JAKARTA,- Pada 17 April 2019, berdasarkan tampilan layar diberbagai media elektronik, berbagai lembaga survei melansir Hasil quick count yang dilakukan menunjukkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Nomor urut 01 Joko Widodo- Ma'ruf Amin hanya menang di 16 provinsi. sedangkan pasangan Capres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menguasai lebih banyak yaitu 18 provinsi.
Berdasarkan pendapat dari Manajer Riset Charta Politika Ahmad Baihaqi, Jokowi unggul di provinsi dengan jumlah pemilih yang lebih banyak. Ahmad Baihaqi menjelaskan wilayah kemenangan Jokowi-Ma'ruf hasil quick count Charta Politika ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. dimana merupakan basis dari hampir 60% pemilih secara nasional. pada 2 provinsi sekaligus dijawa timur dan jawa tengah masih masih mampu mendapatkan 60% dam 77% suara mayoritas. Pasangan ini juga unggul di beberapa provinsi, seperti Papua, NTT, Bali, Kaltim, Sulut, Bengkulu. dengan bali dan NTT Mampu menembuh hinggal lebih dari 90% suara. Kubu Jokowi, menurutnya, juga menguasai suara di Kalimantan Utara dan Kalimantan Tengah.
Sementara Pasangan Prabowo Sandi masih menguasai antara Jawa Barat, Sumatera Utara, Banten, DKI, Riau, Kalimantan Barat, serta Sumatera Barat. pada wilayah sumatera utara prabowo mampu mengambil hampir 80% suara masyarakat, banten dan Jawa barat terlihat bersaingan ketat namun mampu dibalikkan arah menjadi basis prabowo dengan lebih dari 50% suara. disisi lain, Kubu 02 juga menguasai Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, Kalimantan Selatan, Jambi, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Tengah.
Tentang keunggulan Prabowo di Sulawesi Selatan, Ahmad Baihaqi berargumen: "Figur yang dilakukan oleh pasangan 01 ini, terkait wakil sudah tidak terlalu berpengaruh, Pak JK, kemudian masyarakat di sana cenderung beralih ke 02. Untuk Banten, menurut Charta Politika, upaya yang dilakukan Jokowi Ma'ruf berulang kali tidak berpengaruh.
di pusat ibukota indonesia, yaitu DKI Jakarta selisih 01 dan 02 hanya tipis. Prabowo, kata Ahmad, tidak ada bisa menyerang basis lawan seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara Jokowi, mampu mencuri suara di basis Prabowo termasuk di Jawa Barat.
Charta Politika juga mencatat hasil pilpres versi Quick count 2019 tidak jauh berbeda dengan hasil resmi hitung suara Komisi Pemilihan Umum KPU lima tahun silam.
"Pemilih masing-masing calon sudah betul-betuk militansi, untuk 01 sekian dan 02 sekian, yang bisa diolah hanya menyerang basis lawan," tambah Ahmad, seperti dilaporkan wartawan Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, unggul dalam hitung cepat atau quick count lembaga survei Charta Politika dengan selisih sekitar 9% atas paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hingga pukul 17.00 WIB, dengan suara masuk mencapai 83,7%, pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapatkan perolehan angka 54,33%. Sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh 45,67%.
Menurut Charta Politika, angka ini diyakini tidak akan bergeser banyak hingga sampel suara quick count mencapai 100%, seperti dilaporkan wartawan Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.
Manajer riset Charta Politika Indonesia, Ahmad Baihaqi, mengatakan Jokowi unggul di 16 wilayah dan kalah di 18 wilayah.
"Salah satu keunggulan dari 01 ini adalah dia bisa menggaet suara-suara basis lawan, akan tetapi sebaliknya pasangan 02 ini tidak terlalu kuat untuk menarik suara dari basis 01," kata Ahmad.
Prabowo mengklaim menang Pilpres 2019. Ia mendeklarasikan diri sebagai Presiden Indonesia pada Rabu malam, 17 April 2019. Pendukungnya berkumpul, mendengarkan, bersorak, meneriakkan takbir. Klaim Prabowo itu berdasarkan real count (hitung nyata) yang kata Prabowo didapatkan para relawannya dari 320.000 tempat pemungutan suara (TPS). Entah seperti apa sebaran lokasinya, tidak dijelaskan.
Yang jelas, klaim itu bertolak belakang dari hasil hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei. Hasil hitung cepat Charta Politika, CSIS-Cyrus Network, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), dan Indikator menunjukkan hasil seragam: Jokowi-Ma’ruf mengungguli Prabowo-Sandi dengan selisih suara yang signifikan. Sampai Kamis, 18 April pukul 17.08, ada 97,72% suara yang masuk ke SMRC.
Dari total angka itu, Jokowi-Ma’aruf meraih 54,85% suara, sedangkan Prabowo-Sandi 45,15% suara. Dari total 809.497 TPS di Indonesia, SMRC memilih 6.000 TPS di 80 daerah pemilihan (dapil). Namun metode pemilihan sampling dilakukan dengan ketat agar sebisa mungkin menggambarkan populasi. SMRC memakai metode stratified systematic cluster random sampling. TPS dikelompokan menurut wilayah dapil DPR RI dan status pedesaan-perkotaan. Dari masing-masing kelompok, dipilih TPS secara random sampling dengan jumlah proporsional. Margin of error hitung cepat ditaksir 0,47% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Mengapa Prabowo yang berhasil unggul dan menambahkan jangkauan suara di empat provinsi baru tetap menghasilkan suara nasional yang rendah?
Beberapa jawabannya sebagai berikut: Pulau Jawa tetap jadi kunci Sekalipun jangkauan wilayah perolehan suara Prabowo bertambah, patut digarisbawahi, kunci pertambahan suara itu bukan terjadi di wilayah-wilayah Pulau Jawa. Dengan membandingkan secara sederhana hasil hitung resmi KPU 2014 dan hitung cepat SMRC, tiga wilayah di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak memberikan hasil positif yang signifikan bagi Prabowo. Seperti ditunjukkan dalam data, Jawa Barat tidak memberikan hasil tambahan bagi suara Prabowo, sekalipun menjadi pemegang suara unggul di wilayah ini. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur (dan bahkan DI Yogyakarta), Prabowo gagal menambah suara. Kebalikannya, Jokowi berhasil menambah suara hampir 35 persen yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Pertambahan suara yang signifikan bagi Prabowo (di atas 10 persen) terjadi di wilayah luar Pulau Jawa. Di Aceh, misalnya, suara Prabowo melompat hampir 33,53% dari Pilpres 2014. Suara tambahan Prabowo juga muncul dari Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Jambi. Artinya, Prabowo terlihat tidak cukup kuat menaklukkan suara di Pulau Jawa. Padahal, wilayah ini memiliki hampir setara 50 persen total keseluruhan suara nasional. Singkatnya, gagal di Pulau Jawa, sama artinya gagal di nasional.
Mengapa Sumbar, Sumsel, Jabar, dan NTB jadi milik Prabowo? Untuk menjawab hal ini, data lain yang bisa dipakai adalah perolehan suara Pileg 2019. Masih menggunakan data hitung cepat SMRC, setidaknya ada beberapa pola afinitas pertambahan/penurunan suara calon presiden/wakil presiden dengan perolehan suara terbanyak partai politik di satu wilayah. Pola yang kami temukan: keunggulan suara Prabowo ekuivalen dengan perolehan suara terbanyak Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Gerindra mampu jadi pemenang utama di Sumatera Barat; Demokrat di Aceh; PKS di Riau; dan PAN di Bengkulu. Partai-partai ini adalah barisan koalisi pendukung Prabowo. Sementara, keunggulan suara bagi Jokowi ekuivalen dengan perolehan suara terbanyak PDIP, Partai Golkar, dan Partai NasDem. Meski ada lebih banyak jumlah partai koalisi Jokowi, setidaknya dalam analisis data ini, tiga partai itu adalah pemain kunci. Suara Bengkulu dan Jambi Di Bengkulu, jika pola pertambahan/penurunan suara itu dipakai, PAN agaknya berjasa karena mampu menggarap wilayah ini. Pada 2014, Bengkulu adalah wilayah kekuasaan suara untuk NasDem dan PDIP. Namun, pada 2019, PAN mampu menggarap pertumbuhan suara hingga sekitar 7%. Bagaimana caranya? Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan memiliki beberapa kerabat yang menguasai Bengkulu. Beberapa bahkan memimpin PAN dan menjadi pejabat lokal. Apakah pertumbuhan suara 7% PAN di Bengkulu berasal dari jaringan keluarga ini, bagaimanapun, perlu ada studi lebih lanjut. Di Jambi, yang paling terlihat adalah penurunan suara Demokrat. Pada 2014, Demokrat mampu memperoleh 13,92% suara. Kini hanya sekitar 9,73% suara. Menariknya, dari hasil sementara hitung cepat SMRC, partai yang meraup suara terbanyak di Jambi adalah Golkar, sekalipun bukan partai koalisi pendukung Prabowo sementara Prabowo menang di Jambi. Analisis kasarnya: Bisa saja Partai Golkar menguasai basis suara di Jambi tapi pemilih yang sama mencoblos Prabowo. Prabowo sendiri pernah menggelar kampanye terbuka di provinsi ini, 14 Maret 2019. Salah satu isi pidato Prabowo adalah mengkritik kebijakan impor pemerintahan Jokowi.
Faktor Jusuf Kalla di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara Sekalipun suara Partai Golkar memenangi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Jokowi gagal menguasasinya. Padahal, pada Pilpres 2014, Jokowi unggul di dua provinsi tersebut. Suara Jokowi tergerus parah di dua wilayah itu. Di Sulawesi Selatan, suara Joko Widodo tergerus hingga 32,44%. Sementara di Sulawesi Tenggara, suara Joko Widodo hanya 40,27% (Bandingkan pada 2014 yang mencapai 57,88% suara). Mengapa? Orang mungkin akan menunjuk faktor Jusuf Kalla. Pengaruh JK besar di dua wilayah ini. Namun, karena JK tak bisa lagi mendampingi Jokowi pada Pilpres kali ini, suara dukungan bagi JK pada Pilpres 2014 besar kemungkinan bermigrasi ke Prabowo. Agaknya Jokowi pun menyadarinya. Maka, saat kampanye terbuka di Makassar, Jokowi mengajak JK, naik becak bersama. Meski begitu, siapa yang tahu soal pilihan para elektorat di TPS? Sekalipun demikian, bandul suara partai koalisi Jokowi masih bisa menyelamatkannya. Di Sulawesi Selatan, NasDem menjadi penolong. Suara partai bentukan Surya Paloh ini melonjak hampir setara dua kali lipat dibandingkan pemilu 2014. Pada 2014, NasDem memperoleh 7,18% suara, sementara pada 2019 sanggup meraup 16,31% suara. Adapun di Sulawesi Tenggara, PDIP menjadi penangkal. Pada 2014, PDIP hanya meraup 8,22%, kini melonjak menjadi 12,93%.