POLA TATA RUANG SUKU MELAYU RIAU
Bagi orang Melayu Riau, permukiman atau perkampungan harus dibangun penuh perhitungan, karena di sanalah mereka menetap dan memanjangkan keturunan. Permukiman dibangun dengan landasan adat (budaya) serta kepercayaan yang dianutnya, kemudian disempurnakan dengan larang pantang yang diberlakukan secara ketat. Orang-orang tua Melayu Riau mengingatkan: “dalam menyusuk atau membangun kampung, adat dipegang lembaga dijunjung” atau dikatakan: “apabila hendak menusuk kampung, adat dipakai lembaga dihitung, supaya tuah apat besambung, supaya rezki terus melambung”.
Ketentuan adat iniah yang menjadi acuan dasar dari masyarakat tempatan dalam membuat perkampungan. Sehingga dalam Pemanfaatan Ruang, masyarakat Melayu Riau memiliki aturan pembagian lahan menjadi 3 fungsi yaitu: lahan untuk pemukiman, lahan untuk peladangan dan lahan untuk hutan rimba larangan.
Begitu pun dalam pembagian fungsi hutan, masyarakat Melayu Riau membagi menjadi tiga fungsi, yakni; sebagai hutan sebagai marwah, hutan sebagai sumber nilai budaya dan hutan sebagai sumber ekonomi.
Dengan demikian arah pengembangan tata ruang mempunyai motivasi yang dapat mewujudkan harmonosasi antara kegiatan yang bersifat mengeksploitasi dengan kegiatan yang bersifat memelihara dan mempertahankan kelestarian yang berkenaan dengan kekhasan ekologis, kearifan lokal, historis maupun sosial budaya.
Ketentuan adat ini memberi petunjuk bahwa masyarakat Melayu Riau tidaklah membuat perkampungan dengan semena mena, tetapi melalui proses yang panjang. Hal ini membuktikan bahwa mereka membangun perkampungan dengan perhitungan yang cermat, agar kampung itu memberikan manfaat bagi penghuninya, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, serta memberi peluang untuk pengembangan perkampungan atau permukiman kemasa depannya.
Acuan diatas memberi petunjuk betapa ketat dan cermatnya ketentuan adat tentang membangun perkampungan (permukiman). Orang tua menegaskan di dalam menyusuk kampung adat dipakai lembaga dijunjung, atau dikatakan apabila kampung hendak didirikan, adat dan peraturan jadi pedoman, pantang dan larang jadi pegangan, musyawarah mufakat jadi landasan.
Bahkan dalam proses pembangunan rumah, masyarakat Melayu Riau harus memepertimbangkan beberapa hal yang sangat penting demi menjaga keamanan penghuninya dari sesuatu yang bersifat fisik mau pun mistik. Mulai dari kontruksi tanah, lingkungan atau tetangga, status tanah dan seluruhnya harus mendapatkan pernyataan perijinan dan musyawarah adat.
Dari segi tempat ada tiga kategori tanah untuk membangun rumah diantaranya adalah; kontruksi tanahnya liat dan berwarna kuning, tanahnya datar namun miring ke belakang, tanah belukar, dan dekat dengan sumber mata air. Sedangkan jenis tanah yang harus dihindari diantaranya; bekas tempat orang mati berdarah, tanah bekas tempat orang mati karena penyakit menular, tanah pasir dan tanh gembut, tanah bekas kuburan, tanah tahi burung, tanah yang miring ke timur laut, dan tanah wakaf.
Jadi kita bisa melihat betapa masyarakat Melayu Riau begitu hati-hati dalam mengatur tata ruang untuk pemukiman, hutan, bahkan hingga begitu perinci mengatur serta menjaga pantangan yang didasarkan pada hasil musyawarah dan petunjuk pawang ketika hendak membangun rumah. Dalam hal tersebut, terkandung upaya menjaga keselaran dengan alam, adat, dan masyarakat di lingkungan sekitanya.