Cloud Hosting Indonesia

Cerita Cinta ( Cerber ) : SPRING IN LONDON 13

CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL



SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

SEMUA SERIES

SAAT itu waktu makan siang dan Chris sedang sibuk seperti biasanya di dapur restoran tempat kerjanya. Sebagai kepala koki, Chris bertugas memastikan semua berjalan lancar dan semua makanan yang keluar dari dapur sudah sempurna. Christopher Scott yang sedang bekerja dan Christopher Scott yang tidak sedang bekerja sangat berbeda. Ketika sedang bekerja, Chris teramat sangat serius dan selalu bersikap tegas pada semua anak buahnya, seperti komandan di medan perang. Sementara Chris yang dikenal teman-temannya di luar urusan pekerjaan adalah pribadi yang sangat lucu, menyenangkan, dan sangat santai.
“Daging dombanya berapa lama lagi?” seru Chris kepada salah seorang anak buahnya yang sedang mengintip ke dalam oven.
“Tiga menit lagi, Chef,” jawab si anak buah dengan suara lantang.
Chris menoleh ke sisi lain dan berseru lagi, “Bagaimana dengan risotto-nya?”
“Ini dia, Chef.” Dan sepiring risotto diletakkan di depan Chris untuk diperiksa. Setelah memasitkan semuanya sudah benar, Chris membiarkan pelayan restoran membawanya keluar dari dapur.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan Chris mengumpat. “Siapa lagi yang
menelepon di saat seperti ini?” gerutunya pada diri sendiri. Ia mengeluarkan ponsel
dari saku celana dan berkata cepat, “Ya, siapa ini?”
Mendengar suara orang di ujung sana, sikap Chris langsung berubah. “Tunggu sebentar,” katnaya kepada si penelepon, lalu berseru memanggil salah satu asistennya. “Jenner! Gantikan aku sebentar. Ibuku menelepon.”
Lalu Chris melepaskan celemeknya dan keluar dari dapur yang berisik itu.
Begitu ia tiba di kantor kecilnya, ia mengempaskan diri ke kursi dan berkata, “Ya, Danny. Kita bisa bicara sekarang. Ngomong-ngomong, kau sudah kembali ke London?”
“Belum,” sahut Danny di ujung sana. Lalu ia bertanya heran, “Kaubilang aku ibumu?”
Chris terkekeh. “Biasanya aku tidak menjawab telepon kalau sedang bekerja.
Kau tahu sekarang waktunya makan siang? Kami sedang supersibuk di sini.” “Maafkan aku,” kata Danny. “Aku sudah berusaha menelepon Julie tadi, tapi
dia tidak menjawabnya.”
“Tunggu dulu,” sela Chris. “Kau menelepon Julie lebih dulu? Kenapa? Kenapa
pilih-pilih kasih seperti ini?”
Danny tertawa hambar. “Yang benar saja. Aku tahu kau pasti sibuk pada jam- jam seperti ini, jadi aku tidak ingin mengganggumu,” Danny menjelaskan. “Tapi berhubung Julie tidak menjawab telepon, aku terpaksa menghubungimu. Kuharap aku tidak terlalu merepotkan.”
Chris mengangkat bahu. “Tidak juga,” katanya ringan. “Ada yang mau kaubicarakan?”
Danny ragu sejenak. “Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu.” “Ini tentang Naomi, bukan?” tebak Chris.
“Ya. Aku sudah berusaha menghubunginya selama dua hari ini. Tapi dia tidak menjawab teleponku.”
“Aku juga tidak akan menjawab teleponmu kalau aku jadi dia,” timpal Chris. “Tapi kenapa? Ada apa? Apa yang sudah kulakukan?” tanya Danny tidak
mengerti. “Jangan katakan padaku ini karena Miho.”
“Mm-hmm,” gumam Chris membenarkan. “Danny, asal kau tahu, dia sangat
marah. Dan aku tidak menyalahkannya.”
“Tapi bukan aku yang menyuruh Miho ke sini. Aku juga tidak menyuruhnya menjawab teleponku,” kata Danny cepat. “Dan sekarang Naomi tidak mau bicara denganku gara-gara itu?”
“Kata Miho, kau hendak mengajaknya ke suatu tempat setelah makan malam
waktu itu,” kata Chris datar.
“Yah, itu memang benar,” kata Danny, lalu cepat-cepat menambahkan, “tapi itu karena katanya dia sedang menulis artikel tentang tempat-tempat menarik di Lake District. Karena dia sudah berbaik hati mentraktir kami semua makan malam, kupikir aku bisa berterima kasih kepadanya dengan menunjukkan beberapa tempat menarik di Keswick yang mungkin bisa menjadi bahan yang berguna untuk artikelnya.” Ia terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada tidak percaya. “Tapi kenapa aku menjelaskan semua ini kepadamu?”
Chris terkekeh. “Karena kau ingin meminta bantuanku?”
Danny mendesah berat. “Dan asal kau tahu, kami tidak pergi berdua. Seorang temanku yang sepertinya tertarik pada Miho juga ikut dengan kami.”
“Miho mengira kau mulai menyukainya.”
“Aku—apa?” Danny terdengar kaget. “Dan apakah Naomi juga berpikir begitu?”
Chris mengangkat bahu, walaupun Danny tidak bisa melihatnya. “Aku baru tahu ternyata dia bisa cemburu juga,” gumamnya lirih, lebih pada diri sendiri, lalu tertawa kecil.
Danny tidak mendengarnya. “Apa katamu?”
“Tidak apa-apa,” sahut Chris cepat. “Jadi katakan apa yang bisa kubantu?”


* * *


Malam itu Naomi masuk ke kamarnya, menjatuhkan tasnya ke lantai dan langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Ia menggigit bibir dan menatap langit-langit kamar. Ia mulai merasa reaksinya terlalu berlebihan malam itu, malah ketika Miho menjawab telepon Danny. Seharusnya ia tdiak bereaksi seperti itu. Seharusnya ia tidak menolak menjawab telepon Danny ketika laki-laki itu meneleponnya.
Bagaimanapun juga, ia tidak berhak merasa cemburu. Danny Jo bebas melakukan apa pun yang diinginkannya. Ia juga bebas bersama siapa pun yang diinginkannya. Bebas menyukai siapa pun yang diinginkannya.
Tetapi kenapa pikiran itu malah membuat Naomi sendiri lesu?
Ia bangkit dan berjalan ke lemari pakaiannya. Saat itu matanya menatap secarik kertas kecil berwarna kuning yang ditempelkan di cermin meja riasnya. Ia mencabut kertas itu dan membacanya.
Periksa e-mail-mu. Chris.
Alis Naomi berkerut heran. Apa lagi ini? pikirnya, namun ia menghampiri meja tulis dan menyalakan laptop-nya. Tidak lama kemudian ia sudah masuk ke inbox e- mail-nya. Seseorang mengirimkan video file untuknya. Berharap itu bukan semacam virus, Naomi membuka file di sana.
Sejenak kemudian ia mengerjap kaget menatap gambar yang muncul di layar laptop. Danau dengan permukaan air berwarna biru yang tenang, padang rumput hijau yang terbentang luas, diselingi pepohanan dan berlatar belakang bukit hijau gelap. Langit terlihat biru jernih dan ia bisa mendengar gemeresik dedaunan yang ditiup angin. Ia juga nyaris bisa merasakan tiupan angin di wajahnya. Tempat apa
itu?
Tiba-tiba terdengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. “Indah, bukan? Selamat datang di Ullswater.” Lalu pemandangan itu bergerak ketika kamera dialihkan dan mata Naomi melebar ketika wajah Danny memenuhi layar laptop-nya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat wajah Danny. Danny tersenyum lebar ke arah kamera dan berkata, “Apakah kau tahu bahwa Ullswater sering dianggap sebagai danau terindah di antara seluruh danau di Cumbria? Kemarin kami melakukan pengambilan gambar di sini. Aku tahu kau pasti menyukai pemandangan ini, jadi hari ini aku kembali ke sini untuk menunjukkannya kepadamu.”
Danny kembali mengarahkan kameranya ke sekelilingnya, menunjukkan seluruh pemandangan indah yang terbentang di hadapannya. Dan saat itu Naomi juga merasa seolah-olah ia ada di sana, berdiri di samping Danny, melihat pemandangan itu dengan mata kepalanya sendiri, meraskaan angin menerpa wajahnya. Ia mengangkat kedua kaki ke atas kursi dan memeluk lutut. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
Wajah Danny kembali terlihat di layar. Ia mendongak menatap langit biru
sambil menaungi mata dengan sebelah tangan yang tidak memegang kamera. Rambutnya acak-acakan tertiup angin. Kemudian ia kembali menatap kamera dan menyunggingkan senyum lebar yang membuat jantung Naomi berdebar dua kali lebih cepat. “Lain kali aku pasti akan mengajakmu ke sini supaya kau bisa melihatnya sendiri,” katanya. “Sekarang pegang tanganku. Aku akan mengajakmu berkencan hari ini, Naomi Ishida. Jadi kuharap kau bersedia menikmati hari yang indah ini bersamaku.”
Senyum Naomi melebar. “Sangat kreatif,” gumamnya lirih.
Dan ia hampir lupa bernapas ketika ia melihat semua pemandangan indah yang direkam Danny. Danny membawanya dari Lorton Vale yang merupakan tanah pertanian hijau di sebelah selatan Cockermouth, lalu ke Crummock Water di sebelah utara Buttermere, sampai ke Borrowdale yang begitu indah, membuat tenggorokan Naomi tercekat.
Jelas sekali Danny tidak merekam semua gambar itu dalam satu hari. Naomi yakin laki-laki itu pasti melakukannya di waktu luangnya yang terbatas. Kesadaran bahwa Danny telah menyempatkan diri merencanakan semua itu untuknya membuatnya tersentuh. Sangat tersentuh.
Wajha Danny yang ceria kembali terlihat di layar. “Bagaimana menurutmu? Kau suka?”
Naomi tersenyum. “Sangat,” gumamnya pelan.
“Aku benar-benar berharap kau ada di sini bersamaku sekarang.” Danny mendesah dan memandang berkeliling, lalu kembali menatap kamera. Menatap Naomi. “Kau tahu, aku menyadari sesuatu selama berada di sini,” katanya irngan. Ia masih tersenyum, namun ada kesan sungguh-sungguh dalam suaranya. “Aku rindu padamu.”
Naomi mengerjap kaget dan menahan napas. Oh, dear... Suasana di sekeliling- nya mendadak sunyi senyap. Hanya debar jantungnya sendiri yang terdengar olehnya.
“Kurasa aku sudah terbiasa selalu melihatmu, jadi kalau kau tidak ada, aku merasa agak aneh. Seolah-olah ada sesuatu yang... salah,” Danny melanjutkan dengan nada merenung. Lalu ia tertawa kecil. “Astaga, kurasa aku mulai meracau. Baiklah, kuharap kau menikmati kencan kita hari ini. Sampai jumpa lagi di London.”
Selama dua menit penuh setelah video itu berakhir, Naomi masih duduk diam di depan laptop-nya.
Aku menyadari sesuatu selama aku berada di sini. Aku rindu padamu.
Kata-kata Danny masih terngiang-ngiang di telinganya. Dan kata-kata itu kini membuat seulas senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Ia melirik ponsel yang tergeletak di meja. Setelah ragu sedetik, ia membulatkan tekad, meraih ponsel itu dan menekan nomor Danny.
Kali ini Danny menjawab pada dering pertama dan suara yang kini disadari
Naomi sangat dirindukannya itu langsung bertanya, “Naomi?” “Mmm,” gumam Naomi. “Ini aku.”
Naomi bisa mendengar Danny mengembuskan napas dengan perlahan.
“Apakah kau menikmati acara jalan-jalan kita?”
Naomi tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu ak usudah melihat videonya?” “Aku punya informan tepercaya.”
Informan tepercaya? Naomi melirik pesan dari Chris yang kini tergeletak di
mejanya.
“Jadi, Naomi, kau sudah tidak marah padaku?” tanya Danny. Suaranya
terdengar ragu, sama sekali tidak seperti yang dikenal Naomi.
Naomi mendengus. “Aku tidak marah padamu.” Bagaimanapun juga ia tidak mungkin mengakui bahwa ia tidak suka dengan kenyataan bahwa Miho menjawab ponsel Danny, bahwa Danny ingin mengajak Miho ke suatu tempat, bahwa mereka makan malam bersama, bahwa Miho bisa melihat Danny sementara Naomi sendiri tidak bisa.
Bahwa Miho yakin Danny mulai menyukainya. Danny terkekeh. “Suaramu terdengar marah.” “Aku tidak marah.”
“Baiklah, baiklah. Kalau begitu, aku senang mendengarnya,” kata Danny cepat.
Ia terdiam sejenak, lalu bertanya pelan, “Bagaimana keadaanmu, Naomi?” “Aku baik-baik saja,” gumam Naomi. “Kau sendiri?”
“Sudah lebih baik,” sahut Danny.
Alis Naomi terangkat. “Apa maksudmu? Kau sakit lagi?”
“Tidak, tidak,” sela Danny cepat, lalu tertawa kecil. “Tidak bertemu denganmu selama ini sudah cukup membuatku gelisah. Ditambah dengan kau yang tidak mau berbicara denganku selama dua hari terakhir ini...” Ia menghela napas sejenak. “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Seperti yang sudah sering dialaminya akhir-akhir ini seitap kali berada di dekat Danny dan setiap kali ia menatap Danny, jantung Naomi pun kembali berdebar kencang.
* * *


Danny Jo sedang duduk melamun di antara para rekan kerjanya di sebuah pub kecil di Keswick ketika ponselnya berdering. Ia tersentak dan cepat-cepat menjawab tanpa melihat siap ayang menelepon. “Naomi?” tanyanya langsung sambil bangkit dan berjalan keluar dari kedai. Ia sama sekali tidak menyadari Bobby Shin yang menatapnya sambil tersenyum kecil dan menggeleng-geleng.
“Mmm, ini aku.”
Danny bisa merasakan kelegaan menjalari dirinya begitu ia mendengar suara Naomi di ujung sana. Ia tahu Naomi sudah melihat video yang dikirimnya. Chris yang memberitahunya beberapa saat yang lalu.
Tidak melihat gadis itu selama beberapa hari saja sudah cukup membuatnya
uring-uringan. Dan dua hari terakhir ini benar-benar menguji kesabarannya, bahkan Bobby Shin sampai kebingungan menghadapinya. Penyebabnya? Naomi yang tiba- tiba menghindarinya, menolak menjawab teleponnya. Dan yang paling buruk adalah Danny tidak tahu alasannya, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ia tidak tahu sejak kapan, ia tidak tahu kenapa, dan ia juga tidak tahu bagaimana, tetapi ia tahu Naomi Ishida sangat berpengaruh pada ketenangan jiwanya.
Danny berdiri di teras pub kecil itu dan menghela napas dalam-dalam. Tangan kirinya yang tidak memegang ponsel dijejalkan ke dalam saku celana. Setelah ragu sejenak, ia bertanya dengan pelan, “Jadi, Naomi, kau sudah tidak marah padaku?”
“Aku tidak marah padamu.”
Danny tertawa pendek. “Suaramu terdengar marah.” “Aku tidak marah.”
Danny pun tidak mendesak lagi. Akhirnya ia bertanya, “Bagaimana
keadaanmu, Naomi?”
Naomi menjawab ringan, “Aku baik-baik saja. Kau sendiri?”
“Sudah lebih baik,” sahut Danny. Ya, ia sudah merasa jauh lebih baik. Karena ia sudah mendengar suara gadis itu. Karena gadis itu tidak lagi marah padanya.
Tetapi suara Naomi terdengar khawatir. “Apa maksudmu? Kau sakit lagi?” “Tidak, tidak,” sela Danny cepat dan tertawa, merasa senang karena Naomi
ternyata mencemaskannya. Itu bisa dianggap sesuatu yang bagus, bukan? “Tidak
bertemu denganmu selama ini sudah cukup membuatku gelisah. Ditambah dengan kau yang tidak mau berbicara denganku selama dua hari terakhir ini...” Ia menghela napas sejenak. “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Naomi tidak menjawab. Danny bertanya-tanya apakah ia sudah membuat gadis itu terkejut. Apakah Naomi akan kembali menarik diri? Apakah kata-katanya tadi akan membuat Naomi kembali menjaga jarak? Karena walaupun Naomi tidak
pernah berkata apa-apa, Danny tahu gadis itu selalu menjaga jarak dengan laki-laki. Laki-laki mana pun. Dan walaupun Naomi tidak pernah berkata apa-apa, Danny yakin penyebabnya bukan karena Naomi gadis pemalu. Pasti pernah terjadi sesuatu yang membuat Naomi bersikap seperti ini. Danny ingin tahu apa yang terjadi. Ia ingin mengetahui semua yang bisa diketahuinya tentang Naomi. Hanya saja ia tidak tahu caranya.
“Naomi?” panggil Danny ragu. Semoga saja Naomi tidak langsung menutup
telepon. Kalau itu terjadi, Danny tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
“Aku masih di sini,” kata Naomi.
Dengan pelan Danny mengembuskan napas yang ditahannya. Astaga, ia tidak pernah segugup ini seumur hidupnya, baik dalam urusan pekerjaan atau ketika menghadapi wanita mana pun. Kenapa gadis yang satu ini membuatnya selalu merasa gugup, selalu bertanya-tanya, selalu ragu? Ia tidak pernah seperti ini. Sungguh. Ini tidak normal.
“Kau harus tahu tidak ada yang terjadi. Maksudku, antara aku dan Miho
Nakajima,” kata Danny pada akhirnya.
Hening sejenak, lalu terdengar, “Mmm.”
“Kau percaya padaku, bukan?” tanya Danny.
“Tentu saja,” sahut Naomi cepat, tetapi bagi Danny suara gadis itu tidak terdengar meyakinkan. “Kau sedang di mana?”
Danny menoleh ke arah jendela pub dan melihat teman-temannya masih sibuk
mengobrol dan tertawa di dalam. “Di pub. Bersenang-senang sedikit setelah hari
yang panjang dan melelahkan.” “Dia ada di sana bersamamu?”
Danny tersenyum kecil, tidak bisa menahan diri. “Siapa?”
Hening sejenak, lalu Naomi bergumam, “Miho.”
Senyum Danny melebar. “Tidak,” sahutnya singkat. Ia tidak berkata bahwa siang tadi ia kebetulan bertemu dengan Miho. Ia juga tidak berkata bahwa Miho memang berencana akan bergabung dengan mereka di pub ini. Bagaimanapun juga, bukan Danny yang mengundang gadis itu ke sini. Miho sendiri yang kebetulan mendengar bahwa Danny dan teman-temannya akan berkumpul di pub lalu menyatakan bahwa ia juga ingin bergabung.
“Begitu?” gumam Naomi. Lalu tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. Nada
suaranya pun berubah lebih ringan. “Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama lagi. Oh, dan terima kasih untuk videonya. Aku sangat menyukainya.”
“Terima kasih karena sudah berkencan denganku hari ini,” balas Danny.
“Dan, Danny,” kata Naomi lagi ketika Danny hendak menutup telepon, “aku juga senang mendengar suaramu.”
Dan tiba-tiba saja, begitu mendengar kata-kata sederhana yang diucapkan dengan pelan itu, Danny merasa hatinya berubah ringan dan melambung tinggi. Ia juga mendapati dirinya tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan lama setelah Naomi menutup telepon.
Saat itu ia teringat pada kata-kata yang pernah diucapkan Naomi. Aku... memang merasakan sesuatu, tapi bukan... bukan untuk Chris. Danny tidak tahu apakah ia berani berharap atau tidak.


* * *


Miho kembali bersandar di dinding samping pub. Danny sudah kembali ke dalam pub, sama sekali tidak sadar bahwa Miho sudah mendengar semua yang dikatakannya. Sebenarnya Miho tidak menguping dengan sengaja. Ia baru saja akan berbelok ke pub itu ketika mendengar suara rendah Danny yang berkata, “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Kata-kata yang diucapkan dengan pelan dan serius itu membuat Miho menghentikan langkah. Ia belum pernah mendengar Danny berbicara dengan nada lembut seperti itu. Penasaran dengan orang yang sedang berbicara dengan Danny, Miho bersandar di dinding samping pub. Ternyata Danny sedang berbicara di ponselnya. Tapi dengan siapa?
Pertanyaan itu langsung terjawab karena kata yang diucapkan Danny
selanjutnya adalah, “Naomi?”
Miho mengerutkan kening. Lalu perlahan-lahan seulas senyum muram muncul di bibirnya. Sebenarnya ia sudah menduganya. Sejak hari itu di flat Danny. Ia sudah melihat cara Danny menatap Naomi. Dan cara Danny menangkup kepala Naomi dan berbicara pelan kepadanya ketika Miho dan Naomi hendak pulang.
Namun saat itu Miho menolak memikirkannya. Sama seperti sekarang. Ia sama sekali belum ingin mundur. Danny Jo mungkin menyukai Naomi, tapi Naomi belum tentu menyukai Danny. Miho mengenal temannya dengan baik. Naomi bukan tipe wanita yang mudah didekati. Malah Miho selalu melihat Naomi menjauhi laki-laki. Jadi Miho masih memiliki kesempatan.
Seperti kata orang-orang, segalanya sah dalam perang dan cinta.

-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

TO BE CONTINUE

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama
Website Instan