Cloud Hosting Indonesia

Cerita Cinta ( Cerber ) : SPRING IN LONDON 9

CERITA BERSAMBUNG
STORY LOVE SPESIAL



SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

SEMUA SERIES

KETIKA pulang malam itu, Naomi menemukan flat dalam keadaan kosong. Chris dan Julie belum pulang. Naomi mendesah dan berjalan ke dapur. Tidak ada Chris berarti tidak ada makan malam. Ia meletakkan tas besarnya ke atas meja dapur dan membuka kulkas. Ia menemukan cottage pie yang sudah dimakan setengah. Entah milik siapa, tapi Naomi tidak peduli. Tidak ada catatan yang tertempel di sana yang menyatakan bahwa cottage pie itu tidak boleh dimakan. Lagi pula Naomi lapar. Ia memasukkan cottage pie ke dalam microwave, lalu meraih tasnya dan masuk ke kamarnya.
Empat puluh menit kemudian ia sudah selesai mandi, keramas, dan duduk di depan televisi di ruang tengah sambil melahap cottage pie-nya. Tayangan berita di televisi tidak berhasil menarik perhatiannya. Pikirannya selalu kembali kepada kejadian siang tadi dan tanpa sadar ia menusuk cottage pie-nya dengan tenaga yang lebih besar daripada yang diperlukan.
Tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi dan lamunannya buyar. Alisnya terangkat ketika membaca nama yang muncul di layar. “Apa?” katanya singkat setelah ponsel ditempelkan ke telinga.
“Kenapa kau marah-marah padaku?”
Waluapun Naomi tidak menyadarinya, tetapi kini hanya mendengar suara Danny saja bisa membuat sudut-sudut bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman. Seperti sekarang.
“Aku tidak marah,” kata Naomi, mencegah senyumnya terdengar dalam
suaranya.
“Kukira kau rindu padaku.”
Naomi mendengus. “Aku sudah pasti tidak rindu padamu.” “Kalau begitu kau mau aku menutup telepon?”
“Kenapa kau meneleponku?”
Danny tertawa, lalu berkata, “Ada yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa? Katakan saja.” “Sekarang kau ada di rumah?” “Mmm.”
“Aku ingin kau melihat ke luar jendela. Ada sesuatu di sana.”
Naomi mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Jangan menakutiku, Danny.” “Tidak, tidak. Justru yang akan kaulihat itu akan membuatmu gembira. Lihatlah
ke luar jendela.”
Noami berdiri dan berjalan ke jendela. “Apa yang harus kulihat?” tanyanya sambil menyibakkan tirai dan mendongak menatap langit gelap di atas sana. Tetapi tidak terlihat apa pun. Bintang pun tidak ada. “Tidak ada apa-apa, Danny. Memangnya menurutmu langit yang hitam bisa membuatku gembira?”
“Itu karena kau melihat ke arah yang salah,” kata Danny. “Apa?”
“Lihat ke bawah.”
Naomi menunduk menatap jalan di bawah sana dan matanya langsung melebar melihat Danny berdiri di trotoar di depan gedung flatnya. “Oh, dear,” gumamnya tanpa sadar.
Danny tersenyum lebar dan mengangkat tangannya yang tidak memegang
ponsel. “Halo. Kau gembira melihatku, bukan?” katanya.
Naomi mendesah berat, namun ia tidak bisa mencegah dirinya tersenyum.
“Danny Jo, sedang apa kau di situ?” “Temanmu ada di rumah?” tanya Danny. “Tidak. Mereka belum pulang.”
“Kalau begitu kau bisa turun sebentar?”
Naomi tahu kenapa Danny tidak memilih naik ke flatnya. Walaupun mereka berteman baik dan Naomi tidak menganggap Danny sama dengan laki-laki lain, sepertinya Danny tahu Naomi masih merasa tidak nyaman apabila berdua saja dengannya di dalam ruangan tertutup. “Tunggu di sana,” kata Naomi ke ponselnya. “Aku akan segera turun.”
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di ayunan di taman bermain anak- anak yang tidak jauh dari flatnya. Danny merogoh saku jaketnya dan mengulurkan sehelai saputangan kepada Naomi. “Aku datang ke sini untuk mengembalikan ini,” katanya.
Naomi menerimanya dengan kening berkerut heran. “Ini bukan milikku.”
“Memang bukan. Itu milik temanmu, Miho,” kata Danny. “Dia meninggal-
kannya ketika kami makan siang tadi.”
Naomi mengeluarkan suara yang terdengar seperti dengusan dan tawa pendek.
“Aku tidak percaya ini. Dia memakai taktik saputangan,” gumamnya lirih. “Apa katamu?”
“Tidak apa-apa,” kata Naomi cepat. “Lalu kenapa kau tidak mengembalikannya sendiri kepadanya? Aku yakin itu yang diinginkannya.”
“Aku pasti sudah melakukannya kalau aku tidak menghilangkan nomor teleponnya,” sahut Danny ringan.
Naomi berdeham pelan. “Makan siang kalian menyenangkan?” Danny mengangguk. “Tentu saja.”
“Aku yakin begitu,” kata Naomi, tidak sanggup menyingkirkan nada tajam dalam suaranya. Lalu ia melirik Danny dan menambahkan, “Ngomong-ngomong, dia juga tertarik padamu.”
“Oh ya?”
“Dia mencekokiku dengan ratusan pertanyaan tentangmu setelah kami bertemu denganmu tadi,” sahut Naomi. “Aku yakin dia pasti ingin kau sendiri yang mengembalikan saputangan ini kepadanya. Dia pasti berharap kau meneleponnya. Bagaimanapun juga, dia sudah memberikan nomor teleponnya kepadamu.”
Danny menoleh menatapnya dan tersenyum. “Menurutmu begitu? Benar juga. Mungkin aku harus mencari nomor teleponnya lagi. Mungkin aku memang harus mengembalikan saputangan itu sendiri kepadanya.”
Tetapi Naomi tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan melepaskan saputangan yang dipegangnya.
“Apa pendapatmu tentang Miho?” tanya Naomi, tidak bisa menahan diri. “Temanmu orang yang menyenangkan,” sahut Danny ringan. “Cantik, ramah,
lucu, dan tidak pernah kehabisan bahan obrolan.”
Naomi memberengut ke arah saputangan dalam cengkeramannya. “Bisa dibilang dia benar-benar tipeku,” tambah Danny. “Tapi...” Naomi meliriknya. “Tapi apa?”
Danny mengangkat bahu. “Entah tipe seperti itu tidak lagi menarik minatku,” katanya terus terang. Lalu ia menatap Naomi dan berkata, “Kurasa sekarang ini aku menginginkan sesuatu yang dulunya bukan tipeku.”
Naomi tidak mengerti. Jadi ia hanya balas menatap Danny tanpa berkata apa-
apa.


Sedetik kemudian Danny mendesah dan merogoh saku bagian dalam jaketnya.
“Ini alasan kedua aku datang ke sini,” katanya sambil mengacungkan sekeping CD
dalam kotak bening.
“Apa itu?”
“Video musik kita waktu itu. Ini hasil akhirnya. Kukira kau pasti ingin melihatnya.”
“Benarkah?” Senyum Naomi mengembang. “Kau sudah melihatnya?” Danny mengangguk. “Tentu saja. Penampilanmu hebat.”
Naomi menatap CD itu, lalu menoleh ke arah Danny. Ia ragu sejenak, lalu
bertanya, “Kau mau melihatnya bersamaku? Di flatku?”
Danny balas menatapnya. “Kau yakin?” Naomi tersenyum dan mengangguk. “Ya.”


* * *


“Naomi, apakah itu kau?” Suara pria berlogat Skotlandia itu langsung menyambut
mereka begitu mereka memasuki flat. Alis Danny berkerut. Suara laki-laki?
“Ya, ini aku,” Naomi balas berseru.
“Sayang, apakah kau yang menghabiskan cottage pie yang kusimpan di dalam
kulkas?” tanya suara itu lagi, yang sepertinya berasal dari arah dapur.
“Itu Chris,” kata Naomi kepada Danny.
Chris? Tapi... Sebelah alis Danny terangkat dan ia menoleh menatap Naomi.
“Sayang?” gumamnya pelan.
Naomi mengerjap. “Ah, itu...”
Namun sebelum Naomi sempat menjelaskan, seorang laki-laki bertubuh ramping, jangkung dan berambut gelap muncul dari dapur. “Lass, apakah kau yang menghabiskan cottage pie—oh!” Kata-katanya terhenti ketika ia menyadari bahwa mereka kedatangan tamu.
Naomi buru-buru memperkenalkan mereka. “Chris, perkenalkan ini Danny. Danny, ini teman satu flatku yang lain, Chris.”
“Danny? Danny yang itu?” kata Chris sambil menatap Danny dengan mata birunya yang berkilat-kilat. Senyumnya mengembang dan ia menjabat tangan Danny. “Senang sekali akhirnya bertemu denganmu. Aku sudah mendengar banyak cerita tentang dirimu. Biar kukatakan padamu, kau sama persis seperti yang mereka gambarkan padaku. Ayo, masuklah. Kau mau minum? Sudah makan malam? Oh, naomi, lupakan saja soal cottage pie itu. Kau boleh makan apa pun sesuka hatimu.”
“Sebenarnya Danny datang ke sini untuk menunjukkan video musik yang kami kerjakan beberapa minggu yang lalu,” kata Naomi.
“Oh, video musik itu?” tanya Chris sambil bertepuk tangan. “Boleh aku ikut
menonton?”
“Tentu saja,” sahut Danny ringan.
Tepat pada saat itu pintu terbuka dan seorang gadis berambut merah dan bermata hijau melangkah masuk. “Halo? Kenapa kalian semua berkerumun di belakang pintu? Oh, rupanya ada tamu.”
Danny ingat gadis itu. Kalau tidak salah namanya Julie, teman Naomi yang pernah dijumpainya di taman beberapa minggu yang lalu.
Naomi kembali memperkenalkan mereka. “Julie, masih ingat Danny? Danny, ini
Julie.”
“Kami akan menonton video musik yang mereka bintangi bersama,” sela Chris
sementara Julie dan Danny bertukar sapa.
“Oh, bagus. Aku juga ingin ikut menonton,” kata Julie.
“Ayo, semuanya pindah ke ruang duduk,” seru Chris sambil menggiring mereka ke ruang duduk yang kecil dan nyaman. “Sepertinya masih ada anggur merah yang tersisa. Tunggu, akan kuambilkan. Dan juga masih ada sherry trifle yang kubuat kemarin. Julie, Sayang, kau bisa membantuku di dapur? Biar Naomi saja yang menemani tamu kita sebentar.”
Danny tersenyum mengamati kedua teman satu flat Naomi keluar dari ruang duduk dan berjalan ke dapur sambil terus mengobrol. Ia menduga suasana di flat ini tidak pernah sepi. Dan ia menyukai kenyataan itu. Flat yang nyaman dan teman- teman yang ramah.
Naomi menoleh kepada Danny dan tersenyum meminta maaf. “Mereka agak berisik, bukan?”
Danny tertawa, lalu berkata, “Aku sama sekali tidak keberatan. Kau punya
teman-teman yang luar biasa. Aku iri padamu.” Dan itu memang benar. “Kau boleh mengambil mereka dari sini kapan saja,” gurau Naomi.
“Ngomong-ngomong, kau tidak pernah bilang bahwa teman satu flatmu ternyata laki-laki,” kata Danny, tiba-tiba teringat pada persoalan yang mengganggunya sejak ia masuk ke flat ini.
Naomi memiringkan kepala dan berpikir-pikir. “Aku yakin aku pernah
menyebut-nyebut soal Chris.”
“Memang. Tapi kau hanya bilang bahwa kau punya dua teman yang tinggal satu flat denganmu. Julie dan Chris. Kukira Chris itu wanita,” kata Danny. Ia ragu sejenak, lalu bertanya, “Apakah dia...?”
“Ya, dia gay,” sahut Naomi, langsung tahu apa maksud Danny. Namun matanya menyipit ketika menatap Danny. “Tapi kuharap kau tidak mempermasa- lahkan kenyataan itu.”
Danny menggeleng. “Tidak, sama sekali tidak. Mungkin kau tidak percaya, tapi
aku senang dia gay.”
Alis Naomi berkerut bingung, namun ia tersenyum.
Tetapi apa yang dikatakan Danny tadi benar. Karena ia yakin wanita man pun ingin tenggelam dalam mata biru Chris. Bahkan mungkin Naomi juga akan mengakuinya. Oh, sialan, jangan-jangan...
“Apakah kau juga tertarik pada mata birunya?” tanya Danny tiba-tiba sambil menatap Naomi lurus-lurus. Ia sadar pertanyaannya terdengar aneh dan tidak berhubungan, tetapi ia sungguh tidak bisa menahan diri.
Kali ini Naomi tertawa. “Apa maksudmu?”
“Maksudku, apakah kau berharap dia bukan gay?” tanya Danny, lalu merasa pertanyaannya semakin aneh. “Maksudku, apakah kau merasakan sesuatu... Oh, sialan. Lupakan saja kata-kataku. Aku sendiri tidak mengerti apa yang ingin kukatakan.”
Hening sejenak sementara Danny mengomeli ketololannya sendiri. Sesaat
kemudian Naomi memecah keheningan. “Tidak,” katanya.
Danny kembali menoleh kepadanya. “Apa?”
Naomi tersenyum kecil. “Jawaban untuk pertanyaanmu,” sahutnya. “Apakah aku tertarik pada mata birunya? Tidak.”
Danny menatap mata Naomi dan ia merasa dirinyalah yang mulai tenggelam
dalam mata hitam itu. “Oh,” gumamnya tidak jelas.
“Apakah aku berharap dia bukan gay?” Naomi mengulangi pertanyaan Danny tadi, lalu menjawab sendiri, “Tidak.”
Saat itu, suara Naomi seolah-olah menyihirnya. Danny tidak bisa melakukan apa-apa selain menatap gadis yang duduk di sampingnya di sofa di ruang duduk kecil itu dan mendengarkan setiap patah katanya. Ia juga sadar bahwa ia menahan napas.
Naomi kembali melanjutkan, “Apakah aku merasakan sesuatu...?” Ia menatap
Danny dengan mata berkilat-kilat tertawa. “Ya.”
Apa? Apa? Danny merasa jantungnya seolah-olah jatuh ke lantai. Oh, sialan. Namun sebelum Danny sadar sepenuhnya, atau sebelum ia sempat mencerna
kata-kata Naomi, atau sebelum perasaan aneh itu mulai mengacaukan otak dan
indranya, ia mendengar suara Chris yang lantang dan ceria, “Siapa yang mau sherry trifle?”

-----------------------------------------
SPRING IN LONDON SERIES
BY ILANA TAN

TO BE CONTINUE

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama
Website Instan