PACARKU JUNIORKU
Karya
VALLERIA VERAWATI
Chapter 1
RONALD berdiri di samping Bia sambil menyisir rambutnya yang berdiri kayak duri landak dengan jari-jarinya.
"Bi, pokoknya kalo anak-anak baru itu udah pada datang, lo mesti ngeluarin
seluruh kemampuan lo buat bikin mereka takut," ujarnya bak perwira yang sedang
memerintah anak buahnya.
"Iya, gue tahu," respons Bia singkat. Cewek bertubuh mungil itu berdiri tegak
sambil celingak-celinguk memerhatikan gerbang sekolah.
Udara pagi itu masih terasa agak lembap. Jalanan masih basah bekas diguyur
hujan subuh tadi. Tapi beberapa anak yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra
Sekolah SMA Constantine 4 udah pada kumpul di sekolah sejak jam 06.00 dengan
semangat ‟45. Nggak ada seorang pun yang pasang tampang lemas. Apalagi Baby
Fania, yang lebih beken dengan panggilan "Bia" (padahal itu nama kecilnya loh!),
cewek mungil berambut pendek yang udah hampir setahun ini memegang jabatan ketua OSIS. Dia udah tiba di sekolah sejak jam 05.30, waktu hujan masih dengan
riangnya menyiram tanah pertiwi dan gerbang sekolah belum dibuka oleh Pak
Kosim, si penjaga sekolah.
Hari ini adalah hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) buat anak-anak kelas
1 yang untuk pertama kali mengenakan seragam putih abu-abunya. MOS ini
sebenarnya diciptakan untuk mengakrabkan para guru dengan siswa baru, kakak-
kakak kelas dengan junior-juniornya, juga sarana untuk memperkenalkan siswa
baru pada lingkungan sekolah dan program-program sekolah. Tapi bagi beberapa
anggota OSIS, terkadang MOS disalahgunakan. Di balik tujuan baik
penyelenggaraan MOS ini sering kali ada maksud terselubung, yaitu balas dendam.
Sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa selama MOS yang diadakan tiga hari ini, para anggota OSIS punya wewenang untuk "mengatur" adik-adik kelas
mereka yang baru. Katanya sih biar para siswa baru itu punya mental kuat untuk
menghadapi kerasnya dunia SMA kelak, juga biar mereka bisa menanggalkan sifat
manja yang masih mereka bawa dari lingkungan SMP. Tapi sebenarnya tetap saja
balas dendam menjadi tujuan utama para senior ini. Apalagi buat yang sudah
duduk di kelas 3, MOS kali ini kan merupakan MOS terakhir buat mereka. Kapan lagi punya kesempatan bentak-bentak dan ngerjain orang tanpa perlu takut dibalas?
"Eh, Ron, anak-anak udah pada siap di posisi masing-masing?" tanya Bia.
Ronald menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Lo tenang aja, semua udah
stand by di tempat masing-masing."
Bia manggut-manggut. Kepalanya masih sibuk bergerak dan matanya terus memantau gerbang sekolah tanpa berkedip.
"Itu mangsa kita udah datang!" seru Bia senang. Bibirnya merekah
memperlihatkan gigi kelinci yang nangkring di gusinya.
"Mana... mana...?" Ronald maju beberapa langkah sambil melihat ke arah
gerbang sekolah. "Iya... benar. Mereka udah datang."
"Siapa aja yang bertugas menjaga gerbang dan memeriksa kelengkapan atribut anak-anak baru itu?" tanya Bia.
"Mmm... Sonny, Leon, Maya, Tania... sama satu lagi... si Victor."
Bia tersenyum puas. Lima orang yang baru saja disebut Ronald adalah anak
buah kesayangannya. Soalnya selain bertampang sangar, mereka juga tegas,
bermulut pedas, dan pantang disogok. Bia yakin lima orang itu akan melaksanakan
tugas mereka dengan sangat baik.
---
"Woi, jalannya lelet banget sih? Keturunan siput semua, ya?!" Tania meneriaki segerombolan anak yang berjalan kaki ke arah gerbang sekolah.
Penampilan anak-anak itu terlihat sangat unik. Mereka memakai topi yang
terbuat dari batok kelapa yang dibelah menjadi dua dengan warna yang berbeda-
beda. Di atas batok kelapa itu ditempeli bulu-bulu ayam yang disusun berjajar
sehingga membentuk kipas. Selain itu mereka juga mengenakan kalung dari jengkol
dan pada kalung itu digantung karton putih yang bertuliskan nama julukan mereka.
Buat siswa perempuan, rambut mereka dikucir kecil-kecil dan diikat pita berwarna
senada dengan topi mereka. Tas yang menggantung di punggung terbuat dari
sarung bantal yang nggak tahu gimana caranya bisa disulap jadi ransel. Benar-benar
pemandangan yang begitu menarik perhatian. Lucu banget!
"Woi, anak siput! Kalau dalam hitungan ketiga kalian belum juga sampai di
hadapan saya, saya suruh kalian lompat kodok dari situ!" ancam Leon.
"Satu...!" Leon mulai menghitung.
Gerombolan anak-anak itu bergegas berlari menuju kakak-kakak kelas mereka
dengan wajah ketakutan.
"Tiga...! Cepat lompat kodok semuanya!" bentak Leon.
Para siswa baru itu pada bengong. Perasaan tadi baru hitungan kesatu, kok sekarang udah tiga. Duanya dikemanain? Bukannya tetap berlari, mereka malah
berhenti dan pasang tampang blo‟on.
"Kalian ngerti lompat kodok nggak sih? Cepat lompat kodok dari situ!" Sonny
ikut bentak-bentak.
Suara dan tampang Sonny yang nyeremin bikin anak-anak baru itu langsung
jongkok dan mulai melompat kayak kodok. Mereka meletakkan kedua tangan di
belakang kepala dan mulai melompat dengan kedua kaki.
"Semuanya lompat sambil ikutin nyanyian saya ya! Harus yang keras!" perintah
Maya yang berdiri di depan barisan anak-anak yang mulai melompat.
Maya memimpin barisan sambil bernyanyi, "Kodok ngorek kodok ngorek... ngorek di
pinggir kali. Teot tet blung teot tet blung... teot teot tet blung."
Anak-anak yang melompat di belakangnya ikut bernyanyi mengikuti Maya. Warga yang tinggal di sekitar gedung sekolah serentak keluar dari rumah masing-
masing karena mendengar keramaian yang terasa sangat aneh. Para pengguna jalan
juga berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu. Sebagian besar dari
mereka tersenyum dan berusaha mengulum tawa, tapi ada juga sekelompok ibu-ibu
yang mengumpat karena merasa kegiatan ini konyol dan nggak ada gunanya.
Namun apa mau dikata, ini kan tradisi turun-temurun. Lagi pula tradisi ini,
walaupun kelihatannya agak kejam, nggak pernah sampai menimbulkan korban
jiwa kok. Malah biasanya membawa keuntungan tersendiri. Misalnya, pernah ada
orangtua murid yang datang ke sekolah untuk berterima kasih, karena anak mereka
yang pemalu dan pendiam, setelah digojlok lewat program MOS selama tiga hari, anak itu malah bisa lebih terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang
baru.
Dan efek positif yang lain, selesai MOS, anak-anak baru bisa langsung akrab
dengan kakak kelas. Malah terkadang ada yang terlibat cinlok alias cinta lokasi.
Makanya sampai sekarang, di saat tradisi MOS mulai dihapus di beberapa sekolah,
SMA Constantine 4 tetap mempertahankannya.
"Nyanyinya yang keras dong! Mana suaranya!" bentak Tania. "Yang udah
sampai di hadapan kakak yang rambutnya jabrik itu langsung berdiri dan buat
barisan."
Sonny, yang tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud Tania, langsung mengambil
posisi dan mengatur beberapa anak yang sudah sampai di hadapannya.
"Kalian yang baru datang, langsung lompat kodok dan ikutan nyanyi!" seru
Sonny kepada sekelompok anak yang baru saja tiba.
"Hei! Kamu ngapain lompat kayak gitu?" tegur Victor dengan mata melotot ke
arah seorang cowok yang sedang asyik melompat dengan kedua tangan terjulur ke
depan, bukan di belakang kepala.
"Saya, Kak?" tanya cowok itu dengan tampang heran.
"Iya, kamu!" Victor membaca karton nama yang menggantung di leher anak baru itu. "KATRO, ke sini kamu!" ujar Victor ketus.
"Lho, salah saya apa, Kak?" tanya cowok itu.
"Berdiri kamu, dan ikut saya!" perintah Victor.
Cowok itu menurut dan mengikuti Victor keluar dari kelompoknya.
"Kamu nggak tau cara lompat kodok, ya?" tanya Victor berusaha sabar begitu
berhadapan dengan anak baru itu.
"Tau, Kak. Bahkan saya pernah melakukan observasi khusus pada kodok-kodok
yang sering numpang nginep di kolam ikan rumah saya."
"Saya nggak minta kamu melucu! Kamu mau sok jagoan, ya?" Victor mulai
kehilangan kesabaran.
"Saya kan cuma melakukan observasi aja, Kak. Kok dibilang sok jagoan sih? Emang sihs aya kurang kerjaan. Tapi saya sama sekali nggak ada maksud untuk sok
jagoan kok. Nah, kebetulan tadi saya disuruh lompat kodok, ya saya terapkan aja
hasil observasi saya itu. Soalnya, menurut hasil observasi saya, kodok tuh melompat
dengan menggunakan keempat kakinya. Kedua kaki depannya bukan ditaruh di
belakang kepala kayak teman-teman saya. Mereka salah, Kak. Yang benar ya kedua
tangan kita juga harus digunakan untuk melompat supaya mirip kodok. Makanya
saya melompat seperti itu. Kan disuruhnya lompat kodok," cowok itu menjelaskan
dengan tampang serius.
Victor menarik napas panjang. Dia agak bingung. Sebenarnya nih cowok
memang bermaksud melawan atau memang agak tulalit. Soalnya kalau dilihat dari
tampang innocent-nya, cowok ini tampaknya sama sekali nggak ada niat untuk
memberontak. Victor berpikir sejenak, dan ia merasa ada baiknya kalau nih anak aneh langsung diserahkan aja ke Bia daripada dia salah mengambil keputusan.
"Kamu ikut saya!" perintah Victor.
"Ke mana, Kak? Saya jangan diapa-apain, ya. Nanti mama saya marah kalau
saya melakukan hal yang berlawanan dengan agama. Lagi pula kalo boleh jujur,
saya masih suka sama cewek, Kak," kata cowok itu dengan tampang memelas.
Victor melotot memandang cowok aneh yang berdiri di hadapannya. "Lo pikir
gue cowok apaan?"
"Iih, Kakak... Gitu aja kok marah sih?"
Victor benar-benar nggak tahan. Tangannya terkepal menahan marah. Dia
langsung berbalik lagi dan berjalan menuju pos yang ditempati Bia dan Ronald selaku dewan pengadilan yang bertugas mengatur anak-anak aneh yang suka
melanggar aturan MOS.
Si cowok aneh itu berjalan di belakang Victor, tetap dengan wajah tanpa dosa.
"Bi, ada pasien buat lo nih! Namanya Katro!" ujar Victor kesal ketika sudah
sampai di pos Bia.
Cowok aneh itu berdiri agak jauh dari tempat Bia, Ronald, dan Victor. Tapi tatapan tajamnya lurus ke arah Bia. Senyumnya merekah dan memperlihatkan
lesung pipi di pipi kirinya.
"Apa kasusnya?" tanya Ronald.
"Anak aneh," jawab Victor singkat. "Cocok banget sama julukannya."
Bia menatap cowok yang berdiri nggak jauh dari hadapannya. Anak aneh? Apa
yang aneh dari cowok itu? Bahkan menurut Bia, tampangnya oke kok. Badannya
yang tinggi dan tegap bikin tu cowok jadi kelihatan keren. Mukanya yang rada
oriental mengingatkan Bia pada bintang film kesayangan Mama, si Hua Ce Lei itu
tuh. Bia yakin banget, nggak lama lagi nih cowok pasti bakal jadi salah satu idola sekolah. Tampangnya innocent banget, apalagi senyumnya itu. Tapi entah kenapa,
Bia merasa wajah cowok itu mirip dengan orang yang dikenalnya. Mm... siapa ya?
"Memangnya dia bikin salah apa, Tor, sampai lo bilang dia anak aneh?" tanya
Bia heran. "Apa atribut yang dipakainya nggak lengkap?"
"Kalau soal atribut sih gue nggak tau ya, soalnya gue sama sekali belum
periksa," jelas Victor. "Tapi yang pasti gue serahin dia ke elo karena dia... asli
banget... orang aneh."
"Apanya yang aneh sih?" Ronald penasaran.
"Lo tanya aja sendiri," kata Victor. "Gue mau balik ke pos gue."
Ronald dan Bia berpandangan heran. Victor berjalan menjauh dan kembali
bergabung dengan timnya yang sedang berteriak-teriak ke arah anak-anak baru.
Ronald menatap "cowok aneh" yang masih berdiri di tempatnya tadi, lalu
memanggilnya, "Heh, Katro, cepat ke sini!"
Cowok itu celingak-celinguk ke kanan dan kiri, lalu kembali menatap Ronald
sambil menunjuk dirinya sendiri. Ia seperti hendak memastikan bahwa memang dia
yang dipanggil Ronald barusan.
"Iya, kamu. Memang kamu kira siapa lagi? Baca dong papan nama di dada
kamu!" Ronald jadi agak sewot.
Cowok itu berjalan mendekati Ronald dan Bia.
"Kamu tahu kenapa kamu dibawa menghadap kami?" tanya Ronald begitu
cowok itu udah berdiri di hadapannya.
"Mm... awalnya sih saya kira kakak yang tadi itu naksir sama saya dan punya
maksud jelek sama saya, tapi sekarang saya sadar...," jawab cowok itu menggantung
kalimatnya.
"Sadar apaan?" tanya Bia tegas.
"Saya sadar... bahwa kakak tadi ternyata hanya ingin mengantar saya untuk
bertemu dengan bidadari yang selama ini saya cari... yang selama ini selalu hadir
dalam setiap mimpi-mimpi saya. Dan sekarang bidadari itu sudah berdiri tepat di
hadapan saya," jawab cowok itu enteng. Ia terus menatap Bia dengan sorot memuja.
"Terima kasih atas pujiannya, tapi sayang banget, saya nggak mempan sama rayuan gombal. Kamu harus tahu, ini bukan tempat pelatihan buat pelawak atau
badut. Kalau kamu mau jadi pelawak atau badut, kamu salah tempat. Kamu mesti
bilang sama orangtua kamu untuk segera memindahkan kamu dari sekolah ini.
Sekolah ini nggak butuh manusia konyol kayak kamu!" jelas Bia dengan nada pedas.
"Saya nggak pernah berminat jadi badut atau pelawak, Kak. Saya cuma ingin
jadi... pacar Kakak."
"kamu kira kamu itu lucu, apa?!" bentak Bia.
"Sama sekali nggak lucu, Kak, tapi ada juga sih orang yang bilang kalau saya
lucu dan manis," jawab cowok itu sambil tetap tersenyum manis.
"Kalau begitu, orang-orang yang menganggap kamu lucu itu adalah manusia-
manusia katro kayak kamu!" maki Bia.
"Wah, kalau itu sih saya nggak tahu, Kak."
"Udah, Bi... periksa perlengkapannya aja dulu," saran Ronald.
Bia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Benar kata Victor, cowok
di hadapannya ini aneh. Bia juga nggak tahu apakah cowok itu bermaksud cari-cari
masalah atau bukan. Semua masih nggak jelas.
"Keluarin semua perlengkapan yang harus kamu bawa hari ini!" perintah
Ronald.
Cowok itu menurut. Dia mengeluarkan berbagai macam barang dari dalam
tasnya. Ronald mulai memeriksanya satu per satu. Semuanya lengkap, nggak ada
yang kurang.
"Tunggu dulu! Kalung apa yang kamu pakai itu?" tanya Bia sambil menunjuk kalung yang menggantung di leher cowok itu. "Bukannya yang disuruh itu kalung
dari jengkol?"
"Oh... begini, Kak, ceritanya. Saya udah suruh pembantu saya beli jengkol buat
dibikin kalung. Tapi dia salah pengertian. Dia kira saya lagi pengin makan semur
jengkol. Jadinya jengkolnya dimasak deh sama dia. Tapi saya nggak bisa marah,
soalnya semur jengkol buata pembantu saya itu emang enak banget. Berhubung
yang ada di rumah tinggal pete, ya udah saya bikin aja dari pete. Gitu Kak
ceritanya."
Ronald berdiri di samping Bia sambil berusaha mengulum tawa. Gaya bicara si Katro ini memang asli lucu. Mimik mukanya yang innocent bikin orang yang
mendengar ceritanya mau nggak mau jadi percaya. Tapi itu nggak berlaku buat Bia.
"Kamu pikir saya percaya sama cerita kamu itu?" tanya Bia.
"Harus percaya, Kak, karena saya memang jujur kok. Apa muka saya kayak
muka penipu? Nggak, kan? Kalau mau, Kakak boleh tanya sama pembantu saya di
rumah... atau saya suruh dia bikin semur jengkol lagi buat Kakak. Saya yakin, kalau
Kakak udah mencicipinya sedikit saja, Kakak juga nggak akan bisa marah sama
pembantu saya itu."
"Saya nggak peduli dan jangan coba-coba mempermainkan saya...! Sekarang
juga saya minta kamu push-up tiga puluh kali!" perintah Bia.
"Push-up, Kak?" tanya cowok itu.
"Iya. Cepat!" bentak Bia. Suaranya yang keras membuat semua mata
memandang ke arahnya.
Cowok itu tersenyum manis lalu berkata, "Kalau Kakak yang suruh, apa pun
akan saya lakukan." Dia meletakkan tasnya di tanah dan mulai mengambil posisi
push-up. Lalu perlahan dia mulai push-up di bawah hitungan Bia.
----
"Oke, semuanya!" perintah Sonny yang menempatkan diri di tengah aula. "Bikin
lingkaran besar!"
Anak-anak baru itu mulai bergerak dan membuat lingkaran sesuai perintah
senior mereka.
"Woi, pada tau lingkaran besar nggak sih!" bentak Victor. "Atau masih kayak
anak TK, bikin lingkarannya harus sambil pakai nyanyian baru ngerti?!"
"Yang di sana!" seru Ronald, "bikin lingkaran besar ya, bukan malah ngumpul
dan ngobrol sendiri!"
Teriakan demi teriakan bergema di seluruh aula. Seandainya saja boleh, anak-
anak kelas satu itu pasti akan sangat berterima kasih bila diizinkan menyumpal
telinga mereka dengan kapas. Padahal mereka udah sebisa mungkin melaksanakan
perintah kakak-kakak senior itu dengan baik. Tapi tetap aja ada yang salah.
"Kamu yang kecil kayak tuyul!" teriak Leon. "Jangan malah mendem di pojok.
Nanti kalau kamu ilang digondol jin bisa bikin repot, tau!"
Tawa anak-anak meledak.
"Siapa yang suruh ketawa!" bentak Maya. "Keterlaluan sekali kalian, ngetawain
teman sendiri!"
Aula mendadak sunyi senyap. Nggak ada yang berani bersuara apalagi ketawa.
"Oke, sekarang semuanya dengar baik-baik!" suara Tania memecah keheningan.
"Tadi pagi kalian telah diminta untuk mengumpulkan surat cinta dan surat benci
untuk kakak senior kalian kepada wali kelas masing-masing....
"Tapi ada satu surat yang rasanya aneh dan saya mau pengirim surat itu maju
ke tengah lingkaran," lanjut Tania. "Juventus Egi dari kelas 1 D."
Cowok yang namanya disebut itu celingak-celinguk nggak jelas. Dan setelah
tubuhnya didorong oleh teman-temannya, dia pun maju ke tengah lingkaran.
"Kamu yang namanya Juventus Egi?" tanya Tania begitu Egi sudah berdiri di
hadapannya.
"Iya, Kak," jawab cowok itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala.
"Kenapa kamu garuk-garuk kepala?" tanya Tania ketus. "Ketombean, atau
memang kamu keturunan monyet?"
Weits, kasar!
"Ih, Kakak kok ngomongnya gitu sih?" jawab Egi. "Saya kan cuma sedikit
salting karena harus berdiri di tengah-tengah orang banyak gini. Kesannya kayak
lagi jumpa fans gitu deh. Mmm... Kakak mau minta tanda tangan saya?"
Anak-anak kembali tertawa.
"Diam semuanya!" bentak Sonny.
Ruangan kembali hening.
Leon maju mendekati Egi. "Lo mau ngelawan ya?!"
Egi menggeleng sambil tersenyum.
Ronald buru-buru menarik Leon. Dia nggak mau sampai terjadi keributan.
"Sabar, Yon, dia emang rada aneh. Cocok sama nama julukannya: Katro. Tadi dia habis kena hukuman push-up lagi dari Bia. Tapi kelihatannya dia nggak berniat
melawan kok."
Leon menurut meski dengan setengah hati.
Kali ini giliran Maya yang maju dan mendekati Egi dengan sepucuk surat di
tangannya.
"Dengar baik-baik, Juventus Egi!" seru Maya. "Kamu diperintahkan untuk
menulis surat cinta dan surat benci. Tapi kenapa yang kamu kumpulkan cuma satu
surat doang?"
"Ooo... itu karena di dalamnya udah lengkap terdapat ungkapan cinta dan
ungkapan benci untuk bidadari yang telah menawan hati saya."
"Oke kalau begitu," kata Maya. "Sekarang saya minta kamu bacakan surat yang
udah kamu tulis ini dengan suara lantang."
Semua pengurus OSIS yang berkumpul di tengah lingkaran bertepuk tangan
dan berteriak riuh. Cuma Bia yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan
dada dan tampangnya manyun luar biasa.
"Tapi, Kak, surat ini nggak bisa saya bacakan," sahut Egi.
"Kenapa?" Maya bertanya. "Kamu malu?"
"Bukan, Kak," jawab Egi. "Tapi surat ini harus dinyanyikan."
"Dinyanyikan?" Maya jadi heran.
Egi mengangguk. "Karena surat ini adalah lagu cinta. Jadi akan menjadi lebih
indah dan bermakna apabila dinyanyikan."
"Kalau begitu ya nyanyikan aja," celetuk Tania.
"Mmm... boleh nggak kalau saya menyanyikannya sambil memainkan piano
itu?" Egi meminta izin sambil menunjuk ke arah piano yang ada di depan aula.
Piano itu memang selalu berada di situ. Biasanya sih digunakan saat ada acara-
acara sekolah yang membutuhkan iringan musik.
"Boleh aja kalau kamu memang bisa," jawab Tania.
Egi tersenyum lalu berjalan mendekati piano itu. Dia duduk dan membuka tutup piano, lalu menempatkan jemarinya di atas deretan tuts berwarna hitam dan
putih itu.
Beberapa anggota OSIS berjalan mendekat dan memasang mikrofon di dekat
piano. Mereka juga memberikan mikrofon kecil yang kemudian dipasang di kerah
baju Egi agar suara Egi dapat terdengar ke seluruh sudut aula.
"Tes... tes... satu dua tiga...," Egi mencoba mikrofonnya. "Oke, lagu sederhana
ini saya persembahkan kepada seorang gadis yang telah membuat saya jatuh cinta.
Baby Fania alias Kak Bia."
Tepuk tangan memenuhi aula. Ada yang berteriak, ada yang bersiul, bahkan
ada yang melompat-lompat nggak jelas.
Bia merengut kesal. Dia beranjak hendak meninggalkan aula, tapi teman- temannya langsung mencegat langkahnya. Bia pun mengurungkan niatnya. Dia
cuma bisa berdiri diam dengan tampang jutek. Jelas banget niat teman-temannya
pengin ngerjain dia. Soalnya, di antara surat-surat yang diterima wali kelas satu,
cuma ada satu surat cinta yang ditujukan untuk Bia. Ya surat dari Egi ini. Selebihnya
Bia cuma menerima setumpuk surat benci.
Selama MOS berlangsung, Bia menjadi senior yang paling ditakuti. Dia nggak
terlalu suka ngomel atau ngebentak-bentak, tapi kalau udah bersuara nyeremin
banget. Dia juga yang paling tega ngasih hukuman lari sepuluh kali keliling
lapangan. Kalau ngomong pedesnya minta ampun. Dan sorot matanya itu lho, tajam
banget. Nggak ada satu pun junior yang nggak disiplin bisa lolos dari cengkeraman
Bia. Bagi Bia, nggak ada tuh yang namanya kompromi. Senior lain sih ada juga yang galak, tapi nggak ada yang semenakutkan Bia.
Nada-nada yang mengalun dari piano membuat semua orang terdiam. Egi
memainkan jemarinya di atas piano sambil tersenyum menatap Bia. Bia buang
muka. Tapi Egi tetap menatapnya, melantunkan lagu cinta dari bibirnya.
Ketika pagi datang
Ku tak pernah mengira Kan bertemu denganmu
Di depan sekolahku
Jantungku pun berdetak
Sungguh sangat cepatnya
Dan ku tahu ku tlah jatuh cinta
Ketika malam datang Sepi yang kurasakan
Tanpamu di sisiku
Galau selimuti kalbu
Ingin ku membencimu
Karna kaucuri hatiku
Dan buatku tergila-gila
Tuk mencintaimu
Reff :
Percayalah sayangku
Kan kubawa kau ke surga
Ku berjanji padamu
Takkan meninggalkanmu
Meskipun dunia tak inginkan dirimu
Ku akan slalu di sisimu
Tepuk tangan membahana di seluruh sudut aula. Sorakan riuh rendah menutup
pertunjukan singkat Egi. Egi berdiri dan berjalan ke sisi kanan piano. Sambil
tersenyum lebar dia membungkukkan badannya berulang kali layaknya selebriti
yang habis ngadain konser. Ia melambaikan tangannya dan meniupkan ciuman ke
sekelilingnya. Gelak tawa, sorakan, siulan, dan tepuk tangan terus mengalir.
"Diam semuanya!" bentakan Bia yang tiba-tiba membuat seisi aula mendadak
hening. Anak-anak terdiam karena kaget.
Tania mendekati Bia lalu berbisik heran, "Kenapa sih, Bi?"
Bia nggak menjawab. Dia malah berjalan mendekati Egi yang masih berdiri di
sisi piano sambil tersenyum.
"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Bia sinis.
"Karena Kakak cantik," Egi langsung menjawab tanpa ragu.
Suit... suit...! Siulan terdengar dari arah anak-anak kelas satu yang sedang
berdiri.
"Siapa yang bersiul?" tanya Bia dengan suara keras dan tegas. Matanya melotot
ke arah asal suara.
Hening. Nggak ada yang berani ngaku.
Bia kembali menatap Egi yang masih berdiri dan tersenyum di depannya.
"Apa lagu itu kamu ciptakan buat saya?" kali ini suara Bia terdengar lebih
halus.
Egi mengangguk. "Iya, lagu itu saya ciptakan khusus untuk Kakak."
"Kalau begitu saya sarankan, jangan pernah kamu menyanyikan lagu itu di
sekolah ini," kata Bia dengan nada mengancam. "Lebih baik kamu nyanyi di bus kota aja, itung-itung bisa dapat uang saku ekstra. Karena kalau kamu berani
menyanyikan lagu itu di sekolah ini lagi, saya tidak akan memberikan kamu uang
recehan, tapi air comberan!"
"Kok gitu sih, Kak?" tanya Egi. "Padahal Indra Lesmana pernah memuji suara
saya loh waktu saya ikut audisi Indonesian Idol 1. Katanya suara saya khas dan
unik. Teknik falseto saya juga top. Tapi sayangnya, waktu itu saya mundur gara-
gara takut Delon merasa tersaingi deh saya. Maklumlah, saya ini orangnya suka
nggak enakan."
Tawa kembali meledak. Para senior alias anggota OSIS berusaha sebisa mungkin
mengulum tawa. Bagaimanapun Bia kan ketua mereka. Kalau mereka ikut tertawa,
itu sama aja mereka ngetawain Bia.
Bia benar-benar keki. Kalau saat ini bukan acara MOS, Bia yakin tinjunya sudah
bersarang di wajah cowok jayus ini.
"Semua diam!" bentak Bia kesal. "Dan kamu... kembali ke kelompok kamu!"
Kayaknya, cowok satu ini akan benar-benar mengusik kehidupan Bia.
Bersambung ...