, desa-desa kecil yang indah.
Tempat yang membuat orang-orang jatuh cinta dengan mudah, begitulah kata
Chris tadi.
Naomi menyipitkan mata. Namun bukannya gadis desa yang cantik dan lugu, Danny malah bertemu dengan Miho Nakajima.
Miho Nakajima yang cantik, pintar, menarik, pandai bicara, dan selalu percaya diri di tengah banyak orang.
Miho Nakajima yang sangat bertolak belakang dengan Naomi Ishida.
Miho Nakajima yang pastinya bisa dengan mudah membuat Danny jatuh cinta.
-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE