CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
SEMUA SERIES
“SUDAH berapa lama?” tanya Chris kepada Julie.
Julie mengangkat bahu. “Tiga minggu? Sekitar itulah.”
Mereka berdua duduk berhadapan di meja dapur dengan cangkir di tangan. Julie menyesap kopi paginya seperti biasa sementara Chris menggenggam secangkir teh Earl Grey.
“Dia benar-benar sudah berubah, bukan?” tanya Chris lagi.
“Dia tidak gila kerja seperti dulu,” kata Julie sambil mengangguk. “Jadwal kerjanya juga tidak sepadat dulu.”
“Dan dia makan dengan teratur. Biasnaya dia bahkan hampir tidak pernah... oh, aku tidak mau memikirkan dia dulu yang jarak makan,” kata Chris gemetar, lalu menyesap tehnya. “Aku jadi ingin bertemu dengan orang bernama Danny Jo itu.”
Julie merenung. “Kurasa mereka berdua...” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Chris. “Chris, mungkinkah dia menyukai laki-laki itu? Bagaimanapun juga, mereka masih berhubungan walaupun syuting video musik itu sudah selesai.”
Saat itu pintu kamar Naomi terbuka dan kedua orang di meja dapur serentak menoleh ke arahnya. Naomi berdiri di ambang pintu dalam balutan jubah tidur dan dengan wajah seseorang yang jelas-jelas baru bangun tidur. Itu adalah perubahan lagin yang disadari teman-temannya dalam diri Naomi selama tiga minggu terakhir. Waktu tidurnya juga membaik.
“Selamat pagi, Sunshine,” sapa Chris riang. “Ayo bergabung dengan kami dan
muffin-muffin lucu yang baru kubuat ini.”
Naomi menguap lebar, lalu menatap kedua temannya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Tentang bagaimana Danny berhasil membuatmu berubah,” sahut Chris langsung, dan tersenyum lebar ketika Naomi menatapnya dengan mata disipitkan. “Dan kami sama sekali tidak mengeluh.”
Naomi menyeduh secangkir teh hijau untuk dirinya sendiri dan bergabung dengan mereka di meja. Ia meraih salah satu muffin cokelat dari piring besar di atas meja, lalu menatap kedua temannya bergantian. “Apa?” tanyanya.
Kedua temannya hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum lebar. “Apa yang akan kaulakukan hari ini?” tanya Chris.
“Hmm, ini enak sekali,” sahut Naomi setelah menggigit muffin-nya. “Siang nanti aku harus pergi menemui Miho. Dia sudah kembali ke London dan katanya banyak yang mau diceritakannya padaku. Kurasa dia juga mau mengajakku menemui salah satu perancang busana yang akan ditampilkannya dalam majalah. Lalu setelah itu aku ada jadwal pemotretan.”
Chris meletakkan cangkir tehnya dengan pelan, lalu berdeham. “Kau tidak pergi menemui Danny-mu hari ini?” tanyanya, memasang sikap pura-pura tidak terlalu tertarik, namun gagal total.
Naomi mengangkat bahu. “Entahlah,”gumamnya. “Mungkin hari ini tidak akan sempat.”
“Ngomong-ngomong, kau akan mengajaknya ke pertunjukan perdanaku
nanti?” tanya Julie tiba-tiba.
Chris menjentikkan jari. “Ya, benar. Ajak saja dia. Aku sudah penasaran ingin bertemu Danny-mu itu. Aku sering mendengar tentang dia tapi belum pernah melihat orangnya. Gagasan yang bagus, Julie,” katanya cepat. Ia kembali menatap Naomi dengan wajah berseri-seri. “Julie pernah bilang dia sangat tinggi dan tampan. Benar-benar tipeku.”
Naomi mengerutkan alis, lalu tertawa pendek. “Oh, dear.”
Chris mengibaskan tangan. “Tenang saja,” katanya ringan. “Aku hanya akan mengagumi dari jauh. Aku tidak pernah merampas milik temanku sendiri.”
Naomi mendengus. “Milik...”
“Telepon dia sekarang,” sela Julie cepat. “Tanyakan padanya apakah dia bisa datang ke pertunjukanku atau tidak. Dia boleh mengajak teman-temannya, tentu saja. Semakin banyak orang yang datang menonton pertunjukan itu semakin baik. Ini peran penting pertamaku, kalian tahu? Peranku memang hanya sebagai sahabat tokoh utamanya, tapi kupastikan pada kalian bahwa itu peran yang sangat penting.” Naomi mendongak menatap jam kecil di atas kulkas. “Telepon sekarang?”
tanyanya.
“Ya. Biar aku tahu berapa lembar tiket yang harus kuberikan kepadamu,” kata
Julie.
Naomi masuk kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya, lalu kembali ke dapur dengan ponsel ditempelkan ke telinga. Beberapa detik kemudian ia menggeleng dan mematikan ponsel. “Sedang sibuk. Nanti saja baru kutelepon lagi,” katanya. Lalu ia kembali melirik jam. “Sebaiknya aku mandi sekarang.”
Chris tetap diam, menunggu sampai Naomi mengunci diri di kamar mandi, lalu bergegas berbisik kepada Julie dengan penuh semangat, “Kau dengar tadi? Aku menyebut Danny-nya dua kali dan...”
“Dan dia tidak membantah,” Julie menyelesaikan kalimat Chris sambil
tersenyum. “Menarik sekali.”
* * *
Satu jam kemudian Naomi sudah berada di dalam mobil VW hijau nyetrik milik Miho Nakajima dan mendengarkan temannya itu bercerita tentang apa yang dialaminya selama liburan di Korea.
“Jadi pesta ulang tahun kakekmu diadakan besar-besaran?” tanya Naomi.
“Ya. Mereka mengundang banyak orang,” sahut Miho dari balik kemudi. “Tentu saja itu bagus bagiku. Kau tahu aku suka berada di antara banyak orang. Dan yang lebih baik adalah banyak di antara para tamu yang bisa berbahasa Inggris. Aku tidak merasa aneh sendiri dan aku bertemu dengan banyak orang yang menarik.”
Naomi tersenyum, memahami maksud temannya. “Maksudmu, banyak pria menarik?”
Miho tertawa. “Itu juga,” akunya. “Oh, liburan kali ini sangat hebat.”
Ketika Miho menghentikan mobil di depan sebuah gedung bergaya modern di daerah Covent Garden, Naomi mengerutkan kening. “Miho, kenapa kita berhenti di sini? Kukira kita mau pergi menemui perancang busana itu.”
“Oh, aku harus memberikan barang titipan kepada seseorang,” kata Miho sambil mengambil sebuah bungkusan dari kursi belakang mobil. “Ada teman ibuku ingin mengirimkan ginseng kepada anak laki-lakinya yang tinggal di London. Dan, dia menitipkannya kepadaku.”
“Oh,” gumam Naomi sambil keluar dari mobil.
“Tapi aku yakin itu hanya alasan,” kata Miho lagi. “Aku yakin dia dan ibuku berkomplot ingin menjodohkan aku dengan anak laki-lakinya.”
Alis Naomi terangkat. “Oh, ya?”
“Wanita itu menunjukkan foto anaknya kepadaku,” aku Miho. “Di foto itu anak laki-lakinya memang terlihat sempurna menurut penilaianku. Tapi siapa tahu? Fotobisa dipermak di sana-sini. Mungkin orang aslinya tidak sesempurna di foto.”
“Karena itu kau mengajakku?” tebak Naomi sambil meringis.
Miho tersenyum meminta maaf. “Kalau ternyata laki-laki itu berbeda jauh dengan foto yang kulihat, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Kau bisa menjadi alasanku untuk cepat-cepat kabur.”
“Kalau ternyata dia sesempurna di foto?”
“Kau boleh menyingkir jauh-jauh dan membiarkan aku mengurusnya sendiri,”
gurau Miho.
Naomi menghela napas lalu menggeleng-geleng. Ia kembali mendongak menatap gedung di hadapannya. Kebetulan sekali laki-laki yang ingin ditemui Miho bekerja di studio Bobby Shin. Mungkin ia bisa menemui Danny sebentar sementara Miho menemui siapa pun yang ingin ditemuinya itu. Tentu saja itu kalau Danny tidak terlalu sibuk.
* * *
Danny sedang mengedit gambar bersama salah seorang editor ketika ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponselnya. Dari kakaknya? Danny keluar dari ruangan untuk menerima telepon. “Hai, Nuna,” sapanya pendek.
“Hei, In-Ho. Kuharap aku tidak mengganggumu,” suara Anna Jo yang halus
terdengar di ujung sana.
“Tidak. Tidak apa-apa,” sahut Danny sambil keluar ke koridor dan menutup pintu di belakangnya. “Ada apa?”
“Sudah beberapa hari ini aku bermaksud meneleponmu, tapi entah kenapa aku
lupa,” kata Anna. “Ini soal Ibu dan ambisinya.”
Danny duduk di salah satu bangku yang berderet di koridor dan tersenyum kecil. Ia bisa menebak arah pembicaraan kakaknya. “Ibu dan ambisinya,” ulangnya pelan.
“Ya. Minggu lalu Ibu pergi menghadiri pesta—jangan tanyakan padaku pesta
apa. Aku tidak tahu—dan dia bertemu dengan seorang temannya, atau kenalannya,
atau semacamnya...”
“Dan temannya, atau kenalannya, atau semacamnya itu punya seorang anak perempuan?” tebak Danny.
“Ya. Dan kebetulan sekali anak perempuan orang itu akan pulang ke London.
Jadi Ibu bertanya padanya apakah dia boleh menitipkan ginseng kepada gadis itu
untuk diberikan kepadamu.”
“Mm-hmm. Ginseng. Benar-benar kreatif.”
“Jadi aku ingin memperingatkanmu bahwa Ibu masih belum menyerah dalam usahanya menjodohkanmu, walaupun kau sudah melarikan diri sampai ke seberang samudra,” kata Anna sambil tertawa.
“Aku sudah menduganya,” desah Danny. “Apa?”
“Tadi pagi dia sudah meneleponku.” “Siapa? Ibu?”
“Bukan,” sahut Danny singkat. “Wanita itu.”
“Wanita yang mana? Maksudmu yang ingin dijodohkan Ibu denganmu?” tanya
Anna heran.
“Mm-hmm.”
“Oh, jadi dia sudah ada di London? Bagaimana rupanya? Apa katanya?”
Danny tertawa. “Nuna, aku belum bertemu dengannya. Dia hanya meneleponku tadi. Kurasa Ibu yang memberikan nomor teleponku kepadanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya bahwa Ibu menitipkan ginseng untukku. Kami akan bertemu nanti.” Ia melirik jam tangannya. “Malah sebentar lagi dia akan datang ke sini.”
“Oh, In-Ho, kau harus menceritakannya kepadaku nanti. Aku ingin tahu bagaimana rupanya. Kata Ibu wanita itu cantik dan akan sangat cocok untukmu. Tapi kurasa Ibu selalu berkata begitu tentang semua wanita yang ingin dijodohkannya denganmu,” kata Anna penasaran. “Apakah kau akan mengajaknya makan siang? Kurasa di sana sekarang masih siang, bukan? Siapa tahu kau akan menyukai yang satu ini.”
Danny meringis. “Aku sangat meragukannya. Nuna jangan terlalu berharap. Dan tolong katakan pada Ibu untuk berhenti menjodoh-jodohkan aku. Aku benar- benar tidak mau ikut dalam permainan ini lagi.”
“Memangnya kenapa? Bukankah kau belum pernah bertemu dengan gadis ini? Bukannya aku membela Ibu, tapi kau jangan berkata tidak sebelum kau... Tunggu, aku mencium sesuatu di sini.” Anna terdiam sejenak, lalu bertanya curiga, “Jo In- Ho, apakah kau sudah bertemu dengan seseorang di sana?”
Senyum Danny melebar. Kakaknya memang sangat tajam. Ia baru hendak menjawab ketika seseorang memanggilnya. Ia mendongak dan melihat salah seorang rekan kerjanya berkata bahwa ada tamu untuknya di bawah. Danny mengangguk dan mengangkat sebelah tangan untuk berterima kasih. Kemudian ia berkata kepada kakaknya di telepon. “Dengar, Nuna, aku harus pergi sekarang. Kurasa wanita itu sudah datang. Lain kali saja kita bicara lagi.”
“Jo In-Ho...”
“Aku tutup dulu, Nuna.”
Danny langsung menutup ponsel sambil tersenyum puas. Kakaknya pasti uring-uringan. Oh, itu sudah pasti. Tapi Danny akan membiarkan kakaknya menebak-nebak dulu. Setidaknya untuk sementara.
* * *
Naomi menatap ponselnya dengan kening berkerut. Kenapa ponsel Danny masih sibuk? Ia mengembuskan napas dan kembali menghampiri Miho yang duduk di salah satu sofa yang tersedia setelah memberikan nama orang yang ingin ditemuinya kepada si resepsionis.
Miho mendongak menatapnya. “Kenapa? Temanmu tidak ada?” tanyanya.
“Mungkin sedang sibuk,” sahut Naomi dan duduk di samping Miho. Tidak lama kemudian Miho menyikutnya. “Coba lihat. Kurasa itu dia.”
Naomi menoleh ke arah meja resepsionis. Ada seorang laki-laki bertubuh
jangkung di sana, berbicara kepada resepsionis. Lho, bukankah itu...? Naomi mengerjap kaget. Danny Jo?
“Astaga, dia kelihatan persis seperti di fotonya,” gumam Miho bersemangat. “Sama persis. Sempurna.”
Naomi menoleh menatap temannya yang mengamati Danny dengan mata
berkilat-kilat memuji. Mendadak saja jantungnya mulai berdebar lebih keras. Oh,
dear. Jangan katakan bahwa orang yang dijodohkan dengan Miho adalah Danny Jo.
Kemudian Danny menoleh ketika si resepsionis menunjuk ke arah Naomi dan Miho. Mata Danny langsung tertuju pada Naomi dan senyumnya pun mengembang. Oh, dear, kenapa ia harus tersenyum seperti itu? pikir Naomi tanpa sadar. Naomi kembali melirik Miho. Tentu saja Miho juga melihat senyum itu. Dan kilatan baru yang dilihatnya di mata Miho menegaskan kecurigaannya.
“Naomi, kenapa kemari?” tanya Danny sambil menghampiri Naomi dengan
langkah lebar. Dan senyum terkutuk itu masih tersungging di bibirnya.
Naomi menyadari kepala Miho berputar cepat ke arahnya. “Kau mengenalnya?” bisik Miho dengan nada heran.
Naomi cepat-cepat berdiri dan memaksa bibirnya tersenyum. “Hai, Danny.”
“Aku baru berencana mengajakmu makan siang bersama nanti,” kata Danny, masih menatap Naomi. “Ternyata kau sudah datang ke sini.”
“Eh, sebenarnya...” Naomi menoleh ke arah Miho yang juga sudah berdiri di
sampingnya. “Ini temanku, dan eh...” Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskan keadaan ini karena ia sendiri masih bingung.
Miho dengan tangkas mengambil alih keadaan. Ia mengulurkan tangan ke arah Danny dan menyunggingkan senyum cerah yang sudah sering ditunjukkannya di depan kamera. “Halo,” katanya lancar. “Aku Miho Nakajima, orang yang meneleponmu tadi pagi.”
Danny menjabat tangannya. “Oh?” Ia juga terlihat agak bingung sementara ia memandang Miho dan Naomi bergantian. “Jadi...”
“Sebenarnya Naomi hanya menemaniku ke sini untuk menemuimu,” Miho menjelaskan dengan lancar. “Aku tidak tahu ternyata kalian berdua saling mengenal. Ini kejutan yang menyenangkan.”
“Rupanya begitu. Ini memang kejutan,” kata Danny sambil mengangguk-
angguk kecil. Lalu ia menyadari sesuatu. “Oh ya, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Danny Jo. Senang berkenalan denganmu. Teman Naomi adalah temanku juga.”
Miho menyodorkan bungkusan yang dipegangnya. “Ini titipan dari ibumu.” “Terima kasih. Aku minta maaf karena sudah merepotkan,” kata Danny.
“Aku sama sekali tidak keberatan.”
Naomi melirik Miho dan harus mencegah dirinya memutar bola matanya. Wajah Miho jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sangat tertarik dengan yang ada di depan matanya.
“Ngomong-ngomong,” kata Danny lagi sambil menatap Naomi dan Miho bergantian, “tadinya aku bermaksud mengajak Naomi makan siang bersama. Bagaimana kalau kau juga ikut dengan kami? Kau sudah berbaik hati membawakan titipan ibuku sampai ke kantorku, paling tidak aku bisa mentraktirmu makan siang.” Ia melirik jam tangannya, lalu menatap Naomi, “Bagaimana kalau kira-kira satu setengah jam lagi?”
“Aku tidak bisa,” sahut Naomi, agak kaget menyadari nada suaranya terdengar ketus. “Ada pekerjaan siang ini.”
Danny mengangkat alis.
Kali ini Naomi menjaga suaranya tetap terkendali dan cepat-cepat menambahkan, “Aku akan makan. Tenang saja. Aku pasti makan. Hanya saja aku tidak akan punya cukup waktu untuk makan siang di luar.”
“Itu bagus,” kata Danny sambil tersenyum kecil. “Aku bebas siang ini,” sela Miho tiba-tiba.
Danny mengalihkan tatapan dan senyumnya dari Naomi dan mengarahkannya
kepada Miho. “Baiklah,” katanya ringan. “Bagaimana kalau satu setengah jam lagi kita bertemu di Covent Garden Piazza? Kita bisa menemukan banyak pilihan di sana.”
“Tentu saja,” sahut Miho.
Kepala Naomi tiba-tiba terasa berdenyut-denyut. Astaga, ada apa lagi dengan dirinya? Ia sudah cukup tidur dan cukup makan. Kenapa kepalanya kembali bermasalah?
Beberapa menit kemudian mereka berdua sudah duduk kembali di dalam VW hijau Miho dan Naomi harus mendengarkan celotehan Miho yang menggebu-gebu. “Ini benar-benar kebetulan, bukan, Naomi?” tanya Miho sambil tertawa. “Ternyata Danny Jo itu temanmu. Dunia memang sempit. Kenapa kau tidak pernah bilang kau punya teman setampan itu?”
Naomi hanya tersenyum dan bergumam tidak jelas.
“Dan apakah sudah kubilang bahwa dia sama persis dengan foto yang kulihat?” lanjut Miho. “Ini benar-benar hebat. Naomi, kau harus menceritakan semua tentang dia kepadaku.”
Naomi menoleh menatap temannya. “Kenapa aku?”
Miho tertawa. “Apakah itu juga perlu ditanya? Kau temannya dan kau tahu lebih banyak tentang dirinya. Sudah jelas kau bisa membantuku.”
Tidak tahu apa yang harus dikatakannya, Naomi kembali tersenyum, lalu
memalingkan wajah ke luar jendela dan mengembuskan napas pelan.
Oh, dear...
-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN
TO BE CONTINUE